Bab 11: Malam yang Membekas
***
Senja mulai turun, mewarnai istana dengan nuansa oranye keemasan. Para pelayan sibuk menyalakan lentera di sepanjang lorong, sementara para bangsawan bersiap untuk makan malam bersama. Di salah satu koridor yang sepi, Greta dengan langkah hati-hati menghampiri Ace yang sedang berbicara dengan Nolan.
"Ace," panggil Greta dengan nada lembut, wajahnya tampak memelas.
Ace menoleh, sedikit terkejut melihat Greta. "Ada yang bisa saya bantu, Lady Greta?"
Greta memainkan ujung selendangnya, tampak gugup namun penuh niat. "Aku ... ada sedikit masalah di kamarku. Lemari bajuku macet, dan aku tidak tahu harus meminta bantuan siapa. Bisakah kau membantuku sebentar saja?"
Nolan mengangkat alisnya, mencium sedikit ketidakberesan. Tetapi Ace tetap bersikap sopan. "Tentu. Saya akan membantu sebentar."
Greta tersenyum, terlalu manis untuk tidak mencurigakan, dan memimpin jalan ke kamarnya. Saat mereka tiba, pintu kamar terbuka dengan anggun. Kamar itu tertata rapi, tak ada tanda-tanda lemari yang bermasalah.
"Di sana," tunjuk Greta ke arah lemari besar di sudut ruangan.
Ace berjalan mendekat dan mulai memeriksa lemari itu. Namun, saat ia mencoba menarik gagangnya, ia menyadari bahwa lemari itu sebenarnya tidak terkunci atau macet sama sekali. Normal saja untuknya.
"Tampaknya tidak ada masalah dengan lemari ini," katanya sambil menoleh.
Namun, ketika ia berbalik, Greta sudah berdiri sangat dekat dengannya, tatapannya penuh intensitas. Ia menyentuh lengan Ace dengan lembut, senyumnya berubah menjadi lebih sugestif.
"Ah, kau benar," katanya dengan nada yang nyaris berbisik. "Mungkin aku hanya terlalu panik. Tapi, aku senang kau ada di sini."
Ace mundur selangkah, merasa tidak nyaman. "Nona Greta, jika tidak ada masalah lagi, saya akan segera pergi."
Namun, sebelum Ace sempat melangkah, Greta dengan liciknya menarik dirinya lebih dekat, sampai membuatnya tersandung oleh gaunnya sendiri. Tangannya menarik Ace, yang membuat pemuda itu tak siap hingga ikut terjatuh di atas Greta. Dari sudut pandang tertentu, mereka tampak dalam posisi yang sangat intim.
Dan saat itu, pintu kamar yang tidak sepenuhnya tertutup terdorong terbuka. Artemis berdiri di ambang pintu, matanya membelalak melihat pemandangan di depannya. "Greta ...." ucapannya terputus menyaksikan itu.
"Artemis," ujar Ace dengan nada terkejut, langsung melepaskan diri dari Greta.
Namun, ekspresi Artemis sudah berubah menjadi dingin. Matanya menatap tajam ke arah keduanya, terutama Greta, yang dengan licik menyembunyikan senyum kemenangan kecil di balik wajah pura-pura bingungnya.
"Apa yang sedang terjadi di sini?" tanya Artemis, suaranya tenang tetapi penuh tekanan.
Greta mengambil inisiatif untuk berbicara. "Aku hanya meminta bantuan Ace tadi, tapi terjadi hal itu."
Ace segera menjelaskan. "Artemis, ini tidak seperti yang kau pikirkan. Greta memintaku kemari untuk memperbaiki lemari nya, tapi—"
Artemis mengangkat tangan, menghentikannya. "Tidak perlu menjelaskan, Ace. Sepertinya aku mengganggu sesuatu."
Tanpa menunggu jawaban, Artemis berbalik dan pergi dengan langkah tegas, meninggalkan Ace yang tampak frustasi dan Greta yang masih memasang wajah penuh kepura-puraan.
"Kenapa kau melakukan ini?" tanya Ace dengan nada tegas kepada Greta setelah Artemis pergi.
Greta hanya tersenyum, menyentuh lengannya sekali lagi. "Oh, Ace, aku hanya ingin kau mengerti ... siapa yang sebenarnya lebih peduli padamu."
Ace segera menarik diri darinya. "Aku tidak punya waktu untuk permainan seperti ini, Greta. Dan aku tidak akan membiarkan kau merusak hubungan apa pun antara aku dan Artemis."
Ia bergegas keluar, meninggalkan Greta sendirian di kamar, senyumnya perlahan memudar menjadi ekspresi kesal. Di dalam hati, ia tahu bahwa intriknya baru saja memulai babak baru yang lebih rumit.
***
Langit malam Vraemor dihiasi bintang-bintang yang berkilauan, tetapi di dalam istana, suasana terasa dingin dan tegang. Artemis berjalan cepat menyusuri lorong panjang, gaunnya bergemerisik melawan lantai marmer. Napasnya pendek-pendek, emosinya meletup-letup.
Di belakangnya, Ace berlari menyusul, langkahnya tergesa-gesa. "Artemis! Tunggu sebentar!" suaranya menggema di sepanjang lorong.
Artemis berhenti di depan pintu balkon yang menghadap taman, berbalik dengan tatapan tajam. "Apa lagi, Ace?" suaranya penuh kemarahan yang terpendam. "Apa lagi yang mau kau jelaskan?"
Ace tertegun di hadapannya. Mata hazelnya mencari celah untuk meredakan situasi, tetapi Artemis berdiri kokoh, jelas tidak ingin mendengar. "Artemis, kau salah paham. Aku hanya mencoba membantunya, tidak lebih. Yang kau lihat tadi tidak seperti yang kau bayangkan, dia jatuh dan menarikku."
"Oh, benarkah?" Artemis tertawa pendek, tetapi tidak ada kehangatan di sana. "Lalu bagaimana aku harus memaknai pemandangan itu, Ace? Kau berada di atas tubuhnya, di kamarnya, dengan dia yang tampak ... begitu siap. Apa aku hanya terlalu naif untuk percaya bahwa itu tidak berarti apa-apa?"
Ace mengangkat kedua tangannya, putus asa. "Dia menjebakku! Aku benar-benar tidak tahu kalau dia punya niat seperti itu. Artemis, kau harus mempercayaiku!"
Namun Artemis memalingkan wajahnya, menolak bertemu pandangnya. "Percaya? Bagaimana aku bisa percaya ketika kau terus memberikan alasan seperti ini? Atau memang mungkin aku yang harus menjaga jarakku dengan kalian." Artemis tertawa kecil. "Ya, maafkan aku. Aku tidak seharusnya marah, karena itu hak kalian."
"Tidak, Artemis. Aku mohon percayalah." Ace mendekat, mencoba menyentuh lengannya, tetapi Artemis mundur selangkah
"Aku hanya ingin kau tahu," katanya dengan suara pelan tapi tegas. "Kalau aku tidak akan terus membiarkan diriku disakiti olehmu dan aku akan membiarkanmu mengejar orang yang kau cintai." Setelah mengatakan itu, Artemis membalikkan badan dan berjalan pergi, meninggalkan Ace berdiri terpaku.
***
Beberapa waktu kemudian, Artemis sudah berada di taman istana. Di sana, Aiden dan Nolan tengah duduk di sebuah meja kecil, menikmati gelas anggur dan bercanda seperti biasa. Melihat Artemis mendekat, Aiden langsung berdiri dan memberi salam dengan gaya dramatis.
"Putri kita akhirnya memutuskan untuk bergabung dengan rakyatnya!" katanya dengan senyum lebar.
Artemis tertawa kecil, meskipun hatinya masih berat. Ia menarik kursi dan duduk bersama mereka. "Aku butuh tempat untuk melupakan sejenak," katanya, menghindari pertanyaan lebih lanjut.
Nolan mengangkat gelasnya, memberikan juga kepada Artemis. "Kalau begitu, kau datang ke tempat yang tepat. Kami punya banyak cerita bodoh untuk membuatmu tertawa—termasuk aksi Aiden saat dia hampir terjatuh dari kuda tadi pagi."
"Hei!" protes Aiden, mengangkat tangan dengan dramatis. "Itu tidak adil! Kudanya yang licik, bukan aku yang ceroboh." Artemis dan Nolan tertawa.
"Coba ceritakan kisah-kisah unikmu, Tuan Aiden Levent." Artemis mengangkat tangannya, seperti mempersilakan pemuda itu untuk bercerita lagi.
Aiden sedang mengayunkan tangannya dengan dramatis, wajahnya penuh ekspresi. "Jadi, aku berpikir, 'Ini akan mudah.' Hanya panjat dinding rendah untuk memetik apel itu. Tapi aku lupa satu hal penting—"
"Bahwa kau sangat tidak berbakat dalam memanjat?" Nolan menyela dengan nada geli.
"Tolong hargai seni cerita ini, Tuan Nolan," Aiden membalas dengan pura-pura tersinggung, membuat Artemis terkikik. "Seperti yang kubilang, aku lupa satu hal penting: dinding itu licin karena hujan sebelumnya. Jadi, saat aku melompat untuk meraih cabang pohon ..." Aiden berhenti sejenak, menatap keduanya dengan serius, membuat mereka semakin penasaran. "... aku terpeleset dan jatuh tepat ke tumpukan ... kotoran kuda!"
Artemis meledak dalam tawa, hampir tersedak minumannya. Nolan pun menepuk pahanya sambil tertawa terbahak-bahak. "Tentu saja itu terjadi padamu, Aiden! Kenapa kau tidak memeriksa dulu di mana kau berdiri?"
Aiden mengangkat bahunya dengan gaya santai. "Aku terlalu fokus pada apel itu. Kau tahu, kalau kau lapar, otakmu tidak bekerja dengan benar."
Artemis menghapus air mata kecil di sudut matanya akibat tertawa. "Dan setelah itu, apa kau masih mengambil apelnya?"
"Tentu saja!" Aiden menegakkan punggungnya dengan bangga. "Aku tidak akan kalah dari dinding licin atau ... tumpukan kotoran. Aku bahkan makan apelnya di tempat, meskipun aku sedikit bau."
Tawa Artemis pecah lagi. "Kau benar-benar tidak ada duanya, Aiden. Aku heran bagaimana kau selalu terlibat dalam hal-hal seperti ini," ujarnya masih tak henti tertawa.
Nolan menggeleng pelan, tetapi senyumnya tetap lebar. "Kau tahu, dia bahkan pernah mencoba menangkap babi liar di desa dengan tangan kosong."
Aiden memotong cepat, "Itu misi penting! Anak-anak desa memintaku membantu, dan aku tidak bisa menolak permintaan mereka."
"Tapi kau akhirnya dikejar babi itu selama setengah hari," Nolan menambahkan, membuat Artemis tertawa lagi.
Aiden mengangkat tangannya seolah menyerah. "Baiklah, aku mungkin tidak berhasil kali itu. Tapi ingatlah, aku adalah pria yang berani menghadapi tantangan, tidak peduli seberapa konyolnya."
Artemis tersenyum hangat, merasa hatinya lebih ringan setelah seharian penuh emosi. "Kalau begitu, aku senang memiliki kalian di sisiku. Kalian benar-benar teman terbaik yang bisa kuminta."
Aiden menepuk dadanya dengan gaya heroik. "Kami selalu di sini untukmu, Artemis. Bahkan kalau itu berarti melawan babi liar atau jatuh ke tumpukan kotoran lagi."
Tawa mereka memenuhi malam, melupakan sejenak kekhawatiran dan beban yang menanti. Untuk sesaat, mereka hanya tiga teman yang menikmati cerita-cerita konyol di bawah langit berbintang. Beberapa kali Nolan juga melirik ke arah Artemis, seperti melihat sesuatu yang berusaha di sembunyikan di balik tawanya.
Sementara itu, di sudut taman yang lebih gelap, Ace berdiri diam, memperhatikan dari kejauhan. Ia tidak ingin mengganggu Artemis, tetapi hatinya terasa berat. Melihat Artemis tertawa bersama kedua sahabatnya justru membuat rasa bersalahnya semakin mendalam.
"Kenapa kau tidak ke sana dan bicara lagi dengannya?" suara Nolan tiba-tiba memecah keheningan. Ia melirik Ace yang terlihat canggung di kejauhan.
Artemis menggeleng pelan, tidak ingin membahas. "Kalau dia mau bicara, dia tahu harus menunggu. Malam ini, aku lebih senang bersama kalian."
Ace mendengar itu danakhirnya memilih mundur dengan langkah berat. Meskipun ia merasa hancur, iatahu bahwa malam ini bukan waktunya untuk memperbaiki hubungan. Dalam hatinya,ia bersumpah untuk tidak menyerah pada Artemis, apa pun yang terjadi.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top