2

Jam beker berdering begitu jarum jam menunjukkan pukul setengah enam pagi. Sebuah tangan menyembul dari balik selimut dan menekan tombol nonaktif yang terdapat di bagian belakang jam. Seokmin masih berbaring di atas kasur, mengubah posisinya menjadi terlentang, sama sekali tidak ada niatan untuk bangun walau ia tahu sudah saatnya untuk mandi dan bersiap ke sekolah. Seokmin menatap langit-langit kamarnya, angannya melayang jauh ke dimensi lain, yang merupakan dunia ciptaannya sendiri berada. Dunia transparan yang bisa menghilangkan keterpurukannya, meski ia tahu itu hanya sebuah kebohongan manis yang kian hari makin membesar, sampai rasanya ia hampir ternggelam disana.

Ucapan Eunwoo kemarin masih terngiang di kepalanya. Menimbulkan rasa gelisah yang memenuhi hati. Sepertinya hari ini akan menjadi neraka baginya. Seokmin bangun, kakinya bertemu dengan dinginnya lantai. Ia menepuk-nepuk pipinya, "tidak apa Seokmin, kau pasti bisa bertahan."

Kemudian ia melangkah menuju lemari dan mengambil sebuah handuk di dalamnya. Sebelum masuk ke kamar mandi yang ada di dalam kamarnya, Seokmin menatap laci meja tempat buku Mingyu disimpan. Cukup lama ia berdiri layaknya patung, entah apa yang dia pikirkan, kakinya kembali melangkah memasuki kamar mandi.

Lima belas menit kemudian, Seokmin sudah mengenakan seragam lengkap. Ia menata bukunya kedalam tas, sementara Mingyu yang sejak kapan sudah duduk di kasurnya, Seokmin tak lagi kaget, sudah terbiasa dengan Mingyu yang muncul dan menghilang seperti hantu.

"Kau kenapa?" Mingyu yang menyadari adanya mendung di wajah Seokmin bertanya. "Apa karena dua orang kemarin?"

Seokmin menggeleng. "Tidak, tidak ada masalah," kebohongan lain meluncur dari bibir tipisnya. "Hei, Kim Mingyu, bisa aku minta tolong sesuatu?"

Mingyu diam, entah kenapa atmosfer jadi terasa berat sekarang. "tentu."

Seokmin memposisikan dirinya untuk duduk berhadapan dengan Mingyu.

"Bisa kah kau tetap tinggal disini sampai aku pulang? untuk hari ini saja, tolong jangan mengikutiku."

"Tapi, kenapa?"

Seokmin mengulas senyum tipis, "kau tidak perlu tahu," tangannya mengelus kepala Mingyu layaknya anak kecil yang berusai lima tahun. Ia berjalan menuju pintu kamarnya, memutar kenop dan menariknya. "Jadilah anak yang baik dan tunggu aku pulang," ucapnya sebelum menghilang dibalik pintu.

Seokmin menuruni tangga, kakinya bergerak menuju dapur. Tak seperti kemarin, disana terdapat dua orang dewasa tengah menyantap makanannya masing-masing. Ia mengintip dari balik tembok, sejenak merasa ragu untuk menghampiri mereka berdua. Namun sebelum hatinya memutuskan, kakinya sudah terlebih dahulu melangkah kesana.

"Pagi, ma, pa." sapanya dengan senyum lebar. Mereka berdua tak jawab sapaan Seokmin, melainkan menatapnya, cukup lama. Seokmin tidak suka pandangan itu, dua pasang mata redup yang seakan tidak pernah melihat dirinya.

Ia menarik langkah, rasanya tidak sanggup lagi melihat aura suram kedua orang tuanya itu. "Aku pergi dulu."

Seokmin bergegas ke depan, mengenakan sepatunya dan keluar rumah. Ia mengamati bangunan yang ia tempati sejak dirinya masih berusia lima tahun. Tempat itu sudah berbeda dari pertama kali Seokmin menjejakkan kaki disana.

"Oi, Seokmin!" Seokmin menengadahkan kepalanya begitu namanya disebut, dan mendapati Mingyu tengah melambai-lambai dari jendela kamarnya. "Jangan pulang terlambat!" teriaknya.

Ia tersenyum, "iya iya," kemudian melanjutkan perjalanannya menuju sekolah. Dia sebisa mungkin sudah mempersiapkan dirinya dengan apa yang akan terjadi nanti. Lima belas menit berjalan, kini ia sudah berada di gerbang masuk, melewati taman mini dan perpustakaan yang terpisah di sebelah kanan. Ia memasuki koridor kelas dua, situasinya berbeda dari kemarin, masih banyak siswa berkeliaran di sepanjang lorong karena masih banyak waktu sebelum bel berbunyi.

Tangan Seokmin hendak menggeser pintu kelasnya sebelum sebuah tangan merangkulnya dan membuatnya sedikit terhuyung kebelakang.

"Masih punya nyali ya ternyata, kupikir kau akan membolos dan menangis seharian di kamar seperti perempuan," Eunwoo, si pelaku, tertawa sinis, diikuti anggota geng nya.

Seokmin menepis lengan Eunwoo, menatapnya tajam, "apa maumu?"

Bukannya menjawab, si ketua geng malah tertawa, "wah wah, kau sudah berani membalas, apa karena laki-laki tiang kemarin?"

"Bukan urusanmu."

Eunwoo menyeringai. "Hei semuanya!" ia melantangkan suaranya, menarik perhatian siswa lain yang ada disana." Ia melangkah mendekati Seokmin, dan membisiki sesuatu di telinganya, "aku penasaran bagaimana kalau orang lain tahu aib keluargamu."

Sedetik kemudian mereka berdua sudah dikerumuni manusia-manusia penasaran. Seokmin mengepalkan tangannya erat. "kalian tahu? ibunya itu gila! dia bahkan pernah mencelakai salah satu siswa disini," suara bisikan kan gunjingan langsung memasuki indra pendengarannya. "Ayahnya selalu berjudi dan berakhir menjadi pengangguran menyedihkan, dan dia" telunjuk Eunwoo mengarah ke Seokmin. "Dia tidak bisa membahagiakan mereka berdua, kenapa? karena dia hanya anak haram yang dipungut karena kasihan."

Bugh

Kepalan tangan mendarat tepat di pipi Eunwoo, membuatnya terhuyung kebelakang dan jatuh. Seokmin segera menduduki tubuhnya dan menarik kerah seragam Eunwoo, "kau pikir kau siapa berani mengatakan hal seperti itu?" ujarnya penuh penekanan.

Tak mau kalah, Eunwoo melayangkan serangan balik pada Seokmin, ia sempat ambruk lalu segera melindungi wajahnya dari pukulan bertubi-tubi, pergulatan pun terjadi dibawah sorakan para siswa. Tak ada yang berminat melerai, justru mereka sibuk merekam perkelahian tersebut. Hingga akhirnya para guru datang karena mendengar suara gaduh di koridor dan memisahkan mereka berdua.

[]

Usai diobati, Seokmin dan Eunwoo sudah berada di ruang kepala Sekolah. Tak ada luka berat, hanya beberapa memar di wajah keduanya. Kepala sekolah menyuruh mereka untuk menghubungi orang tuanya, Seokmin menatap punggung Eunwoo yang dengan santai menelpon ibunya menuruh beliau ke sekolah. Matanya beralih ke ponsel layar yang menampilkan kontak sang mama, ia ragu, ia hanya berdiam diri menatap keluar jendela. Begitu seorang pria paruh baya dengan kacamata bertengger manis di hidungnya melirik tajam pada Seokmin ia baru berani menekan tombol telpon.

Sudah lima kali, Seokmin menurunkan ponsel dari telinganya, kedua orang tuanya sama sekali tidak mengangkat panggilan Seokmin. Bertepatan dengan itu, seorang wanita dengan usai diperkirakan empat puluh tahun keatas masuk dan segera memeluk laki-laki yang sempat Seokmin pukul tadi.

"Astaga sayang, apa yang terjadi padamu?" beliau mengelus pelan wajah penuh memar sang putra, kemudian beranjak menghampiri Seokmin yang berdiri tak jauh disana.

Plak

"Apa yang kau lakukan pada putraku!?"

ia menyentuh pipinya yang terasa perih, "dia mencela keluargaku," jawabnya lirih.

"Itu tidak benar, bu. Aku hanya mengatakan hal jujur tapi dia tidak terima dan memukulku," dari belakang, Eunwoo mengompori, sebuah seringai tipis ia tujukan pada Seokmin.

Api telah membakar sumbu, sang ibu meledak-ledak. "Kau itu harusnya tahu diri. Kalau ada orang mencelamu, artinya itu karena kesalahanmu sendiri. Bahkan jika keluargamu sudah dibawa-bawa, maknanya kau anak yang gagal!"

Tangan lentiknya mendorong bahu Seokmin, sedangkan yang dimaki hanya diam. Hatinya terlampau sakit, sampai tidak bisa mengatakan sepatah apapun. Kata-katanya tadi, bagaikan ribuan jarum yang menembus dadanya, membuat nafasnya tercekat, dan lidahnya menjadi kelu.

Sang kepala sekolah berupaya menenangkan ibu tersebut yang tampaknya masih siap untuk meledak beberapa waktu lagi. Usai keadaan kembali menjadi tenang, pria bermarga Gi itu memberikan arahan dan nasehat pada kedua muridnya itu, yang tentu saja tidak berpengaruh apa-apa bagi Seokmin. ia hanya melamun, merenungkan ucapan ibunda Eunwoo, sepertinya beliau tidak sepenuhnya salah.

Setelah itu mereka dipersilahkan keluar dan kembali mengikuti pembelajaran seperti sedia kala. Eunwoo yang berjalan di belakang Seokmin terkikik begitu sebuah ide cemerlang muncul di kepalanya. Dengan sengaja ia menjulurkan kakinya di depan kaki Seokmin dan sukses membuatnya tersandung dan jatuh. Dia tertawa puas sembari melangkah melewati Seokmin, "kau lihat? tidak ada yang membelamu. Anak yang menyedihkan," ucapnya sembari berlalu.

***

Jam sudah menunjukkan pukul setengah lima sore, bertepatan dengan itu bel pulang sekolah berbunyi. Para murid segera mengemasi barang-barangnya dan berhamburan keluar kelas. Seokmin menghela nafas, setelah seharian memasang muka tembok terhadap cemooh yang dilontarkan kepada dirinya, akhirnya ia dapat kembali ke rumah dan beristirahat.

Ia menyampirkan tas nya di pundak, dan melangkah keluar kelas. Saat pintu terbuka, sosok orang yang sangat ia benci menyambutnya. "Urusan kita belum selesai," ia melangkah menuju tangga. "Bawa dia ke atap," seketika kedua lengan Seokmin sudah dikunci oleh anak buah si pembuat onar dan diseret paksa.

[]

Mingyu berguling-guling di kasur sang tuan, lalu kembali memperhatikan jam. Tidak ada yang bisa ia mainkan di ruangan ini, hanya ada sebuah kasur kecil, meja belajar, lemari, dan kamar mandi. Temboknya pun dicat berwarna lavender dan hampir pudar, sangat tidak estetis, pikirnya. Sudah hampir jam tujuh, seharusnya Seokmin sudah pulang daritadi. Kepalanya mulai menerka-nerka alasan Seokmin menyuruhnya untuk tidak membuntuti dirinya. Apa dia sengaja membuat Mingyu kebosanan setengah mati di ruangan ini? atau ternyata dia diam-diam ada kencan dengan seseorang dan tidak ingin diganggu. Tapi sepertinya opsi kedua tidak mungkin mengingat tuannya yang sangat nolife.

Ia mengecek keluar jendela, tidak ada tanda-tanda kedatangan Seokmin. ia kembali membaringkan dirinya ke kasur, menatap langit-langit kamar. Karena rasa penasarannya yang terlalu tinggi, Mingyu segera mengganti pakaiannya dengan seragam sekolah yang sama seperti kemarin dan mengubah dirinya menjadi kabut biru.

Sedetik kemudian, Mingyu sudah berada di gerbang masuk. Sengaja tidak langsung ke dalam kelas Seokmin karena ia takut masih ada siswa di dalam sana dan membuat kehebohan. Di sebelah kanan, ada pos satpam, ia melangkahkan kaki panjangnya ke sana.

"Permisi, apa di dalam sana masih ada orang?" tanyanya pada satpam yang sedang menyesap secangkir kopi panas.

Ia meletakkan cangkirnya, "seharusnya semua guru dan murid sudah pulang, apa kau ada urusan? kuharap kau tidak berlama-lama karena sebentar lagi sekolah akan di tutup."

Tanpa basa-basi lagi Mingyu bergegas masuk ke dalam bangunan luas tersebut.

"Sepertinya aku tidak pernah melihat murid itu sebelumnya," si satpam menggaruk kepalanya yang tidak gatal, lalu kembali menyesap kopinya.

Suara derap langkah kaki memenuhi seisi lorong, "Seokmin?" ia menggeser pintu kelas yang ia yakini merupakan kelas sang tuan. Tapi taka da seorang pun disana. Ia kembali berlari menelusuri tempat lain, mulai dari halaman belakang, ruang guru, gudang, bahkan toilet tak luput dari pencariannya.

Tubuhnya merosot di tembok sebelah tangga, keringat membasahi tubuh dan seragamnya akibat berlari kesana kemari. Padahal bisa saja dia mengubah wujudnya dan berteleportasi ke tempat yang dia inginkan. "Sepertinya dia memang sedang berkencan," gumamnya sembari mengipasi dirirnya dengan tangan.

Ia bangkit, berniat pulang, siapa tahu Seokmin sudah berada di rumah. Ia menatap tangga di sebelahnya. Sekolah ini terdiri dari tiga lantai dimana lantai dasar merupakan tempat siswa kelas satu, lantai dua dan tiga mengikuti. Dirinya berada di lantai tiga sekarang, artinya jika ia menaiki tangga itu ia akan sampai di atap.

Mingyu mengurungkan niatnya untuk kembali, mengecek sekali lagi tidak ada salahmya bukan? kakinya menaiki satu per satu anak tangga, hingga netranya dapat melihat pemandangan malam kota Seoul dari atas sini. Mingyu menatap sekeliling, penerangan di atas sini sangat minim. Ia menjentikakn jarinya dan puluhan lampu bohlam sekarang menghiasi tempat gelap tersebut. "Begini kan enak,"ucapnya.

Ia melangkahkan kaki menyusuri atap yang cukup luas, beberapa menit ia mengelilingi tempat itu, tapi dia tidak menemukan apapun. Mingyu berbalik dan hendak turun, namun ia berhenti saat melihat sepasang kaki dari balik baik air raksasa.

Apapun itu, Mingyu merinding dibuatnya. Ia takut makhluk halus akan mengerjai dirinya, tidak sadar diri bahwa dirinya juga bagian dari makhluk tersebut. Perlahan namun pasti, ia mendekati bak itu, jantungnya berdebar dengan cepat, bersiap dengan kemungkinan munculnya jumpscare.

Ia sudah berada dibalik bak tersebut sekarang, berniat untuk mengejutkan 'hantu' itu duluan sebelum dia sempat melancarkan aksi jahilnya.

"Oke, satu, dua, ... kena ka---Seokmin!?"

Mingyu segera mendekati sosok yang ia kira hantu tersebut. Disana, Seokmin tergeletak tak terdaya dengan darah kering di seragam dan lantai. Mingyu segera memindahkan kepala Seokmin ke pangkuannya, "hei, bangun!" ia menepuk-nepuk pipi tirus sang tuan. Ia mengecek nadi di pergelangan tangan Seokmin, bersyukur karena masih ada, namun panik karena sangat lemah sampai nyaris tidak terasa.

Tak ada respon, Mingyu semakin panik. Ia meletakkan kedua tangannya di atas dada Seokmin dan mulai merapalkan mantra dengan cepat. Seketika muncul cahaya menyilaukan dari telapak tangannya, cahanya itu seakan membungkus tubuh Seokmin. Luka-luka di sekujur tubuhnya mendadak hilang tak berbekas.

Ia kembali menepuk pipi Seokmin, "kau dengar aku? bangun lah.". Hingga telinganya mendengar lenguhan keluar dari bibir Seokmin, Mingyu menghela nafas lega. Perlahan ia membuka matanya, membiasakan cahaya yang terasa menusuk indra pengelihatan.

Kepalanya menegadah, dan mendapati Mingyu tengah menatapnya cemas. Menyadari hal itu, ia segera bangkit, meraba-raba wajah dan lengannya, semua luka yang ia dapatkan telah raib, rasa sakit pun sudah tidak ia rasakan lagi. ia menatap Mingyu, "apa yang kau lakukan disini?"

"Apa itu penting? lihat dirimu. Kau dalam keadaan sekarat beberapa menit yang lalu," Mingyu menaikkan nada suaranya. Ia mengusap wajahnya frustasi, "apa yang terjadi padamu?"

Seokmin menggeleng, "aku baik-baik saja."

"Kau pikir aku akan percaya?"

Ia menunduk, meremas celana yang sudah kusut, bungkam untuk beberapa detik. "Maaf," gumamnya, nyaris seperti bisikan.

"Apa?"

"Aku hanya tidak ingin terlihat menyedihkan di depan mu," tuturnya parau. "Lihatlah, malang sekali nasib ku. Setiap waktu aku selalu meyakinkan diriku sendiri bahwa suatu saat aku bisa keluar dari masalah ini, aku pikir aku hanya perlu bertahan lebih lama, maka hidupku akan berubah. Naif sekali bukan?" ia mengusap matanya yang mulai berkaca-kaca.

"Kenapa kau tidak meminta bantuanku, huh? Apa kau lebih mementingkan harga dirimu dibanding keselamatanmu sendiri? bagaimana jika seandainya aku tidak datang mencarimu? apa kau bisa menjamin dirimu masih bisa melihat dunia besok?" Mingyu tidak paham dengan pemikiran Seokmin.

Ia kembali bungkam, merenungi ucapan sosok penyelamatnya itu, "harga diriku sudah hancur dari dulu." Ia bangkit, nyaris terjatuh karena badannya yang terasa sangat kaku, "ayo pulang," ia berjalan terseok-seok menuju tangga.

Mingyu menghela nafas, ia segera berdiri dan merengkuh tubuh kecil Seokmin dari belakang. Perlahan, kabut biru dengan cahaya terang mulai menyelimuti keduanya, semakin pekat, sampai eksistensi keduanya menghilang.

Sedetik kemudian, mereka berdua sudah berada di sebuah ruangan yang diketahui adalah kamar Seokmin. Mereka masih dalam posisi satu menit yang lalu. "Kau tidak perlu memaksakan dirimu lebih jauh lagi." bisik Mingyu.

Seokmin melepaskan pelukan Mingyu, berjalan menuju lemari dan mengambil sepasang pakaian dari dalam. Ia tidak mengatakan apapun saat kakinya melangkah memasuki kamar mandi. Usai mengganti seragam kotornya dengan pakaian bersih, ia berjalan menuju kasurnya, duduk di sebelah Mingyu.

"Mengenai perkataan Wonwoo kemarin, dia tidak sepenuhnya salah." Seokmin mulai bercerita.

Mingyu menaikkan sebelah alisnya, "maksudmu si wajah judes itu?"

Seokmin mengangguk, "Sebenarnya aku bukan anak kandung mereka. Orang-orang bilang aku dibuang ke sebuah gubuk kecil, warga setempat menemukanku dan aku menjalani masa kecilku di panti asuhan. Saat usia lima tahun, mereka berdua mengadopsi dan membawaku ke Seoul. Mereka sangat baik kepadaku. Lalu beberapa tahun kemudian, akhirnya ibuku mengandung anak pertamanya, aku sangat bahagia dan tidak sabar bertemu dengan adikku," Seokmin tersenyum mengenang masa lalunya yang hangat.

"Tapi, saat adikku baru berumur delapan bulan, ia terkena demam berdarah. Kaki melarikannya ke rumah sakit dan rawat inap disana selama beberapa hari. Namun ... dia tidak bisa diselamatkan, kedua orang tuaku sangat terpukul akan hal itu. Ibuku tidak terima dan menuduhku telah meracuni buah hatinya, dia terkena gangguan mental karena stress yang berlebihan. Sementara ayahku, dia lebih tampak seperti mayat hidup. Ibuku yang stress pun mulai mencelakai bayi milik orang lain, termasuk adik dari salah satu anggota geng Eunwoo," ia memandang keluar jendela, menerawang jauh ke masa-masa suram beberapa tahun yang lalu.

"Jika keluargamu tidak lagi menyayangimu, kenapa kau tidak mencari orang lain yang bisa menyayangimu dengan tulus?"

"Aku terbiasa tidak mencintai diriku sendiri, jadi rasanya tidak masalah jika aku tidak dicintai orang lain. Aku hanya ingin orang-orang di sekitarku bahagia. "Ia menggaruk pipinya yang tidak gatal, "ahaha, maaf ya aku malah curhat."

Mingyu menggeleng, "kalau jadi kau, mungkin aku sudah kabur dari rumah, atau bunuh diri." Dia menjeda kalimatnya, "apa kau menerima perlakuan kasar dari orang tuamu?"

"Tidak, hanya saja---"

"Seokmin!" sebuah teriakan terdengar dari lantai bawah, diikuti langkah kaki yang terburu-buru menaiki tangga. "Buka pintunya!" suara melengking wanita itu kembali terdengar, kali ini disertai suara gedoran pintu yang agresif.

Seokmin sontak bangkit, lalu segera menyuruh Mingyu untuk bersembunyi. Mingyu yang tidak paham dengan situasi yang sedang terjadi pun menuruti perintah sang tuan. Seokmin bergegas menuju pintu dan membukanya, nyaris jatuh saat seorang wanita masuk dan menyerangnya dengan brutal. kukunya yang panjang menekan leher Seokmin, dia terus meneriakinya dengan kata-kata yang tidak jelas, tapi pandangan matanya tidak fokus.

"Ma, tenanglah!" Seokmin berusaha melepaskan cengkeraman tangan sang ibu dari lehernya, rasa panas dari tenggorokan mulai menjalar ke seluruh tubuh.

"Kembalikan anakku! Kembalikan anakku!" teriak wanita itu histeris, ia mendorong Seokmin hingga menabrak meja di belakangnya.

Seokmin memegangi lehernya, meraup nafas sebanyak mungkin. Tak sampai disitu, tangan kurus wanita itu menarik dagu Seokmin, mengambil sebotol pil penenang yang seharusnya ia minum dan menuangkan semuanya ke mulut Seokmin. Sontak sang anak langsung mendorong dada ibunya dan menuntahkan obat tersebut, beberapa tak sengaja tertelan olehnya.

Mingyu mengintip dari balik pintu kamar mandi, tidak percaya dengan pemandangan yang ia lihat. Dia tidak tega melihat Seokmin dipukuli secara brutal seperti itu. Dia bimbang apakah harus berdiam diri sampai wanita tua itu pergi atau menyelamatkan sang tuan. Saat netranya tak sengaja menangkap tangan wanita itu bergerak mengambil sebuah gunting dari saku celananya, Mingyu segera keluar dari tempat persembunyiannya.

Dengan sigap ia menyentuh dahi wanita gila itu dan membuatnya pingsan seketika. Ia bergegas mendekati Seokmin dan membantunya berdiri. Seokmin mendekati ibunya yang tergeletak di lantai, "apa dia baik-baik saja?"

"Ya, dia hanya pingsan." Mingyu menjawab singkat. "Daripada itu, bagaimana kondisimu?" Mingyu mengkhawatirkan lebam di lengan dan leher Seokmim, sepertinya wanita itu serius ingin membunuhnya.

"Aku baik-baik saja." Seokmin menoleh ke Mingyu, "bisakah kau membantuku membawa ibuku ke kamarnya?"

Mingyu mengusap wajahnya, "bagaimana kau masih bisa mengkhawatirkan orang yang sudah mencelakaimu?"

"Dia hanya seorang wanita malang,"dia memandang sendu wajah ibunya.

Mingyu melangkah mendekat, dan membopong tubuh kurus wanita yang berstatus orang tua angkat tersebut, mengikuti Seokmin yang memandunya menuju kamar milik ibunya, dan membaringkannya secara hati-hati. Lalu kembali ke kamar Seokmin.

"Kemana suaminya?"

"Ayah mungkin sedang mabuk sekarang," jawabnya lirih.

"Kau yakin bisa bertahan lebih lama?

Pertanyaan yang sederhana, Seokmin hanya perlu menjawab 'ya' atau 'tidak,' tapi entah kenapa dia tidak mampu menjawab. Seluruh kata-kata yang dia susun di otaknya hilang entah kemana. "Aku tidak tahu," hanya tiga kata itu yang sanggup ia katakan. "Aku bahkan tidak tahu harus bertahan sampai mana," satu air mata lolos, membasahi pipi kanan Seokmin, air mata lain mendesak keluar, hingga dia tidak mampu menahannya lagi. ia mengucek kedua matanya, berharap bisa menghentikan air matanya yang terus ngealir membentuk sungai di pipinya. "Sekarang aku semakin terlihat menyedihkan di depanmu," ucapnya parau.

Mingyu mengusap air mata Seokmin, menatapnya lembut, "gunakanlah permintaan terakhirmu untuk mendapat keluarga baru, kau bisa tenang dan tidak perlu tersiksa lagi."

Seokmin tersenyum, menyentuh tangan hangat Mingyu yang berada di pipi kananya, "apa boleh aku menggunakan permintaan terakhirku sekarang?"

"Tentu."

"Permintaan ketiga ku adalah," ia menjeda kata-katanya. "aku ingin keluargaku bahagia."

Bukannya senang, Mingyu justru membeku. Dia tahu apa yang akan terjadi jika mengabulkan permintaan tersebut, dan dia tidak ingin mengabulkannya. "Tidak, kumohon ganti permintaanmu." Mingyu menatap Seokmin intens, rasa cemas terlihat jelas dari ekspresinya.

"Setidaknya aku harus membalas budi kepada mereka karena sudah mau merawatku," Seokmin mengelus telapak tangan Mingyu, "tolong, kabulkan lah."

Mingyu menggeleng, "tidak, jangan itu," ia mengenggam kedua tangan Seokmin. "Kau boleh meminta apapun, kecuali hal itu. Pikirkan dirimu," ia memohon.

"Jika mereka bahagia, aku juga bahagia, Mingyu." Ia menunduk, membuat kening mereka saling bersentuhan. "Aku siap dengan apapun yang akan terjadi," ucapnya lirih.

Mingyu bimbang, ia tidak tahu harus menolak seperti apa lagi. Bukan karena Mingyu dendam terhadap keluarga Seokmin sampai tidak mengizinkan mereka hidup bahagia. Hanya saja jika Mingyu melakukan itu, itu akan menjadi penyesalan seumur hidupnya.

"Mingyu," ia mengelus lembut ujung kepala si pemilik nama, "kumohon."

Mingyu menghela nafas, ia merengkuh tubuh kurus Seokmin, memeluknya sangat erat, seakan jika ia melepaskan pelukan itu, Seokmin akan menghilang. "Diterima," bersamaan dengan itu, perlahan tubuh Seokmin berubah menjadi transparan, sedikit demi sedikit berubah menjadi abu. Mingyu menangis di bahu Seokmin.

"Aku sudah memperingatkanmu," ia semakin erat memeluk Seokmin.

Seokmin membalas pelukan Mingyu, "ahaha, maaf." Ia melepaskan pelukan mereka berdua, netra kelam Mingyu menatap pilu sosok Seokmin yang kian menghilang. "Terima kasih sudah menemaniku, dan juga terima kasih atas semua perhatian yang kau berikan." Ia mencium kening Mingyu.

"Aku menyayangimu." Kemudian Seokmin berubah sepenuhnya menjadi abu dan hilang terbawa angin.

END

Di bawah ini ada sedikit curhatan dari author, yang males baca skip aja okey!

Hai semua, Nana disini. apa kabar? hwhw. Setelah menghilang sekian lama akhirnya gue bisa balik lagi dengan book gaje yang kesekian. Karena gua buntu ide pas ngetik kelanjutan Shit Marriage, akhirnya gua bikin book baru hehe.

Terima kasih yang sudah mau menyempatkan waktu untuk membaca, maafin ya kalau (sangat) aneh karena gue ngetik ini dadakan dan cuma berbekal imajinasi, ditambah lagi autocorrect laptop yang bikin emosi. Jujur gue itu ga percaya diri setiap mau publish chapter/book baru, gue takut dihujat gara gara skill menulis gue yang gaada apa apanya, jadi setiap update gue langsung logout karena terlalu takut buat baca komenan kalian, huhu. Gue berterima kasih banget sama kalian yang selalu dukung gue disini ataupun di book punyanya si cancie.

Akhir kata, terima kasih sudah mampir. Selamat menjalankan ibadah puasa bagi yang menjalankan. Love you, see ya!

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top