Bab 2: Duel dari Sang Prajurit
***
Di halaman pelatihan khusus memanah istana Vraemor, sembari menghilangkan waktu kosongnya, Ace tampak menyibukkan diri dengan latihan kecil. Sendirian, Ace memilih menarik busur di tangannya, hingga satu anak panah melesat cepat dan tepat mengenai target di depan sana. Manik hazel nya tampak berbinar, bibirnya melengkung, tersenyum puas.
"Ace!" seru seseorang yang baru tiba sembari menepuk pundak pemuda itu.
"Darimana?" tanya Ace ketika menyadari teman-temannya itu baru tiba bersama-sama. Kedua temannya hanya tersenyum dan salah satu dari mereka memilih duduk di rumput tempat mereka berpijak.
"Ada tugas penting," balas Aiden dengan tertawa kecil.
Ace tak menanggapi ucapan temannya itu, karena ia tahu Aiden tak pernah sekalipun serius jika dirinya bertanya tentang hal apa pun. Tapi jika diliat dari wajah kelelahan mereka, Ace tahu bahwa kedua orang itu selesai melakukan latihan kecil bersama prajurit lain.
Aiden tersenyum licik sambil menggulung lengan bajunya menatap Ace. "Jadi, Ace, kapan terakhir kali kau benar-benar diuji di arena? Aku rasa sudah lama sekali."
Nolan, pemuda satunya yang duduk di sebelah Aiden tampak ikut tertawa kecil sambil minum dari kantung airnya karena kelelahan latihan bersama prajurit lain. "Aiden, kau tahu Ace selalu menang. Dia bahkan tidak perlu berusaha."
Ace tersenyum santai, menghampiri mereka dan duduk bersandar pada pohon yang ada di sana. "Aku hanya beruntung. Kalian membuatnya terdengar seolah aku tak terkalahkan."
"Oh, begitu? Kalau begitu, bagaimana jika kita menguji keberuntunganmu? Nolan, kau mau mencoba keberuntunganmu melawan Ace?" Ia menatap Ace dengan tatapan penuh misteri.
Pemuda berambut cokelat yang tampak tenang itu melirik ke arah Aiden dengan helaan napas panjang. "Aku? Melawan Ace? Kau bercanda, kan? Tapi ... baiklah, hanya untuk bersenang-senang."
Aiden melompat berdiri, bertepuk tangan dengan semangat. "Itu semangatnya! Ayo, kalian berdua ke arena. Jangan khawatir, aku akan jadi wasit." Ia menatap kedua temannya. "Yang kalah harus memberikan makan malamnya," lanjut Aiden dengan gelak tawa, diikuti kedua temannya yang lain.
Ace menggelengkan kepalanya sambil tersenyum, tetapi ia berdiri dan mengikuti Nolan ke tengah arena kecil di halaman pelatihan. Aiden mulai menarik perhatian beberapa prajurit lain yang ada di sekitar, menyuruh mereka untuk menyaksikan duel tersebut.
Pemuda bermanik hazel itu mengambil pedang kayu dari rak senjata. "Kita lakukan ini untuk bersenang-senang saja, Nolan. Jangan terlalu serius."
Nolan tertawa, mengangkat pedangnya. "Aku justru berharap kau yang tidak terlalu serius, Ace. Aku masih ingin pulang dengan tulang utuh."
Aiden memberi aba-aba, dan duel dimulai. Nolan menyerang lebih dulu, melancarkan pukulan cepat yang langsung dihindari Ace dengan mudah. Para prajurit yang menonton mulai bersorak, mendukung keduanya dengan semangat. Ace bergerak dengan gesit, menghindari serangan Nolan dan sesekali menyerang balik dengan gerakan yang terukur.
Aiden, pemuda berambut kemerahan itu berteriak dengan semangat. "Nolan, kau harus lebih agresif! Jangan biarkan dia mendikte permainanmu!" Ia hanya melihat dari tempatnya duduk, tertawa puas. Sedangkan Nolan dan Ace bertarung di depan sana. "Aku berani bertaruh kau akan kalah dari Ace."
Nolan terengah-engah, mencoba menyerang lagi. "Mudah bagimu untuk mengatakan itu! Kau tidak melawan Ace sendiri."
Duel terus berlangsung, Nolan memang cukup tangguh walaupun tak bisa menyamai kemampuan Ace. Sampai beberapa menit berikutnya Nolan mulai kelelahan. Ace, sebaliknya, terlihat tenang dan tidak terpengaruh. Dengan satu gerakan cepat, ia berhasil menjatuhkan pedang dari tangan Nolan, mengakhiri duel dengan senyuman ramah.
Ace menyerahkan pedang Nolan kembali. "Kau melakukannya dengan baik. Seranganmu cukup cepat, tapi kau perlu lebih tenang saat bertahan."
"Aku rasa aku akan membutuhkan lebih banyak latihan sebelum menantangmu lagi," ucapnya sembari menerima pedang itu kembali.
Ketika suasana mulai kembali tenang, perhatian semua orang tiba-tiba teralihkan ke seorang sosok yang berdiri di tepi arena. Artemis, dengan gaun biru mudanya yang anggun, muncul dengan senyum kecil di wajahnya. Para prajurit langsung memberikan hormat, sementara Ace menatapnya dengan sedikit terkejut.
"Sepertinya aku datang di waktu yang tepat. Apa aku melewatkan sesuatu yang menarik?"
Aiden membungkuk dengan sopan, tetapi tersenyum lebar. "Putri Artemis, kau baru saja melewatkan duel antara Ace dan Nolan. Sayang sekali, itu cukup seru."
Artemis berjalan mendekat, memandang Ace dengan senyum manisnya. "Benarkah? Aku yakin Ace menang, seperti biasanya."
Ace tersenyum kecil, mengalihkan pandangannya pada gadis cantik yang menjadi sahabat sejak mereka kecil. "Itu hanya latihan ringan. Nolan hampir membuatku kewalahan."
"Jangan membuatku merasa lebih buruk, Ace. Semua orang tahu kau terlalu baik untuk mengatakan sebaliknya," sahut Nolan melirik Ace. Ia tampak benar-benar kelelahan.
Artemis tertawa kecil, tetapi matanya tetap tertuju pada Ace. Ia duduk di bangku kayu di dekat arena, terlihat tertarik untuk menyaksikan lebih banyak. Aiden, yang menangkap pandangan Artemis terhadap Ace, menyembunyikan senyumnya dan berbicara dengan nada menggoda.
"Kalau begitu, mungkin Ace harus menunjukkan lebih banyak. Apa kau ingin melihatnya bertarung lagi, Putri?"
"Mungkin lain kali. Aku hanya ingin menikmati pemandangan untuk saat ini," balasnya sembari menatap pemuda itu dan tersenyum kecil.
Ace merasa wajahnya sedikit memerah, tetapi ia menunduk, berusaha menyembunyikan rasa gugupnya. Sementara itu, Aiden dan Nolan bertukar pandangan, jelas menikmati situasi ini.
Artemis tinggal di sana beberapa saat, mengobrol ringan dengan Aiden dan Nolan sambil sesekali mencuri pandang ke arah Ace. Bagi prajurit lain, itu hanya momen santai biasa. Tetapi bagi Artemis dan Ace, momen kecil ini terasa lebih berarti, menjadi penghubung tak kasat mata yang semakin mendekatkan mereka.
Aiden dan Artemis tampak bercerita banyak hal. Sementara dua orang lain tampak agak jauh dari area mereka, Nolan menatap Ace dengan tatapan seperti tengah menunggu jawaban. Pemuda bermanik hazel yang mendapatkan tatapan seperti itu pun tampak mengernyitkan dahinya heran. "Kenapa?" tanyanya.
"Kalian?" Ace menggelengkan kepalanya dengan cepat dan berjalan ke tempat duduk Artemis, menghiraukan tatapan penuh tanda tanya dari Nolan. "Jelas-jelas tatapan itu penuh arti."
***
Cahaya matahari pagi menyelinap lembut melalui dedaunan pohon willow di taman istana. Burung-burung berkicau riang, mengiringi derai tawa Artemis yang duduk di atas selimut piknik di tengah taman. Ia mengenakan gaun sederhana berwarna hijau muda, rambutnya dibiarkan terurai, terlihat jauh dari sosok formal sang pewaris takhta.
Di sampingnya, Ace sedang memotong apel dengan belati, tangannya terampil seperti biasa. Ia mengenakan pakaian kasual, tanpa pelindung dada atau pedang yang biasanya menjadi ciri khasnya. Di sisi lain selimut, Nolan dan Aiden berdebat sengit tentang siapa yang lebih hebat dalam memanah.
"Sudahlah, Aiden," kata Nolan sambil menyandarkan tubuhnya di batang pohon. "Aku bisa menembak tiga anak panah sekaligus, dan semua mengenai sasaran."
Aiden mendengus. "Hebat sekali. Tapi kau lupa satu hal, Nolan—aku lebih cepat darimu."
"Cepat tak berarti tepat," balas Nolan sambil menyeringai.
Artemis tertawa kecil, menikmati pertengkaran ringan itu. "Kalian berdua seperti anak-anak. Bagaimana kalau kita mengadakan kompetisi nanti sore? Aku sendiri yang akan jadi juri."
Aiden menoleh cepat, matanya berbinar. "Betul-betul? Bagaimana kalau aku menang, Yang Mulia? Apa hadiahnya?"
"Apa yang kau inginkan?" Artemis menantang, menahan senyumnya.
Aiden berpikir keras, lalu menjawab dengan nada setengah bercanda, "Aku ingin libur dari tugas kerajaan selama seminggu!"
"Berani sekali kau," kata Ace, melemparkan sepotong apel ke arah Aiden, yang dengan gesit menangkapnya. "Kau bahkan jarang bekerja, dan sekarang minta libur?"
Artemis tertawa keras, menutupi mulutnya dengan tangan. "Baiklah, kalau kau menang, aku akan mempertimbangkannya." Dari tempat duduknya, Aiden tersenyum puas bahkan menatap Ace dengan tatapan mengejek. Sedangkan Artemis hanya bisa tertawa menatap tingkah mereka bertiga.
"Kita taruhan melepar batu, siapa yang paling jauh akan mendapatkan belati Ace," tantang Nolan sembari berlari menuju tepian danau. Aiden pun yang tertarik segera menyusul Nolan. Sedangkan si pemilik dari benda yang di buat taruhan justru diam sembari menggeleng tak percaya.
"Hah? Jangan harap kalian mendapatkannya," gerutu Ace.
Saat Nolan dan Aiden mulai duel kecil melempar batu ke danau kecil di dekatnya, Artemis melirik Ace, yang kini sedang mengupas apel kedua. Pemuda berambut hitam dengan mata hazel indahnya itu tampak lebih tenang.
"Kau tidak tertarik ikut kompetisi nanti sore?" tanya Artemis dengan nada santai.
Ace mengangkat bahu. "Aku tahu aku akan menang, jadi tidak ada tantangan di sana."
"Penuh percaya diri, seperti biasa," balas Artemis dengan senyum di bibirnya. Ia menatap Ace beberapa detik lebih lama dari yang seharusnya, merasa nyaman dengan keberadaannya. Seakan kagum dengan pemuda yang ada di dekatnya ini.
Ace menatap balik, dan untuk sesaat, waktu terasa berhenti. "Bagaimana denganmu? Kau selalu mendukung orang lain, tapi kapan terakhir kali kau melakukan sesuatu untuk dirimu sendiri?"
Pertanyaan itu membuat Artemis terdiam. Ia menunduk, memainkan ujung gaunnya. "Aku ... tidak yakin. Tugas sebagai pewaris takhta sudah menjadi bagian besar dari hidupku. Rasanya aneh memikirkan hal lain."
Ace meletakkan apel dan belatinya, lalu meraih tangan Artemis dengan lembut. "Kau pantas mendapatkan waktu untuk dirimu sendiri, Artemis. Tidak apa-apa mengambil jeda." Maniknya menatap lekat. "Nikmati waktu bersantaimu juga."
Artemis merasakan detak jantungnya melambat. Sentuhan Ace terasa begitu tulus, begitu nyata. Ia mengangguk perlahan, mencoba menyembunyikan kehangatan yang menjalar di pipinya. "Terima kasih, Ace."
Di sisi lain taman, Aiden akhirnya berhasil membuat Nolan kesal setelah mengalahkannya dalam permainan lempar batu. Mereka berdua kembali ke selimut piknik dengan wajah merah—Aiden karena tertawa terlalu keras, dan Nolan kesal karena kalah.
"Apa yang kalian bicarakan?" tanya Aiden, matanya menyipit curiga.
"Hal-hal penting kerajaan," jawab Ace dengan nada datar, meskipun ada senyum kecil di sudut bibirnya.
"Penting sekali," sindir Nolan sambil mengambil apel dari keranjang.
Artemis tertawa, merasa hari itu adalah salah satu hari yang paling ringan dan menyenangkan yang pernah ia rasakan. Ia tahu, masa-masa seperti ini mungkin tidak akan bertahan lama, tetapi untuk saat ini, ia memilih untuk menikmatinya sepenuh hati.
Di bawah sinar matahari yang hangat, dengan tawa sahabatnya dan kedekatan dengan Ace, Artemis merasa damai—perasaan yang begitu langka dalam hidupnya.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top