Bab 12: Pangeran Khalveros
***
Awan pagi yang cerah menyelimuti Istana Vraemor. Di halaman utama, barisan prajurit berseragam rapi berbaris untuk menyambut tamu kerajaan dari Khalveros. Iring-iringan kereta emas yang megah berhenti di depan gerbang utama, menarik perhatian setiap orang yang hadir. Pangeran Vincent, pewaris takhta Khalveros, melangkah turun dari kereta dengan percaya diri. Rambut pirangnya bersinar di bawah cahaya matahari, dan matanya yang biru dingin menyapu sekelilingnya, mencari sosok yang paling ingin ia temui.
Artemis berdiri di samping takhta Raja Alarick dan Ratu Remora, mengenakan gaun merah anggur yang anggun. Wajahnya tenang, meskipun hatinya berdebar keras. Manik biru itu menatap tajam sosok pemuda yang tersenyum lebar ke arahnya. Senyum yang ia pamerkan hanyalah kedok. Di dalam hatinya, masih ada bara dingin akibat perselisihan dengan Ace beberapa hari lalu. Ia melihat Vincent berjalan mendekat, dengan senyum percaya diri yang tak kalah berkilau dari baju zirah peraknya. Sedangkan dari kejauhan, Ace berdiri bersama para prajurit, memperhatikan setiap gerak-gerik Vincent dengan tatapan waspada.
Raja Alarick tersenyum, menyambut Vincent. "Pangeran Vincent, kami merasa terhormat atas kunjunganmu ke Vraemor."
Vincent membalas dengan senyum penuh pesona, sesekali tatapannya tertuju pada gadis yang sama sekali tak menoleh ke arahnya. "Kehormatan itu milik saya, Yang Mulia. Kerajaan Vraemor selalu menjadi sekutu yang berharga bagi Khalveros. Dan tentu saja, saya senang akhirnya bisa bertemu Putri Artemis lagi."
"Putri Artemis," Vincent membungkuk sopan, tetapi matanya menyiratkan sesuatu yang lain—ambisi dan pesona bercampur menjadi satu. "Kehadiranmu membuat ruangan ini tampak lebih hidup."
Artemis tersenyum kecil, menundukkan kepala. "Pangeran Vincent. Kehormatan bagiku menyambutmu di Vraemor." Tatapan Vincent terlalu lama tertuju padanya, membuatnya merasa seperti sedang dinilai dari atas hingga bawah.
"Siapkan jamuan makan malam untuk tamu spesial kita," perintah Raja Alarick kepada pelayannya.
Di sudut ruangan, Ace berdiri tegak, memperhatikan setiap gerak-gerik Vincent dengan tatapan tajam. Ia berada di sana untuk menjaga keamanan istana, namun hatinya terasa berat saat melihat Artemis tersenyum kepada Vincent. Sejak perselisihan mereka, Artemis mulai menjauh darinya, dan kini, melihat Artemis berbincang akrab dengan pria lain, rasanya seperti luka yang terus dikorek.
***
Sebelum makan malam dimulai, Artemis yang masih berada di kamarnya untuk bersiap tampak terlihat tak ada semangat sama sekali. Gaun khas bangsa eropa berwarna peach itu tampak melapisi tubuhnya. Beberapa pelayan membantu Artemis untuk memasangkan korset dan pernah pernik lainnya.
"Anda terlihat sangat menawan, Yang Mulia. Pasti Pangeran Vincent akan langsung terpesona," ujar salah satu pelayannya.
Artemis hanya menatapnya, helaan napas panjang terdengar dari mulutnya. "Aku tidak peduli dengannya." Si gadis yang tampak cantik dengan balutan gaun mahal khas kerajaan itu menatap dirinya sendiri di pantulan cermin. "Untuk apa aku menikahi orang yang tidak aku cintai?"
"Cinta bisa datang dengan sendirinya. Pangeran Vincent tampan, pasti banyak gadis yang cepat jatuh cinta dengan pemuda seperti dirinya."
Artemis menatap pelayan itu dengan tatapan tajam. "Apa menurutmu cinta itu datang dari fisik seseorang?" tanyanya dengan nada yang sedikit ketus. "Jika kau berpikir seperti itu, kau tidak akan pernah puas mencari yang lebih sempurna."
Sontak pelayan itu terdiam, menunduk malu setelah mengucapkan kalimat tadi. Artemis menatapnya sekilas, kemudian berjalan pergi meninggalkan kamarnya untuk segera menuju ruang makan.
Malam hari ini, Istana Vraemor mengadakan jamuan makan malam untuk menghormati kedatangan Vincent dan keluarganya. Meja panjang dipenuhi hidangan mewah, sementara para bangsawan berbincang dalam suasana formal. Kedatangan Artemis mengundang banyak mata memandang, gadis itu benar-benar cantik dengan balutan gaun bangsawan eropa, meski dalam dirinya mengalir darah kedua bangsa.
Vincent segera menghampiri si gadis, mengulurkan tangannya untuk menuntun gadis itu di kursi yang telah disiapkan. Artemis hanya tersenyum paksa, menerima uluran itu. "Terima kasih."
Vincent yang duduk di samping Artemis, terus berusaha memulai percakapan dengannya. Pemuda berambut pirang itu tersenyum, mencoba menarik perhatian. "Artemis, cerita tentang keindahanmu rupanya tidak dilebih-lebihkan. Kau seperti rembulan yang bersinar menerangi malam yang indah ini."
Si gadis hanya menatapnya bosan, menghela napas panjang untuk waktu yang baginya berjalan sangat lambat ini. Ingin rasanya ia kabur dengan segera ke tempat lain, menjauh dari semua orang dengan sikap palsu mereka.
Lampu gantung kristal bersinar terang, menerangi balairung istana Vraemor yang megah. Meja makan panjang dipenuhi berbagai hidangan mewah, dari roti yang baru dipanggang hingga daging yang diasap sempurna. Para bangsawan duduk dengan anggun di kursi mereka, bercakap-cakap dengan suara rendah. Di ujung meja, Pangeran Vincent duduk di sebelah Artemis, tampak nyaman seolah-olah ia sudah menjadi bagian dari keluarga kerajaan.
Raja Alarick dan Ratu Remora duduk di kursi tengah, memperhatikan tamu mereka dengan senyuman hangat. Namun, bagi Artemis, suasana ini terasa sesak. Ia duduk dengan punggung lurus, wajahnya tetap tenang meski pikirannya jauh dari tempat ini.
Vincent dengan suara lantang, mencuri perhatian. "Kerajaan Vraemor benar-benar mengesankan. Bangunan istana ini mencerminkan sejarah yang panjang dan kekuatan yang tak tergoyahkan. Kalian patut berbangga."
Bangsawan-bangsawan lain mengangguk setuju, sementara Raja Alarick tersenyum puas. "Kami berusaha menjaga tradisi kami, Pangeran Vincent. Vraemor adalah warisan yang harus dijaga dan dikembangkan."
"Dan aku yakin di bawah kepemimpinan Putri Artemis kelak, Vraemor akan mencapai kejayaan yang lebih besar," ungkapnya dengan penuh kebanggaan menatap gadis yang ada di sebelahnya.
Semua mata tertuju pada Artemis. Ia tersenyum kecil, berusaha tetap sopan. "Terima kasih atas keyakinanmu, Pangeran Vincent. Aku hanya berusaha melakukan yang terbaik untuk kerajaan."
Vincent melanjutkan percakapann mereka, mencoba menciptakan suasana yang lebih santai. "Tapi bukan hanya istana dan kerajaan ini yang luar biasa. Makanan di sini juga istimewa. Apakah ada hidangan khas Vraemor yang menjadi favoritmu, Artemis?"
"Aku tidak memiliki satu favorit tertentu, tapi aku sangat menikmati hidangan sederhana seperti sup gandum."
"Luar biasa! Bahkan seorang putri memiliki selera yang sederhana. Aku harus mencicipinya. Siapa tahu, mungkin aku akan mendapatkan resep untuk dibawa pulang ke Khalveros," ujarnya sembari tertawa kecil mendengar makanan favorit dari gadis yang ia impikan menjadi istrinya kelak._
Semua orang di meja tertawa kecil, kecuali Ace yang berdiri di dekat pintu, mengamati percakapan itu dengan ekspresi tenang tapi penuh perhatian.
Percakapan itu tak berhenti sampai di sana, bahkan Vincent kemudian mengarahkan pembicaraan ke hal-hal yang lebih pribadi, berharap bisa menarik perhatian Artemis lebih dalam. "Aku mendengar kau juga suka berkuda, Artemis. Di Khalveros, kami memiliki padang rumput yang luas untuk berkuda. Aku akan sangat senang jika suatu hari kau datang ke sana dan mencobanya."
Artemis tersenyum tipis, merasa terpojok oleh perhatian yang terlalu banyak. "Itu terdengar menarik. Aku yakin Khalveros memiliki banyak keindahan yang patut dikagumi."
"Itu benar. Tapi keindahan terbesar yang aku lihat sekarang ada di hadapanku," ujarnya dengan nada menggoda sembari menatap Artemis. Ucapan itu membuat beberapa bangsawan tersenyum geli, sementara Artemis merasakan pipinya memanas. Ia cepat-cepat mengambil cawan anggurnya untuk menutupi rasa tidak nyamannya.
Ace, yang berdiri di dekat pintu bersama prajurit lain, memperhatikan setiap kata Vincent dengan cermat. Tatapannya mengeras saat Vincent terus-menerus mencoba menarik perhatian Artemis. Namun, ia tahu bahwa ini bukan tempat atau waktunya untuk campur tangan. Ia hanya bisa menahan diri, meski hatinya terasa berat.
***
Saat makan malam berakhir, Vincent berdiri dari kursinya dan membungkuk hormat kepada Raja Alarick dan Ratu Remora. "Terima kasih atas keramahan kalian malam ini. Aku merasa sangat terhormat bisa berbagi meja dengan keluarga kerajaan Vraemor."
Semua orang berdiri, memberikan penghormatan sebagai tanda akhir acara. Saat Artemis hendak pergi ke kamarnya, Vincent mendekatinya lagi. Pemuda berambut pirang itu tampaknya lebih gencar dari yang Artemis pikir.
"Artemis, aku harap kita bisa berbicara lebih banyak lagi besok. Aku sangat menikmati waktu bersamamu."
Artemis hanya mengangguk singkat, lalu pergi menuju taman istana dengan langkah cepat. Di belakangnya, Ace melihat punggungnya yang perlahan menjauh, dengan hati yang bergejolak antara kecemburuan dan kekhawatiran.
"Artemis," panggilnya, suaranya tegas namun lembut.
Artemis menghentikan langkahnya, namun tidak berbalik. Ia hanya berdiri memandangi langit malam yang dihiasi bintang-bintang, angin sepoi-sepoi menggoyangkan gaun berwarna peach nya itu.
"Artemis," ulang Ace, kini lebih dekat. "Kita perlu bicara."
Akhirnya, Artemis memutar tubuhnya, menatap Ace dengan ekspresi datar. "Ada apa?" balasnya dengan singkat, suaranya terkesan tajam dan dingin tidak seperti biasanya.
Ace menatapnya, sorot matanya penuh penyesalan. "Aku tahu aku salah malam itu. Aku harusnya tidak membiarkan diriku terjebak dalam rencana Greta. Aku bodoh karena tidak menyadari apa yang dia rencanakan."
Artemis mengangkat dagunya, nada suaranya dingin. "Aku tidak peduli, Ace. Aku sudah bilang, kau bebas melakukan apa pun yang kau mau. Kalau kau ingin bersama Greta, silakan saja."
Ace menggeleng dengan cepat, langkahnya maju mendekati Artemis. "Jangan bicara seperti itu. Kau tahu aku tidak pernah berniat mendekati Greta. Aku hanya membantunya ... atau setidaknya, aku pikir aku membantu."
Artemis mendesah pelan, mencoba menahan emosi yang mendidih. "Ace, kau tidak tahu bagaimana rasanya melihat orang yang kau percayai—orang yang kau ...." Ia menggigit bibirnya, menahan kata yang hampir terucap. "Orang yang penting bagimu, berada di kamar dengan seseorang yang hanya ingin memecah belah kita."
"Aku tahu," kata Ace dengan nada rendah, tetapi penuh kesungguhan. "Dan itu adalah kesalahanku. Aku tidak berpikir jauh. Aku tidak mendengar firasatku, atau bahkan memikirkan perasaanmu. Aku hanya ingin kau tahu, aku tidak punya perasaan apa-apa terhadap Greta. Yang aku pedulikan hanya kau, Artemis."
Artemis menatapnya, matanya berkilat, separuh dari kemarahan yang ia simpan mulai meluruh, tetapi ia tidak ingin menyerah begitu mudah. "Dan kenapa aku harus percaya padamu sekarang?"
Pemuda itu mendekat, berdiri hanya beberapa langkah darinya. "Karena aku bersungguh-sungguh. Karena aku tahu aku tidak sempurna, tapi aku akan melakukan apa pun untuk memperbaiki ini. Karena, Artemis, aku tidak bisa membayangkan hidupku tanpa berada di sisimu."
Kata-kata itu membuat Artemis terdiam sejenak. Angin malam membawa keheningan di antara mereka, hanya suara gemerisik dedaunan yang menemani.
"Aku butuh waktu, Ace," ucap Artemis akhirnya, dengan suara lebih lembut dari sebelumnya. "Waktu untuk memikirkan semuanya."
Ace mengangguk perlahan, menerima apa yang ia dapatkan. "Ambillah waktu sebanyak yang kau butuhkan. Aku akan menunggu, apa pun yang terjadi."
Artemis menatapnyasebentar sebelum berbalik, melanjutkan langkahnya menuju taman, meninggalkanAce yang berdiri di koridor. Namun kali ini, langkahnya terasa lebih ringan,seperti beban di hatinya mulai terkikis sedikit demi sedikit.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top