Bab 14: Gema Penyesalan di Bawah Bulan
***
Malam itu, taman istana berkilau di bawah cahaya bulan purnama yang membias lembut di permukaan air kolam. Langit jernih, dihiasi bintang-bintang yang bersinar seolah turut menyaksikan keindahan malam. Udara dingin menyapu dedaunan, membawa keheningan yang menenangkan.
Ace berdiri di bawah pohon willow tua yang menjulang di tepi kolam, matanya menatap air yang tenang, memantulkan siluet bulan di langit. Pikirannya penuh dengan kegelisahan dan penyesalan. Ia menunggu, berharap Artemis benar-benar akan datang setelah pesan singkat yang ia titipkan melalui pelayan.
Langkah ringan mendekat dari arah belakang, dan Ace segera menoleh. Artemis muncul, mengenakan gaun malam berwarna putih lembut yang membuatnya tampak seperti bagian dari cahaya bulan itu sendiri. Wajahnya serius, tetapi ada keraguan di matanya.
"Kau ingin bicara?" tanya Artemis, suaranya lembut namun mengandung ketegangan.
Ace mengangguk, sedikit canggung. "Ya, aku perlu bicara ... dan aku tahu aku berutang banyak penjelasan."
Artemis berhenti beberapa langkah di depannya, menyilangkan tangan di depan dada. "Aku mendengarkan."
"Aku sudah banyak berpikir," Ace memulai, nadanya hati-hati. "Tentang semua yang terjadi. Tentang apa yang aku lakukan, kesalahpahaman kita dan bagaimana aku menyakitimu tanpa sadar."
Artemis tidak menjawab, hanya mendengarkan.
"Artemis," lanjut Ace, menatapnya langsung. "Aku tahu aku bodoh, aku juga membuatmu kecewa dan marah. Aku membiarkan diriku terjebak dalam sesuatu yang seharusnya tidak pernah terjadi. Tapi yang ingin kau tahu adalah—aku tidak pernah, sekalipun, memiliki perasaan untuk Greta. Dan malam itu, dia menarikku karena dia tersandung oleh gaunnya sendiri saat berusaha mendekatiku."
Artemis mendesah pelan, masih diam dalam pikirannya yang kacau. Keheningan melingkupi mereka sejenak, hanya diselingi oleh suara gemerisik angin dan riak air kolam.
"Aku juga salah." Akhirnya Artemis berkata, suaranya lebih lembut. "Aku terlalu keras padamu dan tak mendengarkan penjelasanmu lebih lanjut. Aku tahu kau tidak seperti itu, tetapi aku membiarkan emosiku menguasai segalanya. Maaf."
Ace melangkah mendekat, dengan hati-hati mengulurkan tangannya. Suaranya lebih dalam, hampir bergetar oleh emosi. "Aku mencintai seseorang, Artemis. Seseorang yang lebih berarti dari apa pun di dunia ini. Dia adalah seorang putri raja. Putri yang aku jaga sejak kecil, yang aku lihat tumbuh menjadi wanita yang luar biasa. Dia adalah kau, Artemis."
Artemis mendongak, matanya melebar terkejut mendengar pengakuan itu. Matanya melembut, dan tanpa sadar ia merasakan dadanya berdebar lebih kencang. "Ace ...."
"Kau tidak perlu membalasnya sekarang. Aku hanya ingin kau tahu, tidak ada yang lebih berarti bagiku selain dirimu." Ace tersenyum tipis, sedih namun penuh kejujuran. "Aku tahu aku mungkin tidak pantas mengucapkannya. Aku tahu, aku hanya seorang prajurit, penjaga yang tak berarti dibandingkan denganmu. Tapi perasaan ini nyata. Dan aku tidak bisa menyimpannya lagi."
"Kenapa baru sekarang kau bilang? Setelah semua hal yang terjadi?" tanya si gadis, suaranya bergetar.
Ace tertawa kecil, getir. "Karena aku pengecut. Karena aku takut. Takut menghancurkan apa yang kita miliki. Tapi sekarang, aku lebih takut kehilanganmu sepenuhnya."
Artemis menatapnya dalam-dalam. Ada banyak hal yang ingin ia katakan, namun semuanya terasa seperti terhenti di tenggorokannya.
"Ace." Akhirnya ia berkata, suaranya bergetar. "Aku juga ... merasa ada sesuatu di antara kita. Selalu. Tapi aku terlalu takut mengakuinya. Aku takut kehilangan kendali atas diriku, takut bahwa aku hanya akan menyakiti kita berdua."
Mendengar kata-kata itu, Ace mendekat, perlahan menghapus jarak di antara mereka. Ia mengulurkan tangannya, menunggu tanpa memaksa "Kita bisa menghadapi semuanya bersama, Artemis. Apa pun yang terjadi, aku akan ada di sisimu."
Artemis menatap tangan itu, lalu perlahan-lahan meraihnya. Sentuhan itu hangat, penuh janji. "Kalau begitu," katanya dengan senyum tipis yang mulai tumbuh di wajahnya. "Jangan pernah membuatku merasa seperti itu lagi, Ace."
Ace tersenyum lebar, lebih lega daripada yang pernah ia rasakan sebelumnya. "Aku janji." Tangannya mengangkat perlahan, beralih menyentuh pipi Artemis dengan lembut. "Kita bisa memperbaiki semuanya, Artemis. Bersama."
Artemis mengangguk kecil, dan dalam keheningan yang penuh arti, mereka mendekat. Mata mereka saling menatap dan berpelukan, seperti lega karena perasaan itu tersampaikan walaupun mereka tak tahu bagaimana kelanjutan dari hubungan terlarang mereka.
Malam itu, di bawah cahaya bulan yang indah, keduanya menemukan jalan untuk menyatukan hati mereka kembali, menghapus kesalahpahaman dan rasa sakit yang sempat memisahkan. Pelukan itu seperti penutup dari kesalahpahaman dan awal mula dari kisah rumit mereka.
Setelah sesi pelukan hangat itu, Artemis sedikit menjauh dengan canggung, matanya masih menatap Ace dengan campuran emosi yang sulit dijelaskan. "Itu sangat ... ah, mau duduk di sana?" tawarnya memecah keheningan di antara mereka.
Ace tersenyum kecil, menggenggam tangan Artemis yang tampaknya sedikit malu-malu setelah saling mengungkapkan perasaan mereka yang mendadak di bawah bulan malam itu. "Ayo."
Kedua duduk berdampingan, menikmati malam sunyi yang tenang berhias bintang dan rembulan. Artemis menundukkan kepala sejenak, lalu menatap Ace dengan senyum lembut. "Ace, kau tahu ... aku mungkin keras kepala dan terlalu perfeksionis. Tapi aku sadar, aku tidak bisa melakukan semuanya sendiri. Aku membutuhkanmu. Aku ... aku membutuhkan kita."
Ace menatap Artemis. "Kau tidak pernah sendiri, Artemis. Bahkan ketika kau merasa aku jauh, aku selalu ada di sisimu, mendukungmu. Jangan pernah ragu tentang itu."
Artemis mengangguk pelan, lalu menatap ke arah langit berbintang. "Kadang aku iri pada bintang-bintang itu. Mereka bersinar dengan tenang, tanpa harus memikul tanggung jawab atau tekanan. Tapi mungkin, tanggung jawab ini adalah jalanku untuk menjadi lebih kuat."
"Kau sudah kuat," ujar Ace sambil tersenyum. "Lebih dari siapa pun yang kukenal. Tapi bahkan seorang pemimpin kuat pun berhak memiliki seseorang yang mendukungnya. Kau memiliki aku, Artemis. Dan juga Nolan dan Aiden ... meski Aiden lebih suka membuat lelucon daripada membantu."
Artemis tertawa kecil, suaranya lembut seperti melodi. "Ya, kurasa Aiden memang keahliannya membuat suasana jadi lebih ringan. Kadang, aku merasa dia lebih cocok jadi pelawak daripada seorang prajurit."
Keduanya tertawa bersama, suasana yang sempat tegang berubah menjadi hangat. Di sisi lain, Greta, yang berdiri di teras istana, juga memperhatikan mereka dari kejauhan. Namun, alih-alih merasa terganggu, ia malah tersenyum licik, seolah telah menemukan celah untuk mempermainkan situasi. "Ah, Artemis ... kau mungkin pikir kau menang malam ini. Tapi permainan baru saja dimulai," gumamnya sambil memutar cangkir teh di tangannya.
Kembali di taman, di mana Artemis dan Ace menghabiskan malam indah itu. Gadis bergaun putih bersih itu menatap lekat sosok di sebelahnya, pemuda bermanik hazel yang selalu ada untuknya. "Terima kasih, Ace."
Ace menggelengkan kepala. "Untuk apa?"
"Segalanya," balasnya.
Percakapan mereka berlanjut tenang, hanya berisi kegiatan yang mereka lupakan beberapa hari belakangan serta luapan kekesalan Ace yang beberapa terakhir selalu diabaikan oleh gadis itu. Malam itu, ketegangan di antara keduanya lenyap, hanya berisi kehangatan dan rasa saling melindungi.
Sementara itu, Vincent yang berjalan-jalan di taman tanpa sengaja mendekati tempat Artemis dan Ace berbicara. Ia berhenti di balik semak-semak, mendengarkan percakapan mereka dengan senyum sinis. Ketika ia mendengar nada keakraban antara mereka, ia merasa sedikit terganggu.
"Jadi, prajurit ini lebih dari sekadar penjaga. Menarik," gumamnya sembari tersenyum miring.
Vincent muncul dari balik semak-semak, berpura-pura terkejut akan kehadiran Artemis dan Ace.
"Oh, maafkan aku. Aku tidak bermaksud mengganggu percakapan pribadi kalian."
Artemis sedikit terkejut sebenarnya, namun ia tetap berusaha tenang dan menatap pemuda berambut pirang itu dengan tatapan datar. "Tidak apa-apa, kami hanya berbicara tentang hal-hal biasa. Apa yang kau lakukan malam-malam di sini?"
"Hanya mencari udara segar, dan kebetulan melihat kalian yang sedang menikmati malam di sini."
"Oh, baiklah." Artemis hanya mengangguk, tanpa tahu harus berucap apa lagi.
Vincent tersenyum kecil, manik biru lautnya itu menatap tajam ke arah Ace yang berdiri tepat di sebelah Artemis. "Kau? Seorang prajurit?" tanyanya dengan sedikit nada ketus.
"Ya, saya hanya mengantar Tuan Putri dan menemaninya."
Vincent tersenyum, tetapi matanya menyiratkan kecurigaan. "Oh, bagus sekali." Ia menatap ke arah Artemis. "Bagaimanapun, aku berharap bisa menghabiskan lebih banyak waktu bersamamu, Artemis. Semoga kita bisa berbicara lebih banyak besok. Istirahatlah sekarang, kita banyak agenda besok."
Artemis sedikit mengernyit, tak nyaman dengan sikap pemuda itu yang berani memerintahnya. "Aku juga tahu akan jadwalku," ungkapnya dengan sedikit sinis.
"Mari akan aku antar saja, sebagai calon suamimu aku berhak menjagamu."
Ace yang mendengar itu hanya bisa menatap tanpa berucap apa pun, meski hatinya terasa ada sesuatu yang menggajal dan sangat sakit, ia tetap berusaha tenang. Sedangkan Artemis memilih untuk menggelengkan kepalanya pelan.
"Aku akan diantar olehnya, tidak perlu repot-repot, Pangeran." Ia tersenyum untuk seperkian detik, kemudian berpamitan bersama Ace. "Selamat malam, Pangeran Vincent." Artemis segera berjalan pergi bersama Ace yang mendampinginya.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top