Page 4

.
.
.

Bang!

Burung-burung beterbangan, begitu pula hewan lainnya dengan berhamburan, meninggalkan hutan.

Napasmu terengah-engah saat mendengar bunyi tembakan dari arah rumah nenek Hyouma. Dengan cekatan, kau berlari menuju sumber suara tersebut. Rasa bingung dan panik segera menggerogoti diri; kebingungan karena seharusnya kau berlari meninggalkannya, serta panik juga khawatir akan keberadaan pemuda berambut merah itu. Secepat tenaga kakimu melangkah, mengabaikan detak jantung yang berdegub kencang, mencoba meraup oksigen sebanyak mungkin.

Pengecut.

Kau membiarkan Hyouma pergi sendirian terakhir kali, tak ingin menemuinya lagi saat tahu bahwa pemuda itu telah jatuh hati padamu. Meski begitu, kau selalu mengendap-endap dari kejauhan, walau tak sedekat dulu lagi, masih memiliki niat untuk memastikan agar sosoknya sampai dengan selamat.

Tepat saat ini, kau telah berhenti di depan rumah neneknya, nampak rumah tua dengan beberapa kayu usang serta ubin abu-abu sebagai atapnya. Namun, dibandingkan penampilannya, hal yang pertama kali mencuri perhatianmu adalah genangan darah bersimbah bersama pintu yang terbuka sedikit.

Apa yang terjadi?

Apa ada hewan buas yang masuk, lalu pemburu mengejarnya hingga ke sini?

Kau tak berani untuk melangkah sedikit pun dari tempat. Apa yang bisa diharapkan dengan kaki gemetar dan wajah pucat pasi? Jika diperbolehkan, kau ingin segera lari dari sini, pergi jauh dan mungkin kabur semakin dalam ke hutan. Tapi, rasa khawatir dan bersalah tak kunjung hilang kalau kau melakukannya.

Setelah memantapkan diri, kau pun berjalan dengan pelan, penuh rasa waspada. Mungkin karena dirimu sebagai serigala, tapi bau anyir sangat tercium dengan pekat, menusuk berbagai indramu dari segala arah. Di dalam ruangan, terlihat gelap, irismu samar-samar berusaha mencuri cahaya agar dapat ditangkap oleh indra. Di sana, berdiri sosok dengan tudung merah khasnya.

Entah itu adalah percikan darah atau memang warna tudung aslinya, tetapi kau dapat mengenali figur familiar tersebut. Di sampingnya, terdapat beberapa pria paruh baya yang tergeletak tak berdaya, dengan genangan cairan berwarna merah mengalir ke luar pintu. Kau menutup hidungmu, membeku sesaat tatkala menyadari di tangan sosok itu tengah memegang erat sebuah kapak.

Ia, Chigiri Hyouma, menoleh.

Mendapati dirimu yang melihatnya seperti itu, membuatnya membelalakkan mata.

"[Name]? Kenapa ... kau ada di sini?" tanyanya dengan tenang, sempat panik karena tak mengira akan ditemukan dalam keadaan begini. Berarti, rencana Hyouma tidaklah matang. Lain kali, ia harus berhati-hati. Salah pemburu itu, yang menembakkan peluru di saat ia mengangkat kapaknya.

Kau berjalan mundur, ketakutan, "Chigiri ... apa yang baru saja kau lakukan?"

"Terserah kau mau percaya atau tidak. Tapi, aku mendengar mereka berencana untuk memburu serigala dan hewan buas lainnya. Karena tak terima, aku mengantar nenekku ke rumah orangtuaku dan menjebak mereka di sini. Oh, pertumpahan darah tak sengaja, kok. Mereka duluan yang menarik pelatuknya. Kalau aku tak mengambil kapak di rumah ini, bisa-bisa aku sendiri yang meninggal. Aku beruntung karena lariku cepat."

Jawaban itu terlalu santai untuk ukuran orang yang telah mengambil nyawa orang lain. Semua ini nampak terencana. Mengapa menjebak mereka di rumah tua ini? Di rumah yang dibangun di tengah-tengah hutan lebat. Gelengan kepala kau berikan pelan, sedikit menggeram ketika Hyouma melangkah mendekat padamu. Reaksimu membuatnya mengerjap, ia menghela napas lalu mengulas senyum.

"Kenapa kau setajam ini, sih? Oke, hampir keseluruhannya benar kecuali bagian yang tak disengaja. Ngomong-ngomong, apa kau tahu, [Name]?!"

Ia berujar antusias, mendekat, melepaskan senjata tajam yang berat tersebut, bermasa bodoh pada mayat di sampingnya. Kemudian, menggenggam tanganmu, mengabaikan bercak darah yang berada di tangannya. Entah mengapa, kesialan apa yang menimpa dirimu hingga kau tak mampu bergerak, terpaku akan sosok yang dipenuhi dengan warna merah di hadapanmu itu; rambut, iris, tudung, serta noda darah.

Lelaki tudung merah itu benar-benar hidup sesuai dengan namanya.

"Aku sudah mendapat izin untuk hidup bersamamu, lho. Bukankah kau seharusnya bangga karena kita mampu melawan takdir?"

"A-apa maksudmuー"

"Yah, kau tak perlu takut lagi. Mari kita kabur dari sini dan tinggal bersama. Kau tak akan kesepian lagi dan aku tak akan meninggalkanmu. Siapa yang bilang hubungan cinta berbeda ras akan berakhir tidak bahagia? Kita adalah tokoh utama dalam kisah ini, maka kita harus membawanya menuju akhir yang kita inginkan, bukan?"

Celotehannya tak dapat masuk ke dalam logikamu. Jadi, selama ini, dia merencanakan pembunuhan terhadap para pemburu yang dulunya menyakiti dirimu? Apakah sosok lembut dan hangat yang ia tunjukkan padamu hanya buaian kebohongan semata? Mengapa Hyouma melakukan ini?

Kau tak akan pernah bisa mengerti pada pandangan pertama itu, Hyouma telah jatuh padamu, membawamu semakin terikat padanya.

"Ini salah," ujarmu, memberanikan diri. Walaupun suara milikmu bergetar hebat, kau mencoba menatapnya, mengerutkan dahi, dan mengepalkan tangan. Lantas, genggaman pemuda berambut merah yang kini terasa dingin itu segera kau tepis. Hyouma mengerjap, terkejut. Kau lalu melanjutkan, "kau tidak boleh melakukan hal seperti ini ... Chigiri."

Beberapa menit Hyouma terdiam, membuatmu semakin tenggelam dalam cekamnya suasana. Helaan napas dari mulutnya adalah penengah heningnya momen sekarang, "Hah ... aku juga punya batas kesabaran, [Name]. Dari awal, kau selalu mencoba menolakku. Aku melakukan ini semua untukmu, tahu. Kenapa kau tidak mengerti juga? Apa aku berbuat salah padamu?"

Kini, iris merah itu memang nampak memelas sembari jari-jemarinya menyisir rambut merah tersebut, namun dapat disadari bahwa sorot matanya yang dulu sedih dan hangat sekarang telah terasa dingin.

Kau menunduk, melangkah mundur, semakin menghindarinya.

Dari awal, tidak seharusnya kau bermain di ladang pada hari itu. Begitu Hyouma menyapa dirimu, tak seharusnya kau membalas. Lari saja, seperti yang kau lakukan pada manusia lain. Namun, mengapa? Kenapa hari itu kau ikut terpaku, membiarkannya memasuki hidupmu, membuat dirinya berantakan seperti saat ini?

Semua ini adalah salahー

"Kalau kau berpikir, semua ini adalah kesalahanmu, itu tidak benar. Di kisah kali ini, tudung merah lah yang bertindak, bukan serigala. Bukankah aku pernah bilang, aku tidak akan membiarkan tragedi yang sama terulang lagi? Lihat, aku sebagai satu-satunya temanmu, masih hidup sampai sekarang."

Dengan tangannya yang dipenuhi oleh darah, ia mencoba menyeka air mata yang perlahan mulai lolos dari pelupuk matamu. Hyouma benci jika melihatmu sedih. Ia ingin, seluruh kebahagiaan datang kepadamu. Baiklah, ia akui melakukan aksi ini memang sangat ekstrim, terlebih untuk dirimu yang mempunyai hati lembut.

Kau yang terlahir sebagai serigala adalah bentuk kekejaman takdir kali ini.

Hyouma mendekapmu, mengelus helaian rambutmu, telinga ala serigalamu, dan juga punggung. Belaian itu terasa lembut, namun juga mampu membuat merinding di saat yang sama. Bagaimana tidak? Bau anyir masih melekat sempurna, menusuk indra detik demi detik berlalu.

Sejak detik itu, tudung merah tak pernah berjalan di jalan yang lurus. Ia memutuskan untuk membuang sisi kemanusiaannya agar dapat bisa bersama serigala. Namun, serigala yang ia peluk saat ini mempunyai hati baik hati.

"Apa kau sudah tak ingin lagi menjadi temanku hanya karena aku membunuh para pemburu?" tanya Hyouma, tak menatapmu, masih berada dalam posisi pelukan yang sama.

Apa yang bisa kau balas?

Seluruh kejadian ini, dikarenakan pertemuanmu dengannya. Kau harus bertanggung jawab telah membuat hati Chigiri Hyouma menjadi terkutuk.

Dengan pelan, kau melepas pelukannya. Irismu kehilangan cahayanya, tak tahu lagi harus bersikap seperti apa, "Tidak ... aku tidak bisa membuangmu begitu saja, Chigiri. Aku akan ikut denganmu, ke mana pun kau pergi ..."

Aku akan membantumu.

Senyum merekah di wajah pemuda berambut merah itu. Berhasil. Ia menggenggam tanganmu, melangkah sembari menariknya ke luar dari rumah bersama.

Di antara kalian berdua tak ada yang mati.

Benang merah yang telah terjalin itu tak putus.

Hanya saja, benang itu telah mengikat leher kalian berdua, meneteskan cairan merah. Perlahan-lahan, menghabiskan energi kehidupan. Ke mana pun salah satunya pergi, yang lain harus mengikuti. Jika berpisah, maka pilihannya hanyalah kematian ganda.

Ini adalah akhir yang dipilih oleh pemeran utama dalam kisah cinta yang ditentang. Tentu saja, dalam dongeng, sebenarnya tak ada akhir yang benar-benar bahagia, bukan?

.
.
.

[END]

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top