Bab 19: Perjalanan ke Timur
***
Langit pagi di Vraemor dipenuhi awan kelabu yang mengambang berat, seperti cerminan beban yang kini dirasakan Artemis. Penyebaran wabah semakin parah, korban terus berjatuhan, dan ayahnya—Raja Alarick—terbaring dalam kondisi kritis. Meskipun tabib terbaik dikerahkan, hasilnya nihil.
Artemis duduk di ruang kerjanya, menelusuri laporan demi laporan tentang korban wabah yang terus bertambah. Ketukan pintu yang tergesa-gesa memecah kesunyiannya.
"Masuk," katanya dengan nada tegas, meski matanya tetap terpaku pada dokumen.
Ace muncul, wajahnya serius namun sedikit bersemangat. Ia menutup pintu dan berdiri di hadapan Artemis. "Yang Mulia, kami menemukan sesuatu," ucapnya langsung, tanpa basa-basi.
Artemis mendongak. "Apa itu? Jangan menahan informasi, Ace."
Pemuda berambut hitam itu menyerahkan selembar foto usang kepada Artemis. "Jareth. Dia melarikan diri ke timur, ke pegunungan yang berbatasan dengan wilayah liar. Dia adalah orang kesepuluh di kapal ilegal itu."
Gadis bermanik biru itu mengernyit. "Orang kesepuluh? Maksudmu ... sebelumnya dia tidak terdaftar?" tanyanya dengan nada heran. Maniknya tertuju pada selembar foto yang diberikan Ace padanya, seperti familiar dengan sosok itu.
Ace mengangguk, ekspresinya semakin tegang. "Aku sudah mendata sembilan orang di kapal itu. Lima tewas, empat ditangkap. Tapi Jareth ... dia adalah orang yang tidak pernah terdata. Dia menghilang sebelum kita bisa menangkapnya. Kami baru mendapat laporan dari seorang penjaga. Jareth membawa sesuatu—mungkin wabah itu sendiri."
Artemis berdiri dengan kedua tangan bertumpu di meja, pandangannya tajam. "Jika Jareth kunci dari semua ini, maka kita harus menemukannya. Aku akan ikut denganmu ke pegunungan timur."
Ace terkejut, ia segera menggelengkan kepalanya. "Artemis, itu terlalu berbahaya. Wilayah itu penuh dengan penyamun dan jalur terjal. Izinkan aku dan pasukan menyelesaikan ini."
Namun Artemis menggeleng tegas. "Ini tanggung jawabku. Ayahku, rakyatku, semua bergantung pada apa yang akan kita temukan." Artemis memandang Ace dengan penuh tekad, meski kelelahan tergambar jelas di wajahnya. "Jika dia kunci dari semua ini, kita tidak punya pilihan. Kita harus mengejarnya."
Pemuda itu sedikit khawatir, bagaimanapun juga penyelidikan ini mungkin saja sangat berbahaya karena mereka belum tahu bagaimana sosok Jareth yang mereka kejar ini. "Kau yakin? Aku tidak ingin ...."
"Aku tak ingin ada lagi bantahan, Ace. Besok pagi siapkan beberapa pasukan khusus milikmu, kita ke timur untuk menangkap Jareth." Artemis menatapnya dengan tegas, sepertinya gadis itu juga sudah muak dengan wabah yang mengganggu mereka selama ini.
***
Pagi ini, sesuai rencana mereka, yaitu menuju pergunungan di daerah timur. Sebelum berangkat, Artemis mengunjungi kamar ayahnya yang terbaring lemah di ranjang megah yang kini tampak kosong dan dingin. Raja Alarick tampak pucat, suaranya hampir tak terdengar. Tabib kerajaan berdiri di sudut, tampak tak berdaya menghadapi penyakit yang terus menggerogoti rajanya.
Artemis menggenggam tangan ayahnya, yang terasa dingin seperti es. "Ayah ... aku akan menemukan cara untuk menghentikan semua ini," bisiknya, matanya basah oleh air mata.
Raja Alarick samar-samar membuka matanya, menggeleng pelan, air mata mengalir di sudut matanya. "Artemis ... kau di sini."
Gadis itu mengangguk. "Ya, Ayah. Izinkan aku mencari jawaban dari wabah yang menimpa kita saat ini."
Pria berambut hitam yang beberapa bagiannya mulai memutih itu tampak menatap lemas. "Hati-hati, Anakku. Kadang ... kebenaran yang kau cari ... lebih berbahaya daripada kebohongan yang ingin kau tinggalkan," bisiknya, hampir tak terdengar.
Kata-kata itu membuat Artemis terpaku. Hatinya terasa berat, tapi ia tahu dirinya tidak bisa tinggal diam di istana sedangkan rakyat dan keluarganya dalam bencana besar. Si gadis segera meninggalkan kamar sang ayah dan bergegas memulai percarian atas jawaban dari wabah misterius ini.
Saat berjalan menuju istal untuk mempersiapkan perjalanan, Artemis melewati halaman luar istana yang kini dipenuhi tenda-tenda darurat untuk menampung korban wabah. Tangisan dan rintihan kesakitan terdengar di mana-mana. Aroma kematian menggantung di udara.
Seorang gadis kecil dengan pakaian compang-camping menghampiri Artemis. Mata gadis itu penuh air mata. "Yang Mulia ... ibuku sakit. Dia tidak bangun sejak tadi malam. Tolong bantu kami," pintanya dengan suara serak.
Artemis berlutut di hadapan gadis itu, mencoba menahan air matanya. "Aku akan melakukan yang terbaik. Bertahanlah, ya?" Artemis memberikan sebuah bingkisan kepadanya, yang kemungkinan bisa menahan sementara kondisi sang ibu. "Hanya ini yang bisa aku berikan untuk sementara."
"Terima kasih, Yang Mulia."
Ketika gadis itu berjalan pergi, Ace yang berada di belakang Artemis berbicara. "Itulah alasan mengapa aku tak ingin kau ikut. Melihat ini semua ... aku tak ingin kau terluka lebih jauh."
Artemis menoleh padanya, matanya penuh tekad. "Justru karena ini aku harus ikut. Jika aku tidak melakukan sesuatu, bagaimana aku bisa menghadap mereka?" Pemuda itu hanya mengangguk kecil, meskipun wajahnya menyiratkan kekhawatiran yang mendalam.
Artemis dan Ace akhirnya meninggalkan istana bersama sekelompok kecil pasukan yang setia. Langit mendung menemani perjalanan mereka, menambah suasana suram. Angin dingin menerpa mereka saat kuda-kuda mereka melaju menuju pegunungan timur, wilayah liar yang jarang dijamah manusia.
Di tengah perjalanan panjang itu, Artemis mencoba memulai perbicaraan guna mengusir rasa sunyi di antara mereka. "Apa yang membuat Jareth pergi ke pegunungan?" tanya Artemis, suaranya terdengar resah.
"Pegunungan timur dikenal sebagai tempat persembunyian bagi orang-orang buangan," jawab Ace. "Ada banyak gua dan jalur tersembunyi. Jika dia tidak ingin ditemukan, itu tempat yang sempurna."
Artemis mengangguk, merenung. "Apa yang membuatnya mengambil risiko sebesar itu? Membawa wabah ini ... untuk apa?"
Pemuda dengan jubah berwarna merahnya itu menggeleng. "Kita akan mencari tahu, Artemis. Tapi apa pun itu, kita harus siap menghadapi yang terburuk." Ia menoleh, menatap dalam-dalam gadis yang berada di sebelahnya.
***
Udara dingin di kaki gunung menusuk kulit, membuat para prajurit yang ikut dalam perjalanan itu berlindung lebih dekat ke api unggun. Langit penuh bintang, tetapi ada ketegangan di udara yang tak dapat diabaikan. Artemis duduk di atas batu datar dekat api unggun, jubahnya melilit tubuhnya untuk melawan dingin. Matanya menatap api yang menari, tetapi pikirannya melayang jauh ke istana, ke ayahnya yang sekarat, dan ke rakyatnya yang sedang menderita.
Ace mendekatinya pelan, membawa segelas kecil air hangat yang telah dia panaskan di api. Dia duduk di sebelah Artemis, cukup dekat untuk merasakan dinginnya yang sama, tetapi tidak terlalu dekat hingga melanggar batas.
"Minumlah," katanya lembut, menyodorkan gelas itu.
Artemis menoleh, menerima gelas itu dengan senyuman kecil. "Terima kasih, Ace."
Ace duduk dengan lutut ditarik ke dadanya, pandangannya mengikuti garis wajah Artemis yang diterangi oleh nyala api. Sekilas, ia ingin berbicara, tetapi tidak tahu harus memulai dari mana. Suasana di antara mereka hening, hanya diisi oleh suara kayu yang berderak di dalam api.
"Apakah kau merasa dingin?" tanya Ace akhirnya, memecah kesunyian.
Artemis mengangguk kecil. "Dingin ini bukan hanya dari udara. Rasanya seperti ... semuanya membeku di sekitarku. Ayahku, istana, rakyatku. Aku tidak tahu apakah aku cukup kuat untuk menghadapinya."
Ace menatapnya, matanya penuh perhatian. "Kau lebih kuat dari yang kau pikirkan, Artemis. Aku sudah melihatmu menghadapi hal-hal yang bahkan prajurit paling berani sekalipun tidak sanggup melakukannya."
Artemis tertawa kecil, tetapi ada kesedihan di dalamnya. "Mungkin kau terlalu percaya padaku. Kadang-kadang aku merasa seperti hanya ... berpura-pura kuat." Ia menoleh, menatap sejenak wajah tampan milik Ace yang ada di sebelahnya.
Pemuda bermanik hazel itu menggeleng pelan. "Aku mengenalmu. Kau tidak pernah berpura-pura. Semua yang kau lakukan selalu datang dari hati. Itulah yang membuatmu luar biasa."
Artemis terdiam, menatapnya dengan tatapan yang lebih lembut. "Ace, kau selalu ada untukku, bahkan saat aku tidak tahu harus meminta bantuan. Aku tidak pernah sempat mengatakan ini ... tetapi aku sangat menghargai itu."
Ace mengangkat bahu, mencoba menyembunyikan perasaan yang bergolak di dalam dirinya. "Kau adalah calon ratu. Mendukungmu adalah tugasku."
"Bukan hanya itu," bisik Artemis. "Kau lebih dari itu bagiku, Ace."
Ace menatapnya dengan kaget. Suaranya hampir serak ketika ia menjawab. "Apa?"
Si gadis tersenyum kecil, tetapi pandangannya kemudian kembali pada api. "Aku tidak tahu bagaimana menjelaskannya. Tetapi kau adalah satu-satunya orang di dunia ini yang membuatku merasa tidak sendirian."
Ace tidak bisa berkata-kata. Ia hanya duduk di sana, membiarkan keheningan berbicara untuk mereka berdua. Tapi dalam keheningan itu, ada rasa yang tak bisa mereka abaikan—sebuah kehangatan yang melawan dinginnya malam.
Beberapa menit berlalu, dan akhirnya Artemis yang memecah keheningan. "Apa yang kau pikirkan?" tanyanya, kali ini dengan suara lebih lembut.
Ace mengangkat bahu. "Aku berpikir ... jika aku bisa, aku ingin mengambil semua bebanmu. Membawanya jauh, agar kau tidak perlu merasa seperti ini."
"Kau sudah melakukannya, Ace. Lebih dari yang kau tahu."
Artemis menatapnya, dan dalam sorotan api unggun, mata mereka bertemu. Tidak ada kata-kata yang keluar, tetapi seolah-olah keduanya saling memahami sesuatu yang lebih dalam.
Dengan perlahan, Artemis menyandarkan kepalanya di bahu Ace. Ace kaget sejenak, tetapi kemudian tubuhnya rileks. Dia membiarkan Artemis bersandar, hatinya dipenuhi rasa yang sulit dia uraikan.
"Aku hanya butuh ini sebentar," bisik Artemis. "Hanya ... bersamamu."
Ace mengangguk, suaranya hampir tidak keluar. "Aku di sini. Aku selalu di sini untukmu."
Dari kejauhan, beberapa prajurit melihat mereka, tetapi tak ada yang berani mengatakan apa-apa. Malam itu, meskipun dingin, ada kehangatan di antara Artemis dan Ace yang hanya milik mereka. Namun, kehangatan itu juga membawa peringatan bahwa apa yang mereka miliki mungkin tidak akan mudah untuk dijaga, terutama dengan dunia yang semakin kacau di sekitar mereka.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top