Bab 13: Dalam Bayang Kecemburuan

***

Artemis dan Vincent berjalan berdampingan di taman istana yang asri. Pohon-pohon berbunga mekar di sepanjang jalur setapak, memberikan aroma manis yang menyegarkan. Mereka melangkah perlahan, menikmati suasana sore yang tenang. Taman kaca itu milik Artemis, di bangun khusus atas permintaannya, setiap sudutnya berisi setiap koleksi bunga favorit putri mahkota itu.

"Aku harus akui, taman ini jauh lebih indah dan cantik daripada apa yang aku bayangkan," kata Vincent sambil melirik Artemis dengan senyum lembut.

Gadis bergaun ungu itu tersenyum kecil. "Terima kasih. Aku yang meminta taman ini dirancang sedemikian rupa," balas Artemis sambil menyentuh kelopak mawar yang menggantung rendah. 

"Dan sepertinya kecantikan itu diturunkan kepada putrinya," tambah Vincent dengan nada menggoda, membuat Artemis tertawa kecil.

"Vincent, kau terlalu pandai merayu. Apakah itu sesuatu yang biasa kau lakukan di istanamu?" tanya Artemis sambil meliriknya setengah bercanda. Namun, tentu saja ada makna tersembunyi di balik ucapannya itu.

"Tidak, tentu tidak," jawab Vincent sambil menaruh tangan di dada, seolah bersumpah. "Hanya untuk seseorang yang spesial."

Artemis tertawa lagi, namun ada sedikit kehangatan di pipinya. 

"Artemis, kau suka mengoleksi bunga mawar ya," sela Vincent yang beberapa kali menjumpai bunga mawar di setiap sudut yang berbeda, dan jenisnya pun tak hanya satu. Si gadis hanya mengangguk saja sebagai jawaban. "Kenapa?"

"Aku menyukainya. Bunga mawar menyimbolkan banyak hal tergantung warnanya. Meskipun durinya bisa melukaimu." Artemis berhenti di koleksi mawar yang sengaja ia simpan. "Ini favoritku." Ia menunjukkan sebuah bunga dengan kelopak hitam yang tampak cantik.

"Mawar hitam?"

"Ya, artinya kematian," balas si gadis sembari menatap lekat pemuda itu. Vincent sejujurnya merasa sedikit aneh, tapi ia berusaha tetap tenang.

Mereka akhirnya melanjutkan percakapan ringan, berbicara tentang masa kecil, kesibukan kerajaan masing-masing, dan cerita-cerita lucu yang membuat mereka tertawa bersama.

Di kejauhan, Ace berdiri di balik bayangan pohon, matanya terpaku pada mereka. Ia melihat bagaimana Vincent berbicara dengan penuh percaya diri, dan bagaimana Artemis tampak nyaman bersamanya. Tangannya mengepal, perasaan tak nyaman mulai menguasainya.

"Cukup menyakitkan, bukan?" Suara lembut namun tajam terdengar di belakangnya.

Ace berbalik, mendapati Greta berdiri dengan senyum penuh arti di bibirnya. Ia mengenakan gaun tipis berwarna hijau zamrud, memeluk tubuhnya dengan anggun. Entah mengapa gadis itu selalu memakai gaun yang sedikit terbuka di banding para gadis lain di istana.

"Apa maumu, Greta?" tanya Ace dingin, tak berniat meladeni permainan ini.

Greta mendekat, matanya bersinar dengan kepuasan. "Oh, aku hanya merasa kasihan padamu. Kau tampak begitu gelisah, melihat mereka begitu dekat. Mungkin ... sedikit cemburu?"

"Aku tidak punya waktu untuk ini," kata Ace, berusaha berbalik pergi.

Namun Greta menangkap lengannya, menghentikannya. "Kenapa tidak? Kau tahu, Ace, kalau kau hanya melihat, mereka mungkin akan semakin dekat. Mungkin Vincent akan berhasil memenangkan hati Artemis dan menerima perjodohan itu, Kau siap menerima itu?"

Ace melepaskan tangannya dengan tegas. "Artemis tahu apa yang dia inginkan. Aku percaya padanya."

"Benarkah?" Greta tersenyum sinis, melangkah lebih dekat. "Kalau begitu, kau benar-benar buta, Ace. Lihat cara Vincent memandangnya. Kau pikir itu hanya basa-basi? Dia pria yang tahu cara memenangkan wanita. Terlebih ... dia seorang pangeran dan calon raja Khalveros, bukan seorang prajurit."

Pemuda berambut hitam itu menatap Greta dengan tajam, emosinya hampir tak terkendali. "Apa yang kau dapatkan dari ini, Greta? Kenapa kau begitu ingin melihat kami terpisah?"

Greta terkekeh kecil, melangkah mundur dengan anggun. "Oh, Ace, aku hanya menikmati permainan. Dan kau, tampaknya, adalah pemain yang buruk."

Ia berbalik dan pergi, meninggalkan Ace dalam keheningan yang penuh ketegangan. Dari kejauhan, suara tawa Artemis dan Vincent terdengar, seperti duri yang menusuk hatinya. Namun, Ace menarik napas dalam, mencoba menenangkan dirinya. Meski begitu ucapan dari Greta tentang perbedaan antara dirinya dan Vincent, cukup membuat Ace seolah tersadarkan.

"Percayalah pada Artemis," bisiknya pada dirinya sendiri, meskipun rasa cemas itu tetap menghantui.

***

Para ksatria sibuk dengan pedang dan perisai mereka, melatih gerakan demi gerakan dengan semangat membara. Ace berdiri di sudut, mengamati Nolan yang baru saja menyelesaikan sesi latihannya. Peluh membasahi dahi Nolan, tetapi ia tetap tersenyum puas.

"Latihan yang bagus, Nolan," kata Ace sambil melipat tangan di dada.

"Terima kasih, Kapten," jawab Nolan dengan nada santai dan sedikit tertawa kecil. "Kau seharusnya ikut. Siapa tahu aku bisa mengalahkanmu kali ini."

Ace tertawa kecil. "Kita bisa coba kapan saja, tapi jangan terlalu berharap."

Di saat itu, sosok Artemis muncul di pintu halaman latihan. Ia mengenakan gaun sederhana berwarna biru langit, rambutnya tergerai lembut, bergerak dengan anggun namun tegas menuju ke arah mereka. Para prajurit yang melihatnya segera menundukkan kepala dengan hormat, tetapi Artemis tidak memedulikan mereka.

Ace segera menyadari kehadirannya dan berdiri lebih tegak, sedikit waspada. Namun, yang mengejutkan, Artemis berjalan melewatinya tanpa sepatah kata pun dan langsung menuju Nolan.

"Nolan," panggil Artemis, suaranya tenang namun tegas. Senyum di wajahnya merekah, ketika manik birunya menatap pemuda berambut cokelat itu.

Nolan, yang masih mengelap pedangnya, menoleh dan terkejut melihat Artemis begitu dekat. "Putri Artemis," katanya dengan nada hormat. "Ada yang bisa kubantu?"

"Ya," jawab Artemis sambil tersenyum tipis. "Aku ingin bicara denganmu. Bisa kita bicara sebentar, hanya kita berdua?"

Ace, yang berdiri tidak jauh dari mereka, mengerutkan kening. Matanya berpindah dari Artemis ke Nolan, jelas merasa terganggu dengan permintaan itu. Ada urusan apa Artemis dengan Nolan? Dan kenapa bukan dirinya? Banyak sekali pertanyaan-pertanyaan ganjil dalam hatinya, tapi ia hanya bisa memandang mereka, tanpa tahu harus bertindak apa.

"Eh ... tentu, Putri," jawab Nolan, bingung namun tetap patuh, tatapannya penuh kebingungan, menatap Ace yang tak jauh darinya. Ia meletakkan pedangnya di tempat penyimpanan dan mengikuti Artemis ke sudut halaman yang lebih sepi.

Ace hanya bisa menatap punggung mereka, tangannya mengepal tanpa disadarinya.

Di sudut halaman, Artemis berhenti dan menoleh ke Nolan. "Maaf mengganggu waktumu, Nolan," katanya lembut.

"Tidak, Putri, kau tidak mengganggu. Ada apa yang perlu aku lakukan?"

Artemis menghela napas kecil sebelum menjawab. "Aku ingin berbicara santai denganmu," ujarnya memulai. "Dan ya, meminta pendapatmu, sebagai seseorang yang kupercaya. Kau cukup dekat dengan Ace, dan aku ingin tahu ... apa yang sebenarnya dia pikirkan akhir-akhir ini?"

Nolan terdiam sejenak, mencoba memahami maksud pertanyaan itu. "Ace? Maksudmu, tentang pekerjaannya atau ... sesuatu yang lain?" tanyanya memastikan.

"Segalanya," jawab Artemis dengan nada yang sulit ditebak. "Apa dia pernah bercerita sesuatu padamu? Tentang perasaannya? Tentang ... aku? Atau tentang gadis yang ia sukai?"

Nolan sedikit terkejut, tetapi ia dengan cepat menyembunyikan ekspresinya. "Ace jarang bicara tentang hal pribadi. Tapi yang kutahu, dia sangat peduli padamu. Itu terlihat jelas dari caranya melindungimu."

"Hanya itu?" tanya Artemis memastikan lagi. "Kau tahu, aku benar-benar merasa dia menyukai gadis lain, seperti Greta mungkin, karena malam itu."

Pemuda berambut cokelat itu mengangguk pelan, memahami kegelisahan yang dialami Artemis. "Sejujurnya dia tak pernah menceritakan tentang gadis lain, karena dalam cerita-ceritanya pasti tentangmu, Artemis. Ace tak pernah seperti ini sebelumnya." Ia menjeda sejenak. "Coba bicaralah dengannya, aku sangat yakin hatinya untuk siapa."

Si gadis menoleh kaget dengan ucapan terakhir Nolan. "Maksudmu?"

"Kau akan tahu sendiri nanti, Artemis. Kalian berdua itu ... lucu. Saling bersembunyi, sama-sama takut dengan sesuatu yang terpendam di dalam sana, harusnya kau menyadari nya kan, Artemis?" Nolan menatap langit di atas sana, burung-burung yang tampak terbang bebas dan langit biru yang luas.

Artemis tersenyum kecil seperti baru saja mendapatkan percerahan, meski begitu matanya masih menyimpan berbagai macam rasa penasaran sekaligus kesal. "Terima kasih, Nolan. Aku hanya ... ingin memastikan sesuatu."

"Artemis ...." Nolan ragu-ragu sebelum melanjutkan. "Jika kau ingin tahu apa yang ada di pikirannya, mungkin lebih baik bertanya langsung pada Ace. Dia akan lebih jujur jika itu datang darimu."

Artemis mengangguk pelan, lalu menatap Nolan dengan lembut. "Kau benar. Tapi untuk saat ini, aku hanya butuh waktu untuk berpikir. Terima kasih, Nolan."

Di kejauhan, Ace masih memandang mereka dengan ekspresi yang sulit ditebak, jelas terganggu dengan kedekatan Artemis dan Nolan. Ia tidak bisa mendengar percakapan mereka, tetapi melihat Artemis berbicara begitu dekat dengan Nolan sudah cukup membuatnya merasa cemas.

Saat Artemis danNolan kembali ke tempat latihan, Ace berusaha memasang wajah datar, tetapitatapan matanya tetap tajam, penuh dengan pertanyaan yang tak terucap. Artemis,tanpa memandangnya, hanya berlalu begitu saja, meninggalkan Ace dengan perasaanyang makin membingungkan.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top