Bab 1: Taman Istana
***
Gaun panjang berwarna biru laut itu tampak tertiup angin tatkala si pemiliknya berjalan dengan sedikit tergesa-gesa. Di lorong yang panjang dan sepi itu, dirinya berusaha menghemat waktu dengan sedikit berlarian kecil. Walaupun sebenarnya itu merupakan hal kurang sopan untuk dirinya. Sesampainya di sebuah ruangan yang ia tuju, manik biru indah itu menatap sosok pemuda yang tengah berdiri membelakanginya. Dengan sedikit gugup, si gadis berusaha mendekatinya dan menunggu agar pemuda itu menoleh.
"Tuan Putri," ujar si pemuda dengan sopan ketika dirinya menoleh dan sedikit terkejut akan kehadirannya.
"Jangan terlalu formal, Ace," ungkap Artemis sembari menatap indahnya suasanya di bawah sana dari balkon tempat mereka berdiri. Entah mengapa Artemis masih selalu merasa gugup jika harus menemui pemuda itu, padahal keduanya sudah cukup lama mengenal satu sama lain.
Artemis dan Ace, keduanya memiliki usia yang sama. Keduanya bisa saling dekat dan mengenal karena ayah Ace adalah seorang panglima perang kerajaan yang mengabdi kepada Vreamor selama hidupnya, dan ketika ayah Ace sudah mulai tua, anaknya lah yang menggantikannya. Sejak kecil, keduanya hidup bersama di kerajaan Vreamor dan sejak saat itu dua anak itu tumbuh bersama.
"Mau pergi latihan?" tawar Ace sembari mengulurkan tangannya untuk si gadis.
Keduanya berjalan bersama menuju area belakang kerajaan, tempat mereka biasa latihan menggunakan pedang dan berbagai macam alat untuk berperang. Dari kecil, Ace selalu mengajak Artemis untuk berlatih, walaupun sering kali Ratu memarahinya karena itu bukan salah satu protokol kerajaan untuk seorang putri.
"Ayo!" Keduanya berlari menuju area lapang yang biasa mereka gunakan. Ace tersenyum lebar sembari menatap Artemis yang sedikit kesusahan dengan pedang di tangannya. "Oh, ayolah. Kita sudah berlatih bertahun-tahun."
Artemis menggelengkan kepalanya pelan, ia hanya bisa menatap pemuda itu dengan sedikit malas. "Begitukah? Lihat saja nanti aku akan mengalahkanmu."
Sore yang cerah itu mereka habiskan berdua di sana. Melakukan duel kecil dan bercanda sembari berlari-larian di taman bagian belakang kerajaan Vreamor. Ace dan Artemis, keduanya memiliki kemiripan dari sifat dan kesukaan. Entah karena faktor tumbuh bersama, atau memang hal lain.
Semua orang yang menatap keduanya, pasti akan berpikir jika mereka memiliki kepribadian yang sama dan cocok. Tapi, mungkinkah keduanya memiliki pikiran seperti itu di usia remaja saat ini?
Angin sepoi-sepoi menggerakkan daun-daun pepohonan besar di sekitar taman, sementara bunga-bunga langka berwarna cerah menghiasi setiap sudut. Suasana tenang, hampir seperti dunia di luar istana yang terlupakan. Di bawah langit cerah itu, keduanya menatap burung-burung yang tengah berterbangan. Angin berembus lembut, menerbangkan helaian-helaian rambut keduanya. Mereka membaringkan diri di atas rumput hijau itu, di bawah pohon besar tempatnya meneduh.
"Apa kau pernah berpikir memiliki sayap?" tanya Artemis.
Ace mengiyakan dengan mengangguk kecil, ia menunjuk ke atas sana. "Agar aku bisa terbang bebas di udara, seperti mereka," ujarnya dengan senyum manis itu.
"Jika kita memiliki sayap kau ingin pergi kemana?"
"Entahlah, mungkin akan mengelilingi dunia. Ke tempat-tempat indah dan tenang, seperti bukit dan lembah-lembah hijau." Pemuda itu menoleh ke arah si gadis. "Kau sendiri bagaimana?"
Artemis menutup matanya, seperti merasakan sensasi nikmat di bawah indahnya dunia yang ia rasakan. "Sama, mungkin aku akan melakukan hal sama. Melihat dunia yang belum pernah aku lihat bersamamu."
Artemis tiba-tiba mendudukkan dirinya, membuka sebuah buku yang ia letakkan di pangkuannya, matanya terfokus pada tulisan yang ia buat. Namun, pikirannya jauh lebih jauh dari kata-kata di halaman itu. Ia menghela napas panjang sembari menatap jauh ke depan sana.
"Kenapa?" tanya Ace.
Artemis mendesis pelan, menutup bukunya. "Ada begitu banyak yang harus aku pelajari ... bagaimana bisa aku melakukannya? Beban ini seakan selalu menghantuiku setiap malam." Ia menatap langit biru yang tak berawan, seolah mencari jawaban dari alam.
"Tentu saja, kau hanya perlu sedikit waktu untuk memikirkan dunia dengan cara yang berbeda."
Si gadis menoleh, melihat Ace yang masih berbaring di sebelahnya, matanya penuh semangat. Ace selalu memiliki kemampuan untuk membuatnya merasa tenang, meskipun dunia di sekitar mereka penuh dengan kekhawatiran dan ketegangan.
Artemis tersenyum tipis. "Kau selalu tahu cara menghiburku, Ace."
Pemuda bermanik hazel itu mendudukan diri di samping Artemis, mengangguk dengan serius. "Hanya karena aku tahu betul betapa beratnya dunia yang kau bawa di pundakmu."
Keheningan sejenak mengisi ruang antara mereka. Artemis menatap Ace, matanya sedikit berkaca-kaca. Ia berbisik, hampir tak terdengar. "Tapi aku tidak bisa menghindar dari ini, Ace. Tidak bisa bersembunyi di sini selamanya ...."
Ace memiringkan kepala, menatap Artemis dengan lembut. "Kau tidak perlu melakukannya sendiri, Artemis. Aku di sini. Selalu di sini, untukmu."
Artemis menunduk, jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya. Dia tahu apa yang Ace maksud, dan dia merasa sama. Namun, ada perasaan yang menggelisahkan—perasaan bahwa dunia mereka terlalu jauh berbeda untuk memungkinkan sesuatu yang lebih dari sekadar persahabatan.
Artemis menarik napas dalam-dalam. "Tapi kita berbeda, Ace. Aku ... aku adalah calon ratu, dan kau hanya seorang prajurit. Apa yang bisa kita miliki, dengan perbedaan itu?" tanyanya, manik biru itu menatap redup ke arah Ace.
Pemuda itu menatap dengan tatapan lembutnya, dan tersenyum kecil. "Ya, kau benar Artemis."
Artemis menatap Ace dalam diam, perasaannya mulai bercampur antara kebingungan dan pengakuan. Dalam hati, dia tahu bahwa Ace lebih dari sekadar teman, lebih dari sekadar seorang prajurit. Namun, rasa takut akan konsekuensi jika mereka mengakui perasaan itu membuatnya ragu untuk melangkah lebih jauh.
Saat keduanya sedang asik menikmati suasana tenang dan damai itu, beberapa orang tiba-tiba menghampiri. Seorang pelayan mendekat dan bersuara lembut, "Tuan Putri, maaf mengganggu waktu Anda. Yang Mulia Raja memanggil Anda untuk kembali ke istana dan makan siang bersama."
Gadis berambut hitam sedikit abu itu bangkit, ia menatap pelayannya sekilas kemudian beralih ke arah Ace yang ikut bangkit dan berdiri di sebelahnya. "Baiklah, aku akan segera ke sana."
"Segeralah pergi, Artemis," pinta Ace yang merasa tak enak jika gadis itu sudah dipanggil oleh ayahnya.
"Ya, aku akan menemuimu lagi nanti," ujarnya yang kemudian berlalu pergi diiringi para pelayannya yang setia. Sedangkan Ace hanya menatap dari tempatnya dengan tatapan sedikit sedih, entah apa yang ada dipikirannya. Namun, hal tersebut cukup mengganggu dirinya.
***
Artemis berjalan masuk ke ruang makan di istana besar itu, di ruangan besar yang tercium berbagai aroma lezat itu dirinya bisa melihat adanya sosok laki-laki yang tengah duduk kursi di depan sana dan seorang wanita yang
"Ada apa ayah memanggil diriku?" tanya Artemis yang baru saja tiba.
Wanita yang tengah berdiri di sebelah ayahnya itu tampak menatap Artemis dengan tajam, seakan memberitahu sikap kurang sopan putrinya. "Artemis, bersikaplah formal," ujar Sang Ratu, yang tak lain ibu nya sendiri.
"Tidak masalah, dia putriku sendiri," balas pria berambut hitam dengan mahkota di kepalanya. Ia tampak menatap putrinya yang sudah tumbuh dewasa itu. "Duduklah dulu, Artemis. Tidak terasa kau sudah tumbuh dewasa."
Si gadis menatap ayahnya, ia tersenyum kecil sembari mendudukkan diri di salah satu kursi di samping sang adik, menatap sekilas ibunya yang tepat berada di depannya. "Tak biasanya kita makan siang bersama."
"Ya, aku hanya ingin berbincang sedikit dengan putriku." Alarick menatap kedua putrinya, Artemis dan Macaria yang duduk bersebelahan. "Aku rasa kau paham akan tanggung jawabmu sebagai Putri Mahkota, Artemis."
Entah kenapa ucapan dari ayahnya itu seakan menjadi sebuah kalimat penegas akan posisinya, terlebih pada 3 kalimat terakhir yang seperti ditekankan nada bicaranya. Artemis hanya mengangguk, tak ada yang bisa ia ucapkan jika ini menyangkut hal yang tak pernah ia inginkan.
"Besok lusa akan ada acara penggalangan dana kecil di sekitar pusat kota Vreamor, ikutlah bersama ibumu untuk menemui warga sekitar," perintanya sembari menatap sang istri yang ikut tersenyum.
"Ya, baiklah."
Sang Raja kemudian mengusap pelan pundak anak gadisnya, ia tersenyum dan mengangguk. "Bagus, kau harus terlibat langsung dengan urusan kerajaan mulai sekarang." Raja Alarick menatap putri keduanya. "Kau juga bisa ikut, Macaria. Aku ingin kedua putriku bisa lebih dekat dengan rakyatnya."
Keduanya mengangguk saja, tak mengucapkan apa pun untuk perintah yang diberikan oleh sang ayah. Makan siang itu berlangsung cukup lama, tapi setelah selesai, segera Artemis berpamitan kepada kedua orang tuanya. "Permisi," ujar Artemis.
"Aku lihat kau banyak menghabiskan waktu bersama Putra Laurencius akhir-akhir ini." Artemis menghentikan langkahnya, kepalanya menoleh sedikit dengan tatapan mata biru nya yang tajam. "Ingat jika kalian berbeda."
Artemis tersenyum tipis. "Iya, hanya dia temanku. Dan aku tidak peduli perbedaan itu," ujarnya sembari pamit undur diri dari sana. Artemis membungkuk kepada Raja dan Ratu, kemudian berlalu pergi diikuti pelayan-pelayannya yang lain.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top