1
Derap suara langkah kaki mengisi kesunyian malam itu, beradu dengan nafas berat di sepanjang jalan. Jalanan yang sepi dan minimnya pencahayaan sangat menguntungkan bagi mereka para penjahat untuk melancarkan aksinya. Begitu pula sekarang, dua orang bertubuh kekar tengah mengejar seorang pemuda kurus yang membawa paper bag di pelukannya. Sendirian, dan terlihat lemah, dia adalah sasaran empuk bagi mereka berdua.
Lee Seokmin, pemuda yang menjadi mangsa tersebut membelokkan langkahnya begitu melihat gang kecil di ujung jalan. Ia terus berlari, air mata menggenang di pelupuk matanya. Hanya ada satu kata dalam pikirannya saat ini, 'kabur'.
"Oh tidak." Seokmin melangkah mundur, di depan sana hanya ada jalan buntu. Ia merutuki dirinya sendiri kenapa harus masuk ke gang ini. Ia bisa mendengar langkah kaki para penjahat itu semakin mendekat. Kakinya gemetar, ia tidak bisa lari kabur. Seokmin memandang sekeliling, berharap menemukan tempat agar bisa bersembunyi. Begitu netranya mendapati setumpuk box berukuran di sudut jalan, ia segera bersembunyi dibaliknya.
"Sial. Dimana anak itu?"
Seokmin menutup mulutnya rapat-rapat, keringat dingin membasahi tubuhnya. Para preman tersebut berada tak jauh dari tempatnya bersembunyi. Tubuhnya yang kecil menguntungkan Seokmin untuk bersembunyi di tempat sempit ini. Ia terus merapalkan doa dalam hati. Seokmin menahan nafasnya saat merasakan preman tersebut mendekati persembunyiannya, jantungnya berdetak terlalu cepat dan suhu tubuhnya menurun, Seokmin ragu dia bisa bertahan lebih lama lagi.
"Kurasa dia tidak ada disini, ayo cari di tempat lain," ujar preman yang lain.
Dia mengembuskan nafas lega saat dirasa langkah mereka menjauh. Ia merogoh saku celana dan mengambil ponselnya, Seokmin terlalu takut untuk berjalan sendirian lagi usai kejadian yang menimpanya barusan, maka dari itu ia memilih menghubungi salah satu teman untuk menjemputnya.
"Sial, kenapa baterainya habis di saat sekarang."
Seokmin kembali menyimpan ponselnya di saku celana, nahas, lengan Seokmin tak sengaja menyenggol salah satu box hingga terjatuh, menyebabkan buku dan barang lain dari dalam box tersebut keluar.
Seokmin mematung, jantungnya seakan berhenti berdetak saat indra pendengarannya menangkat suara derap langkah kaki mendekati tempatnya sekarang. "Tuhan, tolong aku," Seokmin memeluk lututnya, tanpa diminta air mata mengalir membasahi pipinya. Dia hanya bisa berharap keajaiban terjadi sekarang. Tapi sepertinya tidak, para preman yang sempat berkejaran dengan Seokmin kembali lagi, dan dengan mudah menemukan Seokmin tengah meringkuk dibalik tumpukan box.
"Ketemu kau dasar tikus kecil," preman dengan bekas luka di wajahnya menarik kerah kemeja yang dikenakan Seokmin, preman yang lain mendekat dan mengambil paper bag milik Seokmin yang tergeletak di tanah dan mengambil isi yang ada di dalamnya.
" Payah, hanya ada buku-buku tidak berguna disini," ucapnya sembari melempar buku-buku tersebut ke sembarang tempat.
"Hei bocah, berikan dompet mu." Preman dengan wajah mengerikan itu mengangkat kerah Seokmin hingga kakinya tak lagi memijak tanah.
Air mata terus mengalir membentuk sungai di pipi Seokmin. Seokmin ketakutan setengah mati sekarang. "Tolong ... lepaskan aku," pintanya dengan suara parau. Dengan sisa tenaga yang ia punya, Seokmin mencakar tangan berotot preman tersebut. Si empu mengaduh kesakitan, namun bukannya melonggarkan cengkeramannya, ia justru melempar Seokmin dengan kepalanya membentur tembok dengan keras.
"Kurang ajar kau," Seokmin menutup matanya saat preman tersebut hendak melayangkan sebuah pukulan. Lima detik, Seokmin tidak merasakan adanya rasa sakit di tubuhnya. Dia memberanikan diri untuk membuka mata, dan betapa terkejutnya Seokmin mendapati kabut berwarna biru menyelimuti sekelilingnya.
Dia tidak bisa melihat apapun, semuanya tertutup oleh kabut tersebut. Anehnya, Kabut tersebut seakan bercahaya di kegelapan, Seokmin heran darimana kabut ini datang. Tak lama kemudian, kabut tersebut mulai pudar, digantikan oleh seorang laki-laki jangkung dengan jas hitam mewah yang mendadak muncul diantara Seokmin dan para preman itu. Laki-laki yang semula memunggunginya berbalik menghadap Seokmin, ia tersenyum, menampakkan gigi taringnya yang panjangnya melebihi ukuran normal.
"Kau pasti tuan ku, kan?"
"Hah?" Seokmin memandang aneh pemuda yang mendadak muncul seperti hantu itu. Sekarang ia meragukan kesadaran dirinya, apakah sebenarnya Seokmin sedang bermimpi, atau dia hanya berhalusinasi.
"Kau punya tiga permintaan," ujarnya, makin membuat Seokmin bingung. Perhatiannya teralih pada preman yang akan memukul pemuda asing tersebut dari belakang.
"Awas! di belakangmu!" peringatnya.
Namun pemuda jangkung itu dengan mudahnya menghindari setiap pukulan yang dilayangkan, gerakannya lincah dan gesit, tapi sepertinya dia tampak tidak berminat untuk melawan. "Jadi, kau punya permintaan?" tanyanya santai sembari menghindari dua preman yang masih mencoba mengahajarnya.
"Kau bercanda!?"
"Tentu saja aku serius," jawabnya disertai senyum tanpa dosa. Seokmin memegang kepalanya yang mendadak pening, efek terbentur ditambah pemuda aneh yang muncul di depannya. Seokmin tidak tahan lagi dengan semua kegilaan ini. Ketika ia mengangkat kepalanya, ia mendapati preman tersebut sudah ada di depannya dengan ancang-ancang pemukul kepalanya dengan sebongkah kayu. Refleks Seokmin melindungi kepalanya dengan kedua lengan.
"Se-selamatkan aku!"
Sosok jangkung itu menyeringai. "Permintaan diterima~"
Lalu secara tiba-tiba pemuda tersebut sudah berpindah ke depan preman tersebut dan menendangnya sebelum berhasil melukai Seokmin. Sukses membuat preman itu terpental jauh dari tempatnya, ia kemudian menjentikkan jari, dan seketika semuanya menjadi senyap.
Figur tinggi itu mendekati Seokmin dan menyentuh bahunya, "kau aman sekarang, tuan ku."
Seokmin segera membuka matanya, terdiam saat ia tak lagi berada di jalan sempit dengan preman mengerikan, namun berada di kamarnya. Dia tidak mampu mengatakan apa pun, Seokmin rasa dia sudah gila sekarang.
"Ini pasti mimpi kan?" gumam Seokmin.
"Aku bisa membantu menampar pipimu untuk memastikan ini bukan mimpi," ucapnya enteng.
Seokmin menatap pemuda itu, dan segera berdiri. "Siapa kau? apa kau jin? tapi aku tidak menggosok teko tadi, bagaimana kau bisa muncul?"
Yang lebih tinggi memutar bola matanya malas. "Entahlah, sepertinya para leluhur kehabisan teko saat mengutukku." Ia mengambil sebuah buku tua yang ikut berpidah ke kamar Seokmin. "Jika kau punya permintaan, kau bisa membuka buku ini, lalu aku akan muncul dan mengabulkan semua yang kau mau." Jelasnya sembari menyodorkan buku tersebut.
Seokmin menerimanya, mengamati buku tua bersampul coklat usang tanpa judul tersebut. "Tapi, jin, aku tidak pernah melihat buku ini, apalagi membukanya."
"Namaku Kim Mingyu." Ia memperkenalkan dirinya secara singkat. "Mungkin kau menjatuhkan kotak tempat buku itu disimpan dan tidak sengaja membuatnya terbuka," Mingyu mengedikkan bahu, kemudian duduk di kasur Seokmin. "Apapun itu, intinya aku harus melayanimu sampai permintaanmu habis."
"Wow, aku tidak menyangka jin mempunyai nama korea."
"Apa kau punya sebutan yang lebih baik selain jin?"
"Tidak." Seokmin mulai memungut buku-buku yang beruntungnya ikut berteleportasi ke kamarnya, jika tidak, sia-sia sudah uang tabungannya untuk membeli lembaran kertas bersampul tebal itu. Ia menata serapi mungkin buku-buku miliknya, dan menyimpan buku 'ajaib' di laci meja. Tidak mengindahkan Mingyu yang sedari tadi memperhatikannya.
"Untuk apa benda itu?"
"Benda apa?" Seokmin balik bertanya.
"Buku-buku itu."
Seokmin menghela nafas mendengar pertanyaan konyol jin yang sekarang ada di dalam kamarnya, "tentu saja untuk belajar, bodoh."
Mingyu mengernyit, "aku bisa dengan mudah membuatmu menjadi peringkat nomor satu di sekolah."
Seokmin duduk di kursi dan memposisikan dirinya menghadap Mingyu. "Itu namanya curang, aku ingin pintar dengan usaha ku sendiri."
"Kalau begitu, aku bisa menjadikanmu orang paling kaya di dunia ini."
Seokmin menggeleng, "aku bukan orang yang serakah." Ia diam sejenak, sebelum kembali membuka suara. "Apa tuan-tuanmu terdahulu meminta hal seperti itu?"
Mingyu mengulas senyum lebarnya, "tepat sekali." Ia beranjak dari duduknya. "Keinginan mereka tidak jauh dari harta," Mingyu menjentikkan jarinya, memunculkan bayangan mirip hologram berbentuk perhiasan dan uang. "Atau takhta," ia kembali menjentikkan jarinya dan muncul bayangan lain berupa kursi singgasana dan mahkota.
"Permintaan mereka terlalu biasa," ucapnya malas. Mingyu menatap sosok tuan barunya, "Jadi kuharap kau meminta sesuatu yang belum pernah aku kabulkan sebelumnya. Kau punya permintaan?"
Seokmin mengedikkan bahu, "entahlah, aku sedang tidak menginginkan apapun sekarang." Ia baru saja akan menyuruh Mingyu untuk kembali masuk kedalam buku sebelum teringat kata-katanya beberapa saat yang lalu. "Kau bilang kau dikutuk, bukan? bagaimana cara menghilangkannya?"
Mingyu sekilas tampak terkejut dengan pertanyaan Seokmin, "Kau orang pertama yang menanyakan hal seperti itu," Mingyu kembali duduk di ranjang Seokmin. "Kutukannya akan hilang jika aku sudah mengabulkan permintaan lima ratus orang, dan kau adalah orang terakhir yang beruntung bisa bertemu denganku," ujarnya sembari memberikan wink kepada sang tuan.
"Setelah aku mengabulkan tiga permintaanmu, aku akan kembali menjadi manusia yang bebas dan tidak perlu lagi menunggu bertahun-tahun didalam buku membosankan itu!" tambahnya dengan antusias.
Seokmin mengangguk tanda mengerti, kemudian melangkah ke kasurnya, "Baiklah, aku akan memberitahu keinginanku besok. Sekarang menyingkirlah, aku ingin tidur."
"Aku bisa memelukmu supaya bisa tidur nyenyak."
"Tidak, terimakasih. Kembali ke tempat mu sana."
Mingyu berdecak lalu mengubah wujudnya menjadi kabut dan masuk kedalam laci meja Seokmin, tempat 'istirahatnya' disimpan.
[]
Keesokan paginya, Seokmin sudah rapi dengan mengenakan seragam sekolah, ia memasukkan buku-bukunya kedalam tas sembari memandang sekeliling kamarnya.
"Mingyu?"
Hening. Tidak ada jawaban dari si pemilik nama. Seokmin mengedikkan bahu, mungkin saja semalam ia hanya bermimpi. Ia segera keluar dari kamar dan menuruni tangga, melangkah menuju dapur. Tidak ada orang disana, mungkin orang tuanya sedang berada di kamar. Seokmin berjalan menuju meja makan lalu mengambil dua lembar roti dan mengoleskan selai coklat di atasnya.
"Kau tidak berminat membaginya denganku?"
Seokmin terlonjak kaget hingga nyaris menjatuhkan roti ditangannya. Ia berbalik, dan mendapati Mingyu sudah ada di depannya dengan senyum lebar terpatri di wajahnya yang bisa dibilang rupawan. "Astaga, ternyata bukan mimpi," Seokmin mengelus dada. "Tunggu, kenapa kau disini!? cepat pergi sebelum orang tuaku melihatmu!" ia mendorong Mingyu untuk kembali masuk ke kamarnya.
"Ayolah, aku hanya minta sepotong roti." tangan Mingyu berusaha meraih roti lapis yang ada di piring sementara Seokmin terus berusaha mendorong tubuh jangkungnya.
"Kau kan jin, gunakan saja sihirmu untuk menciptakan makanan sendiri."
"Ah kau pelit."
"Apa?" Seokmin mengambil sepotong roti dan memasukkannya ke mulut Mingyu. "Sekarang bagaimana? bukankah aku orang paling dermawan?" Sementara Mingyu sibuk menelan mentah-mentah roti tersebut sembari menepuk-nepuk dadanya, Seokmin meraih tasnya yang tergeletak di kursi dan beranjak keluar.
"Kau tidak berpamitan dengan orang tuamu seperti yang anak berbakti lakukan?" Mingyu meneguk segelas air untuk melegakan tenggorokan, tuannya kali ini kejamnya bukan main, batinnya. Seokmin menghentikan langkahnya, bergeming selama beberapa detik, ia menatap lurus ke kamar kedua orang tuanya yang terletak tak jauh dari dapur. "Kurasa tidak," tuturnya lirih sembari meninggalkan dapur.
Butuh sekitar lima belas menit untuk bisa sampai ke sekolah Seokmin, jika ditempuh menggunakan kendaraan mungkin hanya membutuhkan lima sampai sepuluh menit saja, namun karena keterbatasan uang jajan mau tidak mau Seokmin harus berjalan kaki. Seokmin berdiri di depan gerbang masuk, tidak langsung masuk seperti siswa lain. Ia menggigit bibir bawahnya, tangannya meremas celana yang ia kenakan. Ini hari pertama masuk setelah ibur semester, Seokmin harap semuanya berjalan dengan lancar, tidak seperti hari-hari yang lalu.
Seokmin menarik nafas dalam-dalam dan menghembuskannya, "ayolah Seokmin, kau hanya perlu bertahan satu tahun lagi," monolognya.
"Apa sekolah itu menakutkan?"
Seokmin terbelalak, menoleh ke semua arah guna mencari sumber suara itu berasal. Tapi nihil, tidak ada siapapun kecuali dirinya di depan gerbang. Sadar suasana menjadi sepi, Seokmin mengecek jam tangannya, kemudian segera berlari masuk mengetahui bel akan berbunyi lima menit lagi.
"Hei hei, sebelah sini!" Seokmin menghentikan larinya, ia sudah berada di koridor kelas dua sekarang, tinggal berjalan sedikit lagi maka ia akan sampai di kelasnya. Seokmin memandang sekeliling, hasilnya tetap sama, tidak ada siapapun. "Di kiri mu!" Seokmin menoleh ke arah yang disebutkan tadi, tapi yang ia dapati hanya papan pengumuman, "menunduk sedikit," ia menurunkan pandangannya, dan menemukan Mingyu dengan ukuran mini sedang duduk santai di pundaknya.
"Apa yang kau lakukan disini?!"
"Yah, kau tahu? rumahmu sangat membosankan, jadiaku memutuskan mengikutimu," jawabnya disertai sebuah cengiran.
"Bagaimana jika yang lain melihatmu?" Seokmin sedikit kesal sekarang.
"Tenang saja, aku bisa urus itu," ujarnya remeh sembari mengibaskan tangannya.
"Dasar kau---"
"Seokmin? kau bicara dengan siapa?"
Terkejut, Seokmin segera mengangkat kepalanya, netranya menangkap sosok laki-laki berdarah Cina yang berstatus teman baik berdiri tepat di depannya, rasanya aneh Seokmin tidak bisa merasakan kehadiran orang lain sekarang. "Eh, Hao? ti-tidak kok, kau mungkin salah lihat," tuturnya panik.
Minghao menatap Seokmin aneh, memilih tidak ambil pusing dan mempercayai ucapan temannya itu, ia berbalik, "kupikir kau tidak berangkat. Ayo masuk, sebentar lagi kelas akan dimulai," perintahnya yang langsung diangguki oleh Seokmin.
[]
Bel pulang sekolah berbunyi, semua siswa segera mengemasi barang-barangnya dan berhamburan keluar kelas. Tak terkecuali Seokmin, ia berjalan sendirian keluar dari area sekolah. Tadi Minghao sempat menawarinya tumpangan, tapi ia tolak karena tidak mau terus-terusan merepotkan Minghao. Lagipula Seokmin sudah terbiasa berjalan kaki.
Seokmin sedikit bersyukur hari ini tidak terjadi hal-hal yang Seokmin takutkan, ia harap hari besok sama damainya seperti sekarang ini. Saat sedang asik dengan dunianya sendiri, Mingyu tiba-tiba muncul di sebelah Seokmin. Sadar akan kemunculan makhluk lain, ia menghentikan lamunannya.
"Jika kau ingin menampakkan diri, setidaknya ganti dulu pakaianmu agar tidak mencolok," keluh Seokmin. Mingyu yang mendengarnya memasang pose berpikir, kemudian menjentikkan jarinya, jas hitamnya sekarang berubah menjadi seragam yang sama dengan sang tuan. "Tada~ sekarang kita sama."
Ia menghela nafas, "terserah." Seokmin mempercepat langkahnya, namun dapat diimbangi dengan mudah oleh Mingyu karena kakinya yang panjang.
"Kita mau kemana?"
"Mau kemana lagi? ya pulang lah"
"Ah membosankan sekali hidupmu," Seokmin yang mendengarnya langsung mencubit pinggang Mingyu, membuat si empu meringis kesakitan karena cubitannya yang tidak main-main.
"Memangnya kau ada tempat yang ingin didatangi?"
"Tidak ada sih," Mingyu merangkul Seokmin, "tapi setidaknya ayo cari tempat untuk istirahat sebentar." Ia mengedarkan pandangannya ke sekeliling tempat, dan langsung menyeret Seokmin menuju taman kota yang terletak tak jauh dari tempat mereka berdiri.
Satu menit kemudian Seokmin mendapati dirinya tengah duduk di bangku taman bersama Mingyu di sampingnya. Bangku yang mereka duduki terletak di bawah pohon mahoni, di kiri kanan banyak daun berguguran karena diterpa angin. Langit sudah menampakkan semburat oranye, pertanda matahari akan pamit untuk menyinari bagian lain bumi. Seokmin suka suasana ini, hembusan angin yang tidak terlalu kencang seakan mengelus rambutnya, hatinya menjadi tenang. Jika boleh, rasanya Seokmin ingin terjebak di waktu ini untuk selamanya.
Tapi tentu saja dia tidak bisa.
Cukup lama Seokmin bungkam, berkelana dalam pikirannya sendiri, hingga akhirnya ia bangkit dan menepuk bahu Mingyu, "ayo pulang, sebentar lagi gelap."
Mingyu segera menghabiskan minumannya yang entah darimana asalnya dan membuangnya ke tempat sampah kemudian menyusul Seokmin yang sudah lebih dulu pergi. Mereka berjalan beriringan menyusuri trotoar, langit bertambah gelap, lampu penerang jalan mulai dinyalakan, sementara hembusan angin berubah menjadi dingin.
Cukup lama mereka berjalan, tiba-tiba Seokmin menghentikan langkahnya, Mingyu yang sedang asik menikmati pemandangan pun akhirnya menabrak punggung Seokmin. Ia sudah siap untuk mengomel sebelum Seokmin berbalik dan mennatapnya dengan serius.
Yang ditatap menjadi jengah, "kenapa?" Mingyu membuang muka, tidak ingin sang tuan menyadari jika wajahnya sedang memerah sekarang.
"Boleh aku menggunakan permintaan kedua ku?"
"Eh?" Mingyu kembali menatap Seokmin. "Tentu saja, apa yang kau inginkan? tanda tangan idolamu? novel edisi terbatas? pacar yang cantik? Katakan saja, tidak ada yang tidak bisa aku kabulkan." Jawabnya angkuh.
"Aku ... ingin makan."
"... apa?"
"Ah, tidak, lupakan saja," Seokmin segera berbalik dan meninggalkan Mingyu. Tapi dengan sigap Mingyu menahan tangan Seokmin, mirip seperti adegan di drama televisi. Ia menarik tangan Seokmin untuk mendekat padanya, tapi sepertinya ia tarikannya terlalu kuat sampai wajah mereka tinggal beberapa senti lagi.
"Jangan seperti itu, katakan permintaanmu dengan jelas." Masih dalam posisi ambigu seperti itu, bahkan Seokmin bisa merasakan hembusan nafas Mingyu. Ia segera menjauhkan mukanya dari Mingyu, bisa meledak jantungnya jika terus-terusan berada dalam jarak sedekat itu.
"Apa permintaanku tadi kurang jelas, huh?" tuturnya lirih.
Mingyu mengusap mukanya, "kemarin aku memang bilang semoga permintaanmu berbeda dari orang lain, tapi, wow, kau melebihi dugaanku."
"Aku belum makan dari tadi pagi, jadi kupikir aku bisa memintanya darimu." Seokmin mengingat kejadian tadi pagi dimana Mingyu merusuhi acara sarapannya, ia juga tidak membawa uang karena sudah ia habiskan kemarin. "Kau keberatan?"
"Kau bercanda? Aku bisa mentraktirmu seluruh makanan yang ada di dunia ini." tangannya bergerak untuk menggandeng Seokmin, "ayo, kita pergi ke restoran paling mahal disini!"
[]
Hari sudah malam, cahaya lampu neon dengan berbagai warna menghiasi ibu kota. Suasananya jauh lebih ramai daripada siang hari. Banyak orang keluar untuk bersenang-senang dengan teman atau pergi kencan dengan kekasih. Ataupun hanya untuk sekadar makan ramyun di minimarket.
Tak terkecuali dengan dua pemuda berseragam sekolah yang tengah bergandengan itu. Mereka sibuk mencari eksistensi restoran diinginkan, atau lebih tepatnya salah satu dari mereka. Seokmin hanya pasrah saat Mingyu menyeretnya ke restoran A, berdiri sangat lama di depan, kemudian berpindah ke restoran B dan begitu seterusnya. Seokmin tidak tahu jika seorang jin punya selera yang terlampau tinggi.
"Nah, ini dia!" usai lebih dari lima kali berpindah-pindah tempat, akhirnya Mingyu menemukan restoran yang sesuai dengan keinginannya. Seokmin memandang restoran pilihan Mingyu, bangunan dua lantai yang luas dimana lantai atas mempunyai konsep outdoor, sangat sempurna untuk makan malam romantis, mereka bisa menikmati pemandangan malam hari Seoul dari ketinggian. Lampu-lampu dan lilin kecil menambah kesan estetis. Sementara lantai bawah terdapat air mancur mini di tengah dengan kaca yang merupakan tembok dari restoran itu. Tempat sempurna untuk harga yang tidak biasa. Seokmin rasa ini terlalu berlebihan.
"Kau yakin? ini terlalu mewah," ia melangkah mundur, ia idak pernah membayangkan akan masuk ke tempat yang di dalamnya berisikan konglomerat dan orang-orang kaya, sangat tidak sepadan dengan dirinya yang hanya masyarakat kelas menengah.
"Tentu saja, pilihanku tidak pernah mengecewakan. Ayo masuk," Mingyu menggenggam tangan Seokmin, tapi segera ditarik oleh si empu. Ia mengernyit, "kenapa? apa tempat ini kurang bagus? kalau begitu aku akan mencari tempat lain yang lebih mewah,"
"Tidak, bukan begitu. Hanya saja, kurasa ini terlalu berlebihan. Kita beli ayam saja." Seokmin melangkah pergi, meninggalkan Mingyu yang masih tercengang di tempat.
Sejurus kemudian, Mingyu sudah kembali berada di samping Seokmin, "apa kau benar-benar manusia? bagaimana bisa kau lebih memilih sekotak ayam yang harganya tidak seberapa dibanding menyantap makanan bintang lima?!"
Bukannya marah, Seokmin justru terkekeh mendengar omelan Mingyu. Ia diam, mendengarkan Mingyu yang masih sibuk mengomel seperti ibu-ibu. Diam-diam ia mengulas senyum tipis, hatinya menjadi hangat. Entah karena setelah sekian lama ia bisa tenang menjalani harinya, atau karena 'teman' di sisinya. Mungkin dua duanya.
Setelah menemukan restoran yang mereka cari, mereka segera masuk menuju meja kasir dan memesan empat kotak ayam dengan rasa yang berbeda. Tadinya Seokmin hanya ingin memesan dua, sebelum Mingyu menyelanya. Begitu selesai dengan urusan transaksi, mereka segera melangkah menuju rumah. Seokmin membawa kantong plastik berisi ayam sedangkan Mingyu membawa dua botol cola berukuran jumbo, yang ia beli atas keinginannya sendiri. Mereka berdua berbincang banyak hal di jalan, mulai dari alasan Mingyu dikutuk, hingga perbedaan tren zaman sekarang dan zaman dahulu dimana Mingyu masih manusia biasa. Tak jarang mereka saling melemparkan ejekan satu sama lain. Seperti remaja yang mempunyai love-hate relationship.
"Zaman dulu masih banyak orang yang percaya dengan ilmu hitam dan semacamnya, termasuk kedua orang tuaku. Sepertinya mereka sengaja menjadikanku kelinci percobaan untuk menguji ilmu mereka," jelas Mingyu mengingat masa lalunya.
"Mereka kejam sekali," ujar Seokmin prihatin.
Mingyu mengedikkan bahu, "sudahlah, lagipula itu sudah lama puluhan ribu tahun yang lalu. Lihatlah sisi positifnya, aku bisa awet muda dalam jangka waktu yang sangat lama." Ucapnya narsis.
Mereka berdiri di perempatan, menunggu lampu lalu lintas berubah warna menjadi hijau. Seokmin menghentikan obrolan mereka saat merasa ada sesuatu yang menarik-narik seragamnya. Ia menunduk, dan menemukan seorang gadis kecil yang kumuh menatap memelas kepadanya. Tangannya yang menggenggam gelas plastik terangkat, kode untuk meminta sepeser uang.
Seokmin berjongkok dan mengelus kepala anak itu, "apa kau sendirian?"
Gadis itu menggeleng, menunjuk ke sebrang jalan, dimana seorang pria tua sibuk memilah sampah plastik dari tempat sampah. "Apa dia ayahmu?" tanyanya.
Si anak mengangguk sebagai jawaban. Seokmin mengulas senyum hangatnya, membuka kantong plastik yang dibawanya dan mengeluarkan sekotak ayam pemberian Mingyu, kemudian memberikannya kepada gadis kecil itu. "Aku tidak punya uang, semoga ini bisa menjadi pengganti. Jangan lupa berbagi dengan ayahmu, oke?"
Bertepatan dengan itu, lampu hijau menyala. Sang gadis Kembali membungkuk sebagai ucapan terima kasih dan segera berlari menemui ayahnya. Seokmin menatap punggung anak itu, kemudian segera bangkit dan ikut menyebrang. Ia mengecek arloji yang melingkar di pergelangan tangannya, masih jam delapan, belum terlalu larut, pikirnya.
Dalam perjalanan, mereka tak lagi mengobrol, Mingyu lebih sibuk memperhatikan Seokmin. Yang ditatap awalnya biasa saja, tidak memperdulikan jin aneh itu, tapi lama kelamaan rasanya risih juga, "apa?"
"Kenapa kau memberikannya ke anak itu?"
"Tentu saja karena kasihan, pasti dia belum makan. Aku tidak tega."
"Tapi kau kan juga belum makan."
Seokmin berdecak, "kita kan punya banyak makanan, tidak ada salahnya kan berbagi? lagipula dia masih kecil."
Mingyu hanya ber'oh' ria, tak dirasa mereka sudah meninggalkan pusat kota dan berada di jalan kecil dengan penerangan seadanya. Tempat ini rasanya familiar di mata Mingyu. "Rasanya aku tahu tempat ini," gumamnya.
"Jika kau berbelok kesana, kau akan menemukan jalan sempit tempat pertama kali kita bertemu," telunjuk Seokmin mengarah ke sebuah gang gelap yang terletak di ujung jalan.
"Apa kau sering mengalami kejadian seperti itu?"
"Tidak, itu baru pertama kali. Tapi di jalan ini memang banyak orang jahat berkeliaran," jelasnya. Sejujurnya Seokmin masih takut untuk lewat jalan ini, tapi apa boleh buat, kakinya sudah terlalu lelah untuk mengambil rute yang lebih jauh. Ia bersyukur kali ini dia tidak sendirian.
"Oi, Lee Seokmin."
Seokmin membeku, ia tahu siapa pemilik suara itu. suara yang selalu menjadi mimpi buruk bagi Seokmin. Suara langkah kaki terdengar dari belakang, Seokmin memberanikan diri untuk berbalik. Di depan mereka, sudah ada dua pemuda dengan seragam yang sama seperti yang Seokmin kenakan. Mereka melangkah maju, sementara kaki Seokmin bergerak mundur. Mingyu yang disebelahnya tetap berada di tempat, tampak biasa saja.
"Oh, kau sudah punya tameng sekarang," pemuda dengan name tag Cha Eunwoo mendekati Mingyu, tatapan mereka saling beradu, saling berperang dalam diam.
"Aku baru pertama kali melihatmu, tapi biar aku beritahu." Jaehyun, laki-laki yang bersama Eunwoo membuka suara. "Ibunya itu seorang pembunuh, teman kami nyaris meregang nyawa akibat ibunya itu." ia menyeringai, "Jauhi dia, kau pasti tidak ingin menjadi korban kedua bukan?"
Mingyu mengangkat alisnya, menoleh ke Seokmin yang menunduk sekarang, "Apa itu benar?"
Seokmin mengepalkan tangannya kuat-kuat dan menggigit bibir bawahnya untuk meyalurkan emosinya. Ia hanya bisa menggeleng, kemudian menarik tangan Mingyu untuk menjauh dari mereka berdua. "Jangan dengarkan mereka."
Eunwoo tertawa, "hei Seokmin, kami tidak sabar bertemu denganmu besok. Tenang saja, kita akan 'menyambutmu' deengan baik."
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top