Bab 10: Insiden di Aula
***
Aula utama Istana Vraemor bersiap untuk acara resmi yang akan dihadiri oleh para bangsawan dan pejabat penting dari berbagai kerajaan tetangga. Dekorasi mewah memenuhi ruangan, lampu kristal menggantung di langit-langit tinggi, dan para pelayan sibuk mengatur meja panjang yang dihiasi bunga dan lilin. Artemis berdiri di sudut aula, mengenakan gaun sutra ala eropa berwarna biru tua dengan hiasan emas. Wajahnya tampak tenang, tetapi pikirannya gelisah setelah konflik dengan Raja dan Ratu beberapa hari sebelumnya.
Ace, yang kini memimpin pengamanan acara, berdiri tidak jauh darinya. Ia mengenakan seragam prajurit kebanggaan Vraemor, terlihat gagah tetapi dengan pandangan penuh kewaspadaan.
Dari jauh Ace yang melihat Artemis sendiri tampak menghampirinya. "Kau terlihat seperti ingin kabur lagi. Apa aku harus menahanmu kali ini?" ucapnya sembari tersenyum kecil.
"Tidak kali ini, Ace. Aku hanya mencoba menghindari semua tatapan itu."
Ace menatap sekitar, ikut tersenyum kepada tamu-tamu yang memang menatap ke arah mereka, atau lebih tepatnya ke arah gadis di sebelahnya. "Mereka tidak bisa menahan diri untuk tidak memperhatikanmu. Kau adalah calon ratu mereka. Dan kau sangat memukau malam ini."
Artemis menatap pemuda itu, meski jantungnya berdetak lebih cepat karena ucapan terakhir si pemuda. Namun, ia berusaha terlihat santai dan tenang. "Berhenti menatapku seperti itu, Ace," katanya ketika menyadari tatapan insten dari Ace.
Ace tertawa kecil. "Oke, maafkan aku," ucapnya. "Kau terlihat jauh lebih tenang dari yang aku kira setelah pertemuan dengan Raja dan Ratu."
Gadis itu tersenyum kecil mendengarnya. "Tenang bukan berarti semuanya baik-baik saja. Aku hanya berusaha tidak memikirkannya malam ini," ujarnya sembari tersenyum ramah ke arah tamu yang menatapnya.
"Baiklah, kalau begitu aku akan mengawasi, siapa tahu Vincent datang diam-diam untuk menemuimu," balas Ace dengan nada bercanda.
Si gadis tersenyum lebar. "Ya, terima kasih." Artemis menahan tawa kecil, tetapi ia menghentikan dirinya, menyadari bahwa ada banyak mata yang memperhatikan. Ia menatap pemuda di sebelahnya, berusaha menahan tawa. "Sudahlah, aku akan ke area utama untuk penyambutan."
Pemuda berseragam itu mengangguk. "Baiklah, Putri Mahkota," ujarnya sembari tertawa kecil dan mempersilakan gadis itu untuk berjalan terlebih dahulu.
***
Acara berlangsung lancar hingga tiba waktunya para pelayan membawa sebuah patung besar dari marmer ke tengah aula, sebagai bagian dari upacara penghormatan kepada leluhur kerajaan. Patung itu berdiri di atas panggung kecil, tetapi salah satu tali penyangga yang digunakan untuk mengangkatnya tampak terlihat tak cukup kuat.
Ketika para pelayan mencoba memasang patung tersebut, tali tiba-tiba putus, dan patung besar itu mulai jatuh ke arah kerumunan tamu. Seruan panik terdengar di seluruh aula, dan beberapa orang mulai berlari untuk menghindar.
"Tidak, tidak!" panik si gadis.
Tanpa sadar, Artemis mengulurkan tangannya ke arah patung yang jatuh. Dalam sekejap, energi gelap yang berbentuk bayangan kabut hitam bercampur ungu muncul dari tangannya. Kabut itu melingkari patung dan menghentikannya di udara, hanya beberapa inci dari lantai. Semua orang di aula terdiam, menatap kejadian itu dengan takjub dan ketakutan.
Artemis terkejut, ia segera menurunkan tangannya perlahan, dan kabut itu menghilang seketika. Patung itu turun dengan lembut ke lantai, tanpa menimbulkan kerusakan apa pun. Wajah Artemis memucat saat ia menyadari apa yang baru saja terjadi. Tangannya gemetar, dan ia berbalik untuk melihat siapa saja yang mungkin menyadari apa yang telah dilakukannya.
Di sudut ruangan, Ace berdiri mematung, matanya melebar melihat apa yang baru saja terjadi. Ia berjalan cepat mendekati Artemis sebelum orang lain sempat memperhatikan. "Artemis ... apa itu tadi? Itu kau?" tanyanya setengah berbisik.
Namun, sebelum Artemis bisa menjawab, Raja Alarick berdiri dari tempat duduknya, suaranya menggema di aula. "Apa yang terjadi di sini? Siapa yang menggunakan sihir?!"
Artemis membeku, menelan ludahnya sendiri dalam ketakutan. Di Vraemor, kekuatan magis atau sihir dianggap tabu dan berbahaya. Orang-orang dengan kekuatan magis sering kali diasingkan atau bahkan dihukum berat. Ketegangan memenuhi aula, tetapi Ace melangkah maju dengan sigap.
"Yang Mulia, itu hanya bayangan dari tirai yang bergerak karena angin. Tidak ada sihir di sini," ujar Ace menjelaskan.
Raja Alarick mengerutkan dahi, seperti tak yakin dengan apa yang terjadi baru saja. "Tirai? Jelas sekali aku melihat kekuatan magis di sana, bahkan patung itu harusnya jatuh dengan cepat jika talinya putus." Ace berusaha memikirkan jawaban lain demi melindungi Artemis. Namun, belum sempat dirinya memberikan jawaban lain, Raja Alarick kembali berucap dengan memberi perintah. "Aku ingin ada pengecekan, Ace. Mungkin salah satu dari tamu kita memiliki sihir, kau harus menemukannya."
Perintah dari rajanya itu hanya diangguki oleh Ace, ia kemudian melangkah pergi meninggalkan tatapan Artemis yang penuh ketakutan. Raja Alarick kemudian melambaikan tangannya, memberi isyarat agar acara dilanjutkan.
***
Setelah acara besar itu selesai, Artemis segera meninggalkan aula, mencoba menghindari tatapan orang-orang. Ia berjalan cepat ke taman belakang istana, tempat ia bisa bernapas lega. Namun, Ace mengikuti di belakangnya, memastikan tidak ada yang melihat.
Ace dengan suara lembut berusaha mengejar si gadis. "Artemis, tunggu."
Artemis berhenti, tetapi tidak berbalik. Ia menundukkan kepalanya, merasa takut dan malu atas apa yang terjadi. "Kau seharusnya tidak mengikutiku, Ace. Aku ... aku tidak tahu apa yang kau pikirkan setelah melihat itu."
Pemuda bermanik hazel itu mendekat, berusaha menenangkan si gadis. "Aku hanya ingin memastikan kau baik-baik saja. Apa pun itu tadi, kau tidak perlu takut. Aku di sini."
Artemis mendongak, air mata menggenang di matanya. Manik biru yang biasanya tampak berbinar itu, kini menyimpan ketakutan yang nyata. "Aku tidak tahu apa yang terjadi padaku. Kekuatan itu ... aku bahkan tidak tahu dari mana asalnya. Aku hanya tahu bahwa jika ayah tahu, aku akan diasingkan, atau lebih buruk lagi."
Ace meletakkan tangannya di pundak si gadis, berusaha menenangkannya. "Kita tidak akan membiarkan itu terjadi. Aku tidak akan membiarkan siapa pun menyakitimu. Aku bersumpah untuk merahasiakan ini."
"Ace, kau tidak mengerti. Jika orang-orang tahu, mereka tidak hanya akan membenci aku. Mereka akan membenci kerajaan ini karena memiliki ratu yang dianggap terkutuk."
"Artemis, dengarkan aku. Kau lebih dari sekadar pewaris takhta. Kau adalah seseorang yang peduli pada rakyatmu, yang berani melawan demi apa yang benar. Kekuatanku adalah melindungimu, apa pun yang terjadi."
"Tapi ... aku takut, Ace," ucapnya dengan nada suara pelan, suaranya seakan tenggelam dalam ketakutan yang terus menghantuinya. "Bagaimana kalau aku benar-benar terkutuk, Ace? Bagaimana jika aku menjadi ancaman bagi semua orang di sekitarku?"
"Kau bukan ancaman. Kau adalah seseorang yang peduli pada orang lain, bahkan rela mengambil risiko untuk menyelamatkan mereka. Itu bukan kutukan. Itu adalah kekuatanmu." Artemis terdiam, terkejut oleh ketulusan dalam kata-kata Ace. Perlahan, ia merasakan ketakutannya sedikit mereda. "Ada aku yang selalu berada di sisimu, aku akan melindungimu, sebagai seorang teman dan sebagai ratuku nanti. Jadi tenanglah," ujarnya menenangkan.
Artemis menatap Ace, merasakan kehangatan dalam kata-katanya. Tatapan di balik manik hazel nya seakan membuatnya tenang. Meskipun masih merasa takut, ia merasa lebih kuat dengan dukungan Ace. "Terima kasih, Ace. Aku hanya berharap aku bisa memahami kekuatan ini sebelum semuanya menjadi lebih buruk."
Ace tersenyum kecil, dan dalam momen itu, Artemis melangkah maju dan memeluknya. Pelukan itu penuh rasa terima kasih dan kehangatan, seolah-olah hanya dengan berada di dekat Ace, dunia terasa lebih aman. Ace membalas pelukan hangat itu, rasa ingin melindungi gadis itu semakin kuat.
Insiden di aula membuka rahasia yang selama ini tersembunyi dalam diri Artemis. Untuk pertama kalinya, ia menyadari bahwa kekuatan misterius yang dimilikinya bisa menjadi ancaman besar. Namun, dengan janji Ace untuk melindungi dan merahasiakan apa yang terjadi, Artemis mulai merasa bahwa ia tidak sepenuhnya sendirian. Meski begitu, bayang-bayang ketakutan tetap menghantuinya.
Dari kejauhan, seorang gadis muda berdiri di balik bayangan pilar taman. Macaria, adik Artemis, mengamati adegan itu dengan mata terbelalak. Ia tidak bisa mendengar apa yang mereka bicarakan, tetapi ia melihat pelukan itu dengan jelas. Macaria menggigit bibirnya, perasaan campur aduk memenuhi hatinya. Pikirannya melayang, ada hubungan apa kakaknya dengan Ace.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top