Those Words You Spoke To Me
Di bawah langit biru Yokohama, semua aktivitas di kota itu terlihat sibuk. Tentu saja, hari ini Senin, semua orang memulai aktivitasnya setelah akhir pekan kemarin. Belum lagi, ini adalah minggu ketiga semenjak pergantian musim. Di salah satu tempat di Yokohama, ada seorang gadis yang setiap hari selalu duduk di salah satu kursi sembari memandangi laut dan kebiasaan itu sudah ia lakukan selama empat tahun. Rambut cokelat gelap miliknya berkibar tatkala angin menerpa dirinya. Mata yang warnanya sama seperti langit Yokohama saat ini terus memandang ke laut. Banyak anak-anak yang mengira bahwa gadis dengan pakaian serba hitam ditambah aksen merah itu adalah patung yang diletakan di kursi, ia memang benar-benar tidak bergerak kecuali mengedipkan mata.
"Kau di sini lagi, Ashira?" ucap seorang pria dengan rambut merah dan mengenakan topi tua yang sangat dicintainya.
Ashira mengembuskan napasnya lelah, kalau Chuuya sudah menemukannya berarti ia harus kembali bekerja. Sebenarnya ia bisa saja memandangi laut dan kota dari ruang kerjanya, tetapi suasana kantor tidak sedamai ia memandangi laut di pinggir lautnya. Kepala gadis itu bergerak pelan untuk menoleh pada atasannya, seperti biasa ekspresi murung itu tidak pernah hilang dari wajahnya.
"Aku sudah bilang lupakan saja, dia tidak akan pernah kembali," ujar Chuuya dengan nada keras, hal biasa yang Ashira sering dengar.
"Aku tahu," timpal Ashira pelan yang malah membuat Chuuya merasa bersalah.
"Kalau begitu, ayo kembali ke markas." Chuuya berjalan lebih dulu yang diikuti oleh gadis itu.
Ashira tahu, kembali ke tempat ketika ia untuk terakhir kalinya bertemu dengan orang itu, apalagi sudah empat tahun berlalu tentunya hanya sia-sia. Sebenarnya ia ingin menyerah, tetapi ia ingat betul kalimat terakhir yang diucapkan orang itu. kalimat yang sampai saat ini menjadi motivasinya untuk menunggu, ia yakin sekali pasti suatu saat nanti orang itu akan kembali ke Yokohama. Hanya saja ia tidak tahu kapan tepatnya, dan sepertinya ia harus lebih bersabar lagi.
Mereka berdua sudah berjalan jauh dari pelabuhan, kini sekelilingnya hanya ada bangunan-bangunan yang saling berdempet. Ada banyak sekali orang-orang di sana, bahkan lebih banyak dari biasanya. Ashira mendongak, dari sini ia bisa melihat gedung tinggi berwarna hitam yang menjadi markas Port Mafia, organisasi yang sekarang menjadi tempatnya bekerja. Lima tahun lalu, ia dibawa ke sana dan untuk pertama kalinya bertemu orang yang sangat spesial di hidupnya. Mengingat masa lalu membuat gadis bermanik sebiru langit itu mengembuskan napas pelan, kepergiaan orang itu membuatnya tidak memiliki tujuan hidup.
"Oi, lambat sekali!" gerutu Chuuya. Pria bertopi itu menghentakkan kakinya dengan tergesa, menghampiri Ashira yang masih memandangi puncak gedung Port Mafia. "Ayolah, Ashira. Kalau kau lambat, malam ini kau harus traktir aku minum."
Namun, ucapan itu seakan terbawa angin. Gadis bermanik sebiru langit Yokohama sama sekali tidak mendengarnya. Pikirannya sudah melanglang buana, mata itu menatap jauh ke masa lalu. Perasaan yang tak asing menghinggapinya, ketika pertama kali ia melihat gedung Port Mafia dari tempat yang sama. Saat itu, orang yang membawanya, yang biasa ia panggil 'Senpai' mengajaknya berkeliling Yokohama. Dia bilang, "Sesekali kau harus melihat sisi terang Yokohama."
"Sesekali ya?" gumam Ashira sambil menutup mata. Embusan angin bulan april meniupkan kelopak-kelopak sakura, bertiup melewati Ashira yang mematung. Aroma yang dibawa pun beragam, tetapi ada sesuatu yang membuat gadis bermanik biru langit tersebut membuka matanya. Ia mencium sesuatu, aroma parfum yang tidak asing di hidungnya.
"Oi! Kau ini membuat kita terlambat. Dengar, apa kau pikir cuman kau saja yang kesal karena si Makarel itu pergi?!" Lagi, suara Chuuya seakan lenyap terbawa angin, Ashira masih saja tak mengubrisnya.
Chuuya yang kesal, sontak menarik tubuh si gadis ke dekapannya. Ia memeluk gadis itu erat. Ashira yang diperlakukan seperti itu langsung terkejut, ia tidak pernah dipeluk oleh siapa pun. Ini pertama kalinya ia mendapat pelukan, apalagi dari atasannya sendiri.
"Chuuya-san?" Ashira hendak melepaskan pelukannya, tetapi kejadian berikutnya justru membuat gadis itu berteriak.
Chuuya menggunakan kemampuan pengendali gravitasinya, membawa tubuh mereka berdua terbang di udara. Seulas senyuman muncul di wajah pria berambut merah, ia bangga memiliki kemampuan khusus ini. Setidaknya, mempercepat dirinya ke mana pun ia pergi.
"Harusnya kau bilang dulu kalau mau terbang!" teriak Ashira. Satu hal yang tidak diketahui Chuuya, gadis itu sangat takut berada di ketinggian. Terutama ketika ia sadar, ia tidak memiliki alat untuk menjamin keamanannya saat jatuh nanti.
"Berisik! Kau jalan saja lambat. Ini cara cepat menuju markas."
[]
Dari gedung pencakar langit paling tinggi di Yokohama, Ashira duduk di depan jendela kamarnya. Ia bisa melihat pemandangan Yokohama, lautnya, bahkan kerlap-kerlip lampu yang indah. Pantulan dirinya dari jendela, menunjukkan kantung mata juga ekspresi murung. Semua orang di Port Mafia juga tahu, kepergian orang itu meninggalkan jejak pada beberapa orang. Bukan hanya teman, tapi juga pada bawahannya. Namun, yang benar-benar terlihat sangat kesepian hanyalah Ashira.
Chuuya menawarkan diri untuk menemaninya, selain karena ia sudah lebih dekat dengan gadis itu, Mori pun memintanya untuk membuat Ashira kembali bersemangat. Pasalnya, semenjak kemampuan khusus gadis bermanik biru itu terkuak, hampir setengah anggota Port Mafia yang memiliki kemampuan telah diduplikat olehnya. Menurut Mori dan Kouyou, Ashira memiliki bakat yang hebat. Tapi, hanya ada satu orang yang bakatnya tidak bisa ia tiru, tentunya orang ini pula yang bisa mengalahkan bakat sehebat Ashira. Dia adalah Dazai Osamu, mantan eksekutif Port Mafia dan juga orang yang menyelamatkan Ashira dulu.
Kepingan ingatan kembali muncul, kalimat terakhir yang dikatakan Dazai padanya. Kalimat yang membuat Ashira terus berharap kalau suatu hari nanti, ia bisa menemukan tujuan hidupnya. Jika dulu tujuan hidupnya adalah agar ia bisa menjadi sehebat Dazai, sekarang tujuan itu hanya sia-sia. Dazai telah pergi, keinginan Ashira untuk menunjukkan dirinya yang akan menjadi hebat pun terasa percuma.
"Ashira, kau sudah tidur? Aku masuk ya," ucap suara seorang wanita dari balik pintu kamar.
"Hai." Ashira memilih untuk menekuk kakinya. Ia bisa mendengar seseorang membuka pintu kamar, lalu menutupnya lagi. Kepala gadis itu bergerak perlahan, melihat ke arah wanita berambut merah dengan pakaian tradisional Jepang. "Anee-san ...."
"Kau ini, sama saja seperti Chuuya. Aku belum setua itu untuk dipanggil Anee-san," sahut Kouyou. Seulas senyum muncul di wajah Ashira, ia terkekeh pelan sebelum kembali menatap jendela. "Ashira, semangatlah. Aku tidak ingin melihatmu seperti ini. Apa kau tahu kalau kau seperti ini, Chuuya dan aku jadi sedih."
"Hmm." Hanya itu yang keluar dari mulut si gadis. Matanya tak sekalipun menoleh, seakan-akan mata itu sudah terpaku permanen untuk terus menatap Kota Yokohama.
Wanita itu paham betul apa yang terjadi pada si gadis bermanik biru, ia bisa melihat pancaran semangat si gadis sudah menghilang sejak empat tahun lalu. Tak ada yang bisa benar-benar mengembalikan semangatnya, semua orang terdekatnya sudah mencoba. Namun, pancaran semangat itu tak kunjung kembali.
"Aku yakin Dazai juga tidak ingin kau seperti ini. Dia ingin kau bahagia, tetap semangat seperti sedia kala." Kouyou mengelus rambut cokelat Ashira dengan pelan. Aura keibuan miliknya memancar, sampai-sampai Ashira bergerak pelan memeluk Kouyou. Gadis itu menenggelamkan wajahnya di balik pelukan.
"Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan," gumam Ashira. Tiba-tiba saja manik biru itu berlinang. Sekali lagi, memori tentang ia dan Dazai kembali mengetuk pikirannya. Terutama memori ketika ia terakhir kali melihat Dazai. Ia masih ingat bagaimana pemuda itu menatapnya, suaranya, bahkan aroma laut pun seakan ikut ia ingat. "Aku seperti kehilangan tujuan hidupku, Anee-san."
Kouyou membelalak, gerakan tangannya terhenti seketika, dan napasnya seakan tercekat. Sekarang ia tahu, Dazai sangat berarti untuk Ashira. Meski ia sendiri tahu Dazai memang tidak pernah bersikap lembut pada bawahannya, tetapi untuk kasus Ashira sangat berbeda. Kouyou sendiri tidak tahu apa yang membuat Dazai begitu memperhatikan gadis yang sekarang memeluknya ini. Apa pun itu setidaknya membuat ia teringat sesuatu, tentang seorang anak yang selalu ia perhatikan. Anak yang kehilangan orang tuanya, anak yang memiliki kemampuan khusus yang nyaris sama seperti dirinya.
"Ashira," ucap Kouyou seraya melepaskan pelukan. "Semua sudah berubah, kau harus bisa bergerak maju melihat masa depan. Aku yakin Dazai pun tidak ingin kau terus terjebak dalam jurang masa lalu. Nah, tersenyumlah. Sambut hari baru dengan senyumanmu."
Manik biru itu terdiam memandangi Kouyou, ia ingin tersenyum, ia ingin kembali seperti sedia kala. Namun, rasa hampa itu tidak pernah meninggalkannya. Harapan yang masih ia simpan masih ingin ia wujudkan. Ashira masih ingin menemui Dazai sekali lagi. Dan saat itu ia ingin memberitahu pemuda yang pernah menyelamatkannya itu tentang perasaannya.
"Anee-san ...." Ashira berdiri, kepalanya tertunduk dengan tangan yang dikepal. Matanya sudah berlinang, dan rasa sesak di dadanya seakan menahan dia untuk melanjutkan ucapan yang terpotong. "A-aku ... tidak bisa. Ra-rasanya sulit ... menerima ... semua ini."
Kouyou sedikit kecewa atas apa yang dikatakan Ashira, tetapi ia tidak menyerah. Wanita itu ingin terus membuat si gadis seperti sedia kala. Senyuman ceria khas dirinya, dan kelakuan jahil yang tidak pernah lepas darinya. Ashira versi lama, Kouyou menginginkan Ashira yang itu. Namun, sepertinya ini bukan waktu yang tepat untuk mengembalikan versi lama Ashira. Gadis itu masih butuh waktu untuk bangkit kembali.
[]
"Ashira." Pemuda dengan rambut dan mata berwarna cokelat gelap itu tengah memandangi laut, seorang gadis berdiri di sampingnya dengan manik biru secerah langit Yokohama. "Lautnya cantik bukan?"
"Ya ... langitnya juga cerah."
"Aku ingin kau terus melihat betapa indahnya Yokohama saat siang." Dazai menoleh dengan senyuman. Ashira menyadari bahwa pemuda itu tidak lagi menutupi sebelah matanya dengan kain perban, meski hampir sekujur tubuhnya dililit perban. "Sebenarnya, aku ingin kau tetap di bawah cahaya. Menikmati betapa cantiknya pemandangan saat cahaya menyinari sekelilingmu."
Ashira terdiam, ia sama sekali tidak menangkap maksud dari perkataan Dazai. Ketika pemuda itu berbalik dan berjalan menjauh, si gadis mengikutinya dengan penasaran. Ia tak tahu ke mana pemuda itu akan pergi, Dazai selalu misterius untuk seorang gadis seperti Ashira.
"Ashira, tetaplah menjadi dirimu." Ashira mengernyit, perasaannya mengatakan bahwa ada sesuatu yang salah. Dazai memutar tubuhnya, ia memeluk gadis itu singkat sebelum berkata, "Sampai jumpa lagi."
Saat itu yang dipikirkan Ashira adalah kebiasaan buruk Dazai, pemuda itu sering mengatakan berbagai macam kalimat perpisahan sebelum melakukan bunuh diri---walau akhirnya ia tetap tidak mati. Namun, dugaannya kali ini salah. Dazai tidak bunuh diri, tetapi ia pergi meninggalkan Port Mafia, meninggalkan dirinya dan menghilang tanpa kabar.
[]
Angin berembus kencang, meniup kelopak-kelopak sakura dan membuat rambut Ashira menghalangi wajahnya. Hari ini ia tidak lagi datang ke pinggir pantai atau pelabuhan, gadis itu memilih berjalan mengelilingi Yokohama selama seharian. Ada yang berubah darinya, biasanya ia memakai baju serba hitam dengan aksen merah, kali ini ia memakai gaun pendek selutut berwarna biru juga flat shoes berwarna cokelat susu. Gadis itu jadi terlihat lebih berwarna daripada sebelumnya, meski wajah murung itu masih belum pudar. Kalimat Kouyou semalam membuat si gadis berpikir kembali tentang semua kenangannya, ia tidak bisa terus-menerus berada di bawah kubangan masa lalu. Namun, kalimat yang dikatakan Dazai waktu itu menyerang pikirannya lagi. Pemuda itu menyelipkan sebuah pesan yang selama empat tahun ini tidak terpecahkan oleh Ashira, pesan itu seharusnya disadari si gadis empat tahun lalu.
Setiap tempat yang ia lewati seakan membawa suasana nostalgia, tempat-tempat yang pernah ia kunjungi bersama Dazai dan yang lainnya. Hingga langkahnya terhenti di sebuah jembatan, sungai di bawahnya mengalir tenang. Ia ingat, biasanya tempat ini dijadikan tempat favorit untuk percobaan bunuh diri oleh Dazai. Mengingat kenangan itu membuat Ashira tersenyum, sampai kapanpun ingatan tersebut tak akan pernah ia lupakan.
"Atsushi, lihat. Airnya begitu tenang sekali bukan? Tempat bagus untuk bunuh diri."
"EHHH, NANI?!"
Ashira tercengang saat suara itu tertangkap indera pendengarannya. Perlahan ia menolehkan kepala ke sumber suara, netra biru langit itu menangkap dua sosok laki-laki tengah menghadap ke arah sungai. Salah satu dari laki-laki di sana berambut cokelat gelap, memakai setelan mantel cokelat gading lengkap dengan perban yang melilit pergelangan tangannya. Ashira terbelalak, penglihatannya kali ini tidak berbohong. Dazai ada di sana, lagi-lagi mencoba untuk menjatuhkan dirinya ke sungai.
"Da-Dazai-senpai?" Kaki Ashira bergerak perlahan, tetapi lama-lama ia mempercepat langkahnya. Ia ingin membuktikan bahwa yang dilihatnya adalah Dazai, pemuda yang selama ini membuat Ashira merasa kehilangan setelah ditinggalkan empat tahun yang lalu.
"Dazai!"
Pemuda berambut cokelat dengan mantel sewarna gading menoleh, manik cokelat tuanya membelalak ketika ia melihat sosok Ashira berlari ke arahnya. Dalam sekejap si gadis langsung memeluk Dazai sampai nyaris membuat pemuda itu kehilangan keseimbangan.
"Ashira?"
"Dazai-senpai, aku tahu ... aku tahu kau pasti akan kembali. Kali ini tolong ... jangan pernah tinggalkan aku sendirian lagi." Manik biru secerah langit Yokohama itu kini berlinang air mata, kepalanya mendongak perlahan menatap manik cokelat milik Dazai. "Kau sangat berarti untukku, maka dari itu ... tolong bawa aku ke bawah cahaya bersamamu."
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top