° Three °

Aneh. Sepertinya ada sesuatu yang mengganjal, tetapi (Name) tidak tahu apa. Baru lima menit berlalu sejak Psyche meninggalkan kamarnya, tetapi (Name) merasa gelisah.

Sepertinya, akan ada hal buruk yang terjadi. Firasatnya mengatakan demikian.

(Name) menggelengkan kepalanya beberapa kali. Seperti malam yang sudah-sudah, tidak mungkin terjadi apa-apa di Olympus yang damai ini. Langit sudah gelap, ada baiknya dia tidur lebih cepat sebelum menyambut esok hari.

Akhirnya sang dewi memilih untuk memejamkan mata, menutupi tubuhnya dengan selimut, kemudian berusaha keras untuk membuat dirinya terlelap. Meski sulit baginya, ia melakukan upaya kecil seperti menghitung domba imajiner untuk membuat kantuk menyerang.

Saat (Name) berpikir dirinya akan terlelap, tiba-tiba saja udara di sekitarnya menjadi berat, aura hitam mengelilingi ranjangnya.

Demi Olympus, apa-apaan ini?!

(Name) hendak bangun, tetapi tubuhnya tidak bisa digerakkan, seolah ditahan oleh sesuatu yang tidak terlihat. Ia berusaha menjerit, tak ada satu kata yang keluar. Pada akhirnya, sebuah tangan meraih tubuh (Name) dari belakang, membekap mulut sang dewi, kemudian suara yang ia kenali terdengar tepat di telinganya, "Maafkan aku, (Name)."

Ia lenyap ditelan oleh kegelapan tanpa ujung.

***

Begitu tersadar, (Name) sudah berada di tempat yang asing. Ia melihat ke jendela besar, langitnya gelap, jauh lebih gelap dari malam hari di Olympus. Hanya ada cahaya temaram di luar sana.

Astaga. Sebenarnya, ia ada di mana?

Panik, buru-buru (Name) melompat dari ranjang tempat ia dibaringkan. Ruangan itu adalah kamar tidur; entah kepunyaan siapa. Hanya ada satu pintu, maka dari itu sang dewi melesat untuk segera keluar. Setidaknya, untuk mencari tahu; siapa yang berani menculik seorang dewi seperti dia?

Terkunci.

Mau sekeras apapun (Name) menarik gagang pintu, tidak bisa. Pintu itu tidak bergerak sama sekali. Ia menggedor-gedor pintu itu seperti orang kesetanan, rasa panik mulai menyelimuti; bagaimana kalau ia disekap oleh orang jahat? Bisa jadi musuh Psyche, atau lebih ngeri jika membayangkan ia disekap oleh para cyclops atau titan.

"Siapapun, kumohon! Buka pintunya!"

Putus asa setelah mati-matian melakukan upaya untuk melarikan diri, akhirnya sang dewi menyerah. Ia duduk di atas ranjang, dengan gelisah, matanya terus memantau sekitar. Bagaimana kalau selamanya ia terjebak di sini? Bagaimana dengan Psyche? Lalu, siapa yang bisa memekarkan bunga, baik di Olympus, atau di dunia manusia nanti?

Saat pikirannya dipenuhi dengan pikiran-pikiran yang mampu membuatnya takut, ketukan pintu terdengar, disusul oleh suara pintu yang terbuka. Sepasang netra sang dewi menatap lekat, lalu sontak pupilnya melebar ketika melihat sosok yang sudah tidak asing lagi baginya.

"Yang Mulia ... Dekis?"

Demi Olympus. Jantungnya berdebar-debar, entah karena takut atau apa. Ada rasa ngeri yang aneh ketika menemukan Dekis yang tersenyum padanya; ketika senyum itu tidak sehangat mentari, tetapi begitu mencekam bagai langit malam.

Senyuman itu berbeda, (Name) bersumpah.

Kendati demikian, Dekis tetap melangkah kepadanya, dengan langkah tenang. Begitu sampai di dekat sang dewi, ia meraih tangan kanan sang dewi dan ia bawa untuk mengecup punggung tangannya. "(Name), ternyata kau sudah bangun."

"Maaf membuatmu terkejut. Sekarang, kau berada di istanaku."

Dekis lalu duduk di samping sang dewi, kemudian menatapnya dengan intens. Sepasang netra mereka saling bertatapan, mau tau mau sedikit banyak (Name) jadi gugup dan salah tingkah.

"Ah, ternyata kamu yang ... membawa aku ke sini, rupanya." Kata 'menculik' terlalu kasar untuk diucap, maka dari itu (Name) menggunakan kata membawa sebagai ganti.

Dekis tersenyum manis, seolah-olah mengesampingkan fakta kalau ia sebenarnya memang menculik sang dewi dari Olympus. "Iya. Sejak lama, aku ingin kau datang ke istanaku, (Name). Jadi aku sengaja membawamu."

'Namun, bukankah seharusnya kamu bilang secara baik-baik, bukannya menculikku seperti ini?' (Name) telan kalimat itu dan hanya bisa ia pikir dalam hati saja. Ada rasa khawatir, bagaimana kalau sang dewa memiliki niat jahat yang tersembunyi di balik wajah rupawannya itu?

"Maaf ya, aku seperti menculikmu." Namun seolah bisa menelisik jauh ke dalam hati (Name), Dekis terlebih dahulu berbicara. Ia menyelipkan rambut sang dewi ke belakang telinganya. "Sejujurnya aku mau minta izin pada kakakmu. Tapi, Psyche Poli pasti akan melarang."

"Kalau kau tidak nyaman, aku akan mengembalikanmu ke Olympus. Sekali lagi, aku mohon maaf atas kelancanganku, (Name)."

Oh, bagaimana bisa (Name) menaruh curiga? Sang dewa penguasa dunia bawah ini sangat sopan dan tampak seperti orang baik. Ia jadi malu sendiri, bisa-bisanya ia sempat takut dan memikirkan hal buruk terhadap sang dewa.

"Tidak sama sekali, Yang Mulia. Justru suatu kehormatan bagiku kalau kamu mau menerima kehadiran aku di sini," balas sang dewi dengan senyumannya yang merekah, kemudian sepasang netranya ia tatapkan pada Dekis. "Bersediakah kamu membawa aku jalan-jalan? Aku penasaran sekali dengan istanamu."

"Dengan senang hati, (Name)."

'Mudah sekali,' pikir Dekis. Senyuman itu tak kunjung hilang, lalu ia berdiri dari posisi duduknya dan mengajak (Name) untuk pergi. "Kalau begitu, ayo. Akan kuajak kau berkeliling."

***

Ketika sudah puas berkeliling, Dekis sengaja membiarkan (Name) untuk duduk di kursi taman dan menyuruhnya menunggu. Sang dewi mengiyakan, dan Dekis berpamitan untuk pergi sebentar. Sepasang netra sang dewi mengobservasi taman itu, dipenuhi dengan bunga-bunga hitam--yang (Name) yakini dibuat dengan sihir milik penguasa dunia bawah.

Sebagai Dewi Musim Semi yang juga mencakup sebagai Dewi Bunga, tentunya (Name) penasaran. Maka, ia beranjak dari kursi, mendekati bunga itu. Indah, seluruh kelopaknya berwarna hitam; hanya saja serbuk sari yang berterbangan berwarna ungu gelap.

Warnanya menggambarkan sang pencipta.

Ah, (Name) jadi ingin memetiknya. Mana tahu ia bisa membuat yang serupa untuk dimekarkan di Olympus, 'kan? Tangan mungilnya hendak meraih bunga itu.

"Kalau kau ada niat memetik bunganya, sebaiknya jangan."

Jantung (Name) merosot hingga ke perut begitu mendengar suara Dekis. Untung, ia bahkan belum menyentuhnya. (Name) segera berdiri dan kembali menghampiri dia yang baru saja muncul. "Ma-maaf atas kelancanganku, Yang Mulia Dekis."

"Bunga itu beracun untuk makhluk dari Olympus, makanya aku melarangmu," jelas Dekis sembari menarik kursi dan segera duduk. "Duduklah."

"... Beracun?" (Name) terlonjak kaget. Ia lalu duduk di seberang Dekis sembari matanya menatap sang dewa lekat-lekat. "Padahal aku tadi ingin memetiknya supaya bisa memekarkan bunga itu di Olympus."

"Dewa-dewi di atas sana bisa mati." Dekis terkekeh kecil seiring ia bersandar pada kursi. "Kalau kau mau, mekarkan di sini saja."

"Aku bisa mati kalau menyentuhnya."

"Ya. Kecuali kalau kau jadi penduduk dunia bawah."

Kepala (Name) ia miringkan, sang dewi cukup penasaran begitu mendengar pernyataan sang dewa. "Bagaimana caranya?"

"Jadi istriku."

Senyuman yang tak bisa diartikan terpampang jelas di wajah (Name). Melihat ekspresi gadisnya yang berubah seperti itu, Dekis segera mengklarifikasi, "Hanya bercanda."

'Meski sesungguhnya aku mau menjadikanmu istriku,' batin Dekis.

Ia bertanya untuk mengalihkan topik, "Memangnya, kau sesuka itu pada bunganya?"

"Iya, Yang Mulia. Bunganya cantik sekali, sehitam malam, tetapi memancarkan serbuk sari keunguan yang membuatnya seolah bercahaya dalam gelap," jawab (Name) dengan antusias. "Apa nama bunganya?"

"Entahlah. Aku tidak pernah memikirkannya." Dekis tersenyum tipis sembari melipat kedua tangannya di depan dada. "Bagaimana kalau kau saja yang beri nama?"

"Aku?"

"Kau itu dewi bunga. Sudah sewajarnya kau memberikan nama pada tumbuhan tanpa nama seperti itu."

(Name) tertegun sejenak. Tampak memikirkan nama apa yang sebaiknya ia berikan pada bunga seindah itu. Diam-diam Dekis mengamati, wajah (Name) sangatlah cantik kala sedang berpikir keras seperti itu.

Ah. Dekis jadi semakin menginginkannya.

Tahan, Dekis. Pelan-pelan. Jangan memaksa; atau dia akan membencimu.

"Bagaimana kalau diberi nama dekisiabeliarda?"

Spontan, Dekis tertawa kecil mendengar nama yang diberikan oleh sang dewi, membuat gadis itu merona malu. Sang dewi bertanya, "Aneh, ya?"

"Bukannya aneh. Tapi, seleramu menamai bunga cukup unik juga--sebab, itu 'kan mirip seperti namaku," jelas Dekis setelah ia berdeham pelan. "Apa alasanmu memilih nama itu?"

"Sebab, bunga itu sangat menggambarkan sosokmu. Jadi aku ingin dia punya nama yang sama sepertimu," balas (Name) dengan pandangan yang berbinar-binar, "tapi kalau kamu tidak suka, biar kupikirkan nama lain."

"Tidak, tidak. Itu bagus." Dekis tersenyum seiring tangannya mengusap pucuk kepala (Name) dengan lembut. "Apalagi, itu adalah nama yang kau pilihkan. Bagaimana bisa aku menolaknya?"

"Syukurlah kalau begitu. Jujur, aku menamainya seperti itu karena terinspirasi dari Yang Mulia Helio dan bunga heliotropium." Sang gadis tersenyum ceria.

Jika (Name) mengamati lekat-lekat, ia seharusnya bisa melihat perubahan raut muka Dekis yang rupawan. Ekspresinya menggelap, ketika ia membawa-bawa nama sang dewa laut. Sedekat apa mereka; sampai-sampai (Name) sering membahasnya sampai seperti itu?

Tenang, Dekis.

"Ngomong-ngomong, Yang Mulia. Sebelumnya aku mohon maaf; tapi sepertinya aku harus segera kembali. Kak Psyche pasti mencariku," kata (Name). Ia menyadari Dekis yang terdiam, suasananya jadi sedikit tidak enak.

Untuk membiarkan (Name) pulang ke Olympus dengan kemungkinan dia akan mampir ke tempat Helio Tropium; yang benar saja! Dekis tidak sedermawan itu untuk membiarkan gadisnya pergi menemui dewa lain.

"Tentu. Setelah ini, akan kuantar kau pulang," balas Dekis dengan senyuman seramah mungkin yang ia bisa. Kemudian Dekis menjentikkan jari, lalu secangkir teh sudah tersaji di atas meja. "Aku sampai lupa menyuguhkanmu minuman, (Name). Minumlah dulu."

"Ah, maaf jadi merepotkan," kata (Name) dengan agak canggung. Ia mengangkat cangkirnya dan meniup teh hangat itu. "Aku minum, ya."

"Silakan, (Name)."

'Bagus. Seperti itu, (Name). Minumlah, dan kau akan selangkah lebih dekat untuk menjadi pendamping penguasa dunia bawah.'

Oh, naif sekali dia, tidakkah ia tahu; peraturan Olympus untuk tidak mengonsumsi makanan dunia bawah?

Minuman itu segera (Name) habiskan dalam satu kali teguk. Namun, seperti tersihir saja, tiba-tiba sang dewi merasa ada perasaan aneh yang muncul dari lubuk hatinya yang terdalam.

Perasaan betah; yang membuatnya ingin berlama-lama menetap di dunia bawah.

Dekis ingin tertawa rasanya. Semudah itu. Beruntung, Dekis masih memulainya dengan makanan dan minuman yang ringan. Jika ia tidak sabaran; sudah pasti Dekis akan menjejalinya dengan delima dunia bawah.

Delima, lambang pernikahan; yang artinya (Name) akan terikat seutuhnya pada Dekis Beliard.

Belum saatnya, Dekis. Pelan-pelan saja. Sejak sang dewi menenggak teh yang ia sajikan, Dekis memiliki banyak waktu tambahan.

"Sudah habis? Kalau begitu, biar aku antar--"

"Uh, maaf, Yang Mulia." Sang dewi menyela perkataan Dekis. Ekspresinya terlihat gelisah, rasa ingin tinggal di sana semakin kuat. "Bagaimana kalau aku tinggal di sini dulu untuk beberapa hari? Aku masih mau ada di sini."

"Bukankah tadi kau bilang kakakmu mencarimu?"

Sang dewi tertegun, tetapi kemudian ia segera menggelengkan kepalanya. Ia sadar kakaknya pasti mencari; tapi apa daya, keinginan untuk tinggal lebih kuat di hati. "Aku ... mau di sini saja, bolehkah?"

"Tentu." Dekis tersenyum puas, kemudian ia berdiri dan segera menghampiri sang gadis. Ia menariknya dalam sebuah pelukan erat. "Kau boleh tinggal di sini, kapanpun."

Rona merah terlukis di wajah sang dewi, matanya ia pejam seiring kepalanya ia sandarkan ke tubuh Dekis. "Terima kasih."

Tanpa (Name) sadari, Dekis menyeringai penuh kemenangan.

Semudah itu.

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top