Bab 17: Wabah Misterius
***
Beberapa hari setelah kepergian Vincent, seorang pelayan di dapur istana jatuh sakit. Tubuhnya lemas, demam tinggi, dan batuk keras. Para tabib istana memeriksa gejalanya, tetapi penyakit itu berkembang lebih cepat daripada yang bisa mereka tangani.
Dalam waktu singkat, beberapa pelayan dan prajurit lainnya menunjukkan gejala serupa. Suasana istana berubah drastis, dari megah dan sibuk menjadi penuh ketakutan dan kecemasan. Artemis berjalan cepat melalui lorong istana menuju ruang perawatan, tempat para pasien dirawat.
Artemis menoleh menatap tabib yang baru saja memeriksa. "Apa yang terjadi? Mengapa penyakit ini menyebar begitu cepat?"
"Yang Mulia, ini mirip dengan wabah yang pernah muncul di selatan beberapa tahun lalu. Kami belum menemukan cara untuk menghentikannya," jelasnya dengan wajah tengang.
"Kau harus temukan cara untuk menghentikan ini, bagaimanapun juga." Artemis menatap sekitar, semakin banyak orang yang di rawat di ruangan itu. Manik biru itu menatap lemas, ketakutan terlihat jelas dalam dirinya.
Istana terasa lebih sunyi dari biasanya. Matahari baru saja terbit, tetapi suasana di aula utama istana terasa berat. Artemis berada di antara beberapa tabib kerajaan untuk mendiskusikan hal yang menjadi ancaman utama kerajaan saat ini. Para pelayan bergerak dengan langkah tergesa, wajah mereka dipenuhi kekhawatiran. Artemis sontak mengalihkan perhatiannya ketika pelayan itu datang dengan tergesa-gesa untuk menemuinya.
Pelayan membungkuk dengan cemas. "Yang Mulia, Raja Alarick tidak bangun dari tempat tidurnya pagi ini. Ia demam tinggi dan terlihat sangat lemah."
Artemis dan Macaria saling berpandangan, rasa takut melintas di wajah mereka. Tanpa menunggu penjelasan lebih lanjut, Artemis bergegas menuju kamar ayahnya.
Di kamar kerajaan, Raja Alarick terbaring di tempat tidurnya. Wajahnya yang biasanya penuh wibawa kini pucat, tubuhnya gemetar karena demam. Ratu Remora duduk di sisinya, memegang tangannya dengan penuh kekhawatiran.
"Ayah ... apa yang terjadi?"
Ratu Remora menoleh, air matanya mengalir. "Semuanya terjadi begitu cepat. Semalam ia baik-baik saja, tetapi pagi ini ...." Wanita itu tak sanggup meneruskan ucapannya, ia memeluk putrinya dengan tangis yang pecah.
Tabib istana berdiri di dekat ranjang, memeriksa denyut nadi Raja Alarick dengan serius. "Ini sama seperti wabah yang menyebar di Vraemor hari ini. Ini bukan penyakit biasa, gejalanya mirip dengan wabah yang pernah terjadi di perbatasan selatan beberapa tahun lalu."
Artemis mengepalkan tangannya. Ia merasa tanggung jawab besar ini mulai menimpanya bahkan sebelum ia resmi naik takhta. Artemis berdiri di sisi ranjang ayahnya, menahan tangis. "Ayah ... ini tidak mungkin terjadi padamu."
Raja Alarick tersenyum lemah. "Anakku, Vraemor membutuhkanmu. Jika aku tidak bisa melewati ini ... kau harus siap mengambil alih Vraemor."
Ratu Remora memandang Artemis dengan mata yang penuh kekhawatiran. Kata-kata Raja Alarick menjadi tekanan baru bagi Artemis, yang sudah terbebani oleh kondisi kerajaan yang semakin tidak stabil.
Gadis itu menggelengkan kepalanya dengan tangis. "Tidak, Ayah. Kau pasti bisa melewati ini, kita masih bisa," ujarnya. Tatapan sedih itu beralih kepada tabib istana yang ada di sebelahnya, seperti sebuah tatapan penuh harapan. "Temukan sebuah cara untuk menemukan obatnya, aku mohon."
***
Berita tentang wabah menyebar ke luar istana, dan rakyat mulai panik. Beberapa desa di sekitar ibu kota melaporkan kasus serupa. Para bangsawan dan penasihat kerajaan mulai saling menyalahkan, menyebabkan perpecahan di antara mereka.
Di aula besar istana Vraemor, Artemis duduk di kursi utama dengan wajah tegang. Di sampingnya, Macaria duduk dengan sikap tenang, mencoba mempelajari situasi. Para penasihat, tabib, dan bangsawan kerajaan telah berkumpul, memenuhi ruangan dengan suasana yang terasa berat dan penuh ketegangan.
"Yang Mulia, wabah ini bukan hanya masalah kesehatan, tapi juga ancaman politik. Kerajaan ini kehilangan stabilitas. Kita harus bertindak cepat," ujar seorang bangsawan.
Penasihat 1, Salomon menyerukan pendapatnya. "Kita harus menutup pintu gerbang istana dan melarang siapa pun masuk atau keluar untuk mencegah penyebaran lebih jauh."
Tak hanya dia, Theophilus seorang penasihat utusan Ratu Remora yang ditunjuk langsung sebagai perwakilan bangsa Yunani itu ikut angkat bicara. "Itu tidak cukup! Kita membutuhkan bantuan dari kerajaan tetangga. Khalveros memiliki tabib dan obat-obatan yang lebih canggih."
Artemis mendengar nama Khalveros disebut dan wajah Vincent melintas di pikirannya. Ia mengepalkan tangan di atas meja, mencoba menahan emosinya. "Vraemor tidak membutuhkan belas kasihan dari Khalveros. Kita akan menemukan cara sendiri untuk menyelesaikan masalah ini," tegasnya.
"Lalu apa jalan keluarnya?"
"Kita cari cara lain, undang tabib-tabib terkenal dari berbagai negara, kecuali Khalveros." Gadis bermanik biru itu menatap semua orang yang menghadiri pertemuan itu. "Aku ingin wabah ini segera mereda."
"Wabah ini mungkin ada hubungannya dengan Khalveros," ungkap salah seorang bangsawan di sana. Sontak semua orang menoleh, bahkan Artemis ikut menatapnya.
Benicio, duke dari kastil Avalon bangkit dari duduknya, ikut bersuara, "Ya, semua bermula sejak penolakan Putri Artemis terhadap Pangeran Vincent dari Khalveros! Tidakkah ini terlalu kebetulan? Vincent pergi dengan penuh amarah, dan tak lama setelah itu wabah ini muncul. Mungkin ini adalah pembalasan dari Khalveros."
Artemis mengepalkan tangan di atas meja, wajahnya menegang. "Apakah Anda mengatakan bahwa Vincent, seorang pangeran, akan menabur wabah sebagai bentuk balas dendam? Tuduhan itu tidak berdasar dan jatuhnya adalah fitnah."
"Kita tidak tahu pasti, Yang Mulia. Tapi Khalveros memiliki kekuatan besar, dan hubungan kita dengan mereka kini terancam. Mungkin ada sesuatu di balik semua ini,"
Tabib, yang berdiri di dekat pintu, berbicara dengan suara lirih. "Yang Mulia, wabah ini tampaknya bukan disebabkan oleh sihir atau konspirasi. Saya yakin penyakit ini menyebar melalui jalur perdagangan. Beberapa pelayan pertama yang terinfeksi pernah menangani barang-barang dari pedagang yang tidak terdaftar."
Seorang bangsawan lain dengan rambut cokelat khasnya, serta jubah khas dari keluarga besar Levent itu tampak menatap kesal. "Ah, pedagang ilegal lagi! Mereka sudah lama menjadi masalah. Mengapa kita tidak menindak mereka dengan lebih tegas?" sarannya.
"Tidak ada bukti kuat bahwa pedagang ilegal adalah penyebabnya. Tuduhan semacam ini hanya akan memecah belah kerajaan," balas Theophilus.
Suasana mulai semakin memanas. Semua orang berbicara hampir bersamaan, saling menyalahkan dan mengemukakan pendapat mereka. Ketegangan terjadi di antara mereka, semua orang seakan yakin dengan pendapat pribadi mereka.
Macaria berbisik pada Artemis, "Kak, kau harus menghentikan mereka. Ini semakin tidak terkendali."
Namun, Artemis hanya diam, pikirannya kalut. Wabah ini telah mengganggu seluruh kerajaan, ayahnya sedang sakit parah, dan tanggung jawab kini berada di pundaknya. Ia merasa seperti terperangkap dalam pusaran yang tak berujung.
Suara semakin keras. Satu bangsawan menuding tabib karena kurangnya tindakan, sementara yang lain menyerang penasihat karena gagal menjaga keamanan kerajaan. Macaria mencoba memberikan pendapatnya, tapi diabaikan oleh para penasihat yang lebih tua.
Solomon menatap Artemis. "Yang Mulia, jika Anda tidak membuat keputusan segera, kerajaan ini akan runtuh. Kami butuh arah, dan Anda harus memberikannya."
Artemis akhirnya berbicara, dengan suara dingin. "Cukup."
Namun, suaranya tenggelam oleh keributan di ruangan itu. Ketegangan di dadanya semakin menumpuk, tangannya mulai bergetar. Tanpa sadar, energi gelap yang selama ini ia sembunyikan mulai meresap ke dalam tubuhnya.
Tiba-tiba, Artemis tanpa sadar memegang sebuah gelas anggur di meja. Dalam satu tarikan napas, energi magisnya meluap. Gelas itu hancur seketika, pecahan kaca melayang ke segala arah. Semua orang di ruangan itu terdiam, menatap Artemis dengan mata membelalak.
Macaria, yang duduk di sampingnya, segera menyadari apa yang terjadi dan berdiri untuk melindungi Artemis. "Kakak, kau baik-baik saja?"
Artemis memandang tangannya yang gemetar tanpa bekas luka apa pun, menyadari apa yang baru saja terjadi membuatnya kaget sekaligus ketakutan. Wajahnya pucat, ia mencoba menyembunyikan rasa takut dan paniknya.
Solomon yang berada di dekat Artemis menatap dengan mata kaget. "Yang Mulia ... apa itu tadi? Bagaimana gelas itu bisa ...." Suaranya tampak bergetar, menatap Artemis meminta perjelasan.
"Sihir ...." bisik Benecio.
Bisikan itu menyebar di seluruh ruangan. Para penasihat saling pandang, beberapa menunjukkan ketakutan, sementara yang lain mulai mengerutkan kening, penuh kecurigaan. Merasa terpojok, Artemis berdiri tiba-tiba, menatap seluruh ruangan dengan tatapan tajam.
"Aku tidak akan mendengar lebih banyak tuduhan atau fitnah hari ini. Pertemuan selesai."
Ia melangkah keluar dari aula dengan langkah cepat, diikuti oleh Macaria yang berusaha mengejarnya. Para penasihat dan bangsawan terdiam, tidak ada yang berani menyela atau memanggilnya kembali.
Di lorong istana Vraemor yang panjang dan suram itu, Macaria akhirnya berhasil menghentikan Artemis. Menarik tangannya dengan pelan.
"Kak, aku melihat apa yang terjadi tadi. Itu ... kekuatanmu, bukan?" tanyanya.
Artemis mengalihkan pandangannya, berusaha tak menatap gadis berambut hitam itu. "Aku tidak tahu apa yang terjadi padaku. Tapi aku tidak bisa membiarkan mereka tahu. Kalau mereka tahu aku memiliki sihir ... aku akan dianggap musuh."
"Jadi kau benar-benar memilikinya?" Artemis menoleh, mengangguk pelan. "Sejak kapan? Dan mengapa kau tidak membicarakan hal ini?"
"Aku takut, Macaria. Aku hanya berusaha menyembunyikannya dari semua orang. Aku takut membawa kutukan ini," jelasnya dengan mata berkaca-kaca.
Gadis bergaun emerald itu menatap kakaknya dengan dalam. "Aku ada untukmu, Kak. Kau bisa berbagi semua ini, aku akan selalu berada di pihakmu. Aku tahu banyaknya beban di pundakmu, aku akan berusaha membantumu."
"Aku takut gagal menjadi pemimpin negeri ini."
Macaria memegang tangan Artemis. "Tidak peduli apa yang orang lain katakan. Kau adalah kakakku, dan aku akan selalu ada untukmu. Kau jauh lebih kuat, Kak."
Artemis tersenyumtipis, tetapi ketakutan di matanya belum hilang. Ia tahu bahwa situasi inihanya akan semakin sulit.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top