35. Tak Ada Penghalang

"Nadine, jadi selama ini kamu istri kedua pak Yahsa dan madunya mbak ini?"

Aku langsung melotot melihat ke arah Azka. Begitu juga kak Yahsa yang diam membeku. Suasana terus mencekam sampai suara tawa Nadia memecahkan keheningan.

Hahahahahahahaha

Nadia terus tertawa sampai aku yakin jika saat ini perutnya mulai sakit. Sejujurnya aku juga ingin tertawa, tapi melihat wajah serius Azka dan mata elangnya yang menatap nyalang padaku membuat nyaliku ciut.

Kak Yahsa berdeham menghentikan tawa istrinya yang masih menggema.

"Nadia!! ini rumah sakit." tegur kak Yahsa.

"Maaf Mas. Abis dia lucu banget."

"Azka bisa jelaskan bagaimana ceritanya sampai kamu bilang kalau Nadine itu madu saya?"

Aku bisa melihat rahangnya yang masih mengeras. Aku yakin saat ini ia sedang menahan emosi. Tapi untuk apa ia sampai emosi begitu?

Azka berdeham sebelum menjawab. Dia mulai bercerita bagaimana dia bisa berspekulasi kalau aku adalah istri kedua kak Yahsa. Mulai dari kak Yahsa yang selalu ada diberbagai kesempatan bersamaku, kak Yahsa yang terlihat sangat perhatian, kak Yahsa yang dipanggil Papi oleh Al, sampai saat Azka mendengar kak Yahsa yang sedang menelpon sambil menyebut kata Nad, sayang, dan istriku.

Aku benar-benar harus menahan tawaku.

"Dan yang terakhir saat Nadine bilang kalau saya sudah tidak bisa lagi mendekatinya karena status nya sudah berbeda. Itu sebabnya saya mengira Nadine istri bapak. Tapi saya tidak mengira Nadine menjadi istri yang ke2."

Aku melotot kearah Nadia saat kulihat dia akan tertawa lagi. Nadia langsung berdeham menghilangkan tawa di bibirnya menjadi senyum yang malah membuatnya seperti sedang menahan BAB.

"Baiklah Azka. Sepertinya harus ada penjelasan disini. Saya menikahi Nadia 3 setengah tahun lalu. Tapi setelah menikah kami terpaksa berjauhan karena Nadia mendapat beasiswa di Bandung. Itu sebabnya saya selalu bolak-balik Bandung-Jakarta saat weekend adalah untuk menjenguk istri dan anak saya."

Sekarang giliran kak Yahsa yang menjelaskan. Ia menjelaskan semuanya, bahkan sampai ke saat paling terburuk hidupnya. Yaitu Nadia yang keguguran dan mengalami depresi. Aku kembali mengingat masa itu, Nadia yang tertabrak mobil saat menyelamatkan seekor kucing harus kehilangan bayi yang sangat dinantikannya. Ia sangat terpuruk bahkan ia mengalami depresi ringan. Akhirnya kak Yahsa memintaku membantu Nadia, aku membawa Nadia tinggal bersamaku dan aku membuat ia belajar cara mengurus anak, Al adalah kunci kesembuhannya.

Dari sanalah Al memanggil Nadia dengan panggilan Mami dan kak Yahsa yang di panggil Papi oleh Al.

Sejak saat itu aku dan Nadia menjadi sangat dekat. Tak ada rasa cemburu di diri Nadia saat aku berdekatan dengan kak Yahsa karena ia tau, kak Yahsa menganggapku sebagai adik kecilnya.

"Jika Nadine bukan istri bapak, kenapa Nadine bilang statusnya berbeda?"

Pertanyaan Azka membuat lamunanku buyar.

"Kamu bisa tanya ke Nadine langsung. Saya dan istri saya akan keluar dulu."

Kak Yahsa dan Nadia meninggalkan ruangan ini, mungkin untuk melihat Asya. Anak mereka yang berumur 5 bulan. Hadiah terindah untuk mereka berdua.

"Nadine, bisa kamu jelaskan semuanya?"

"Apa yang harus aku jelaskan? Kamu jelas tau, statusku yang berbeda. Aku seorang janda satu anak Az. Yang selalu di pandang sebelah mata karena status yang aku miliki di usiaku yang masih muda."

"Kamu tau justru dengan status janda kamu itu, aku malah bersyukur. Aku bisa mendekati kamu tanpa penghalang."

"Aku kotor Az. Aku hampir di perkosa oleh tetanggaku sendiri. Tapi kamu tau apa yang ku dapat? Bukan pembelaan Az, tapi justru makian dan hinaan karena mereka mengira aku yang kegatalan menggoda suami mereka."

Tanpa terasa air mata ini mengalir sendiri. Aku benci bila mengingat kejadian itu. Aku yang korban justru ditetapkan menjadi tersangka. Di gunjingkan bahkan terang-terangan dihujat.

Azka maju dan merengkuh tubuhku dalam pelukannya. Aku menangis terisak, menangisi takdir yang terjadi padaku.

Beragam kata andai melayang di kepalaku. Andai aku membuka tabungan itu sejak awal. Andai aku tidak menikah di usia muda. Andai aku melanjutkan kuliahku dulu dan memiliki kehidupan yang lebih baik.

Tapi aku juga harus berhenti berandai. Karena jika semua perandaian itu terjadi, aku tidak akan memiliki Al saat ini. Aku takkan punya malaikat tampan yang selalu menemani hariku.

"Ssstttt... tenanglah Nad. Mulai saat ini aku akan jagain kalian."

"I love you Nadine. I really really love you."

Aku bisa merasakan kecupan di puncak kepalaku sebelum mata ini memberat karena kantuk dan kelelahan menangis.

****

Aku sudah sampai di depan rumahku. Rumah yang 4 hari ini sangat aku rindukan.

Aku di sambut dengan teriakan Al yang saat ini sedang duduk dilantai teras bersama ayahnya. Mungkin mereka sudah menunggu ku pulang sedari tadi.

"Mammmaaaaaa!!!"

Aku ikut berlari dan memeluk Al. Betapa sangat rindunya aku pada jagoanku ini.

"Hallo Al. Masih ingat papa?"

Semua mengalihkan pandangan ke arah Azka yang berdiri tidak jauh dariku. Apa tadi yang dia bilang? Papa?

"Om siapa?" tanya Al polos.

"Loh Al lupa ya? Dulu waktu kecil kamu tuh panggil aku papa. Aku yang ajak kamu jalan-jalan bahkan ajarin Al jalan pertama kali. Coba tanya mama."

Ya ampun! Azka ini urat malu nya copot kali ya? Gak ada malunya banget. Disini ramai dan dia dengan santainya mengaku papanya Al.

"Emang iya mah?" Al mulai menaruh perhatian penuh padaku.

"Al, masuk dulu yuk! Mama masih pusing dan lemas."

Al langsung panik dan menarik tanganku masuk ke dalam rumah. Akhirnya aku bisa mengalihkan perhatian Al, karena aku bingung harus menjawab apa.

Aku, Azka, Aksa, mas Damar, kak Nicole, kak Yahsa, Nadia dan orang tua mas Damar berkumpul di ruang keluarga. Jangan tanya muat atau tidak! Karena sudah di pastikan ruang keluarga ku yang minimalis ini tidak muat untuk keramaian ini.

Para laki-laki berdiri atau menyandarkan tubuh di dinding. Sedangkan para wanita duduk di lantai karena memang aku tidak menyediakan tempat duduk atau sofa diruang keluarga ini. Hanya ada karpet bulu tebal disini.

Orang tua mas Damar mulai menanyakan keadaanku dan obrolan berlanjut menjadi membahas keseharian kami masing-masing.

Aku melihat ke arah Aksa yang sedang bercanda dengan Al. Ku akui aku masih menyayanginya. Dia masih punya tempat di hatiku. Tapi itu tidak cukup untuk membuat kami kembali bersama atau aku memaafkan kesalahannya. Apalagi status nya yang mungkin kini sudah berubah menjadi suami dari Malika, membuat aku mau tak mau harus mengubur rasa cinta yang masih tertanam dipalung hati.

Nadia pulang bersama kak Yahsa karena Asya mulai rewel. Begitu juga dengan kak Nicole dan orang tua mas Damar juga sudah pulang karena sebentar lagi maghrib. Kini tinggal aku, Azka, Aksa dan mas Damar yang tersisa.

"Azka. Bisa kita bicara berdua?"

"Kalo gitu aku pulang dulu ya, udah mau maghrib juga."

Aksa berjabat tangan dengan mas Damar dan Azka. Aku memilih mengantar Aksa keluar agar mas Damar dan Azka bisa berbicara berdua.

"Kamu bahagia?" tanya-nya pelan.

"Sangat. Aku sangat bahagia dengan kehidupanku yang sekarang." jawabku pasti.

Kami memutuskan duduk diteras sejenak.

"Kamu perlu mencari pendamping lagi Nad. Al juga butuh sosok ayah yang selalu ada disisi nya. Bukan seperti aku yang bertemu seminggu sekali."

Aku masih diam menunggu dia melanjutkan kalimatnya.

"Aku gak berharap kamu balik sama aku. Karena aku tau dosaku sangat besar. Jadi aku cuma bisa melihat dan memperhatikan kamu juga memastikan kamu serta Al bahagia. Aku setuju jika kamu dan Azka menjadi pasangan. Dia bisa menjaga dirimu melebihi aku."

Aku hanya diam dan tersenyum. Entahlah harus ku jawab apa kalimatnya barusan. Aku masih bingung dengan perasaan dan masa depanku sendiri.

"Kamu pikirkan baik-baik. Yang penting aku mau kamu bahagia. Aku pulang."

Aksa mengelus lembut rambutku sebelum berjalan menghampiri motornya dan pergi dari rumah ini.

"Mas pulang ya, Azka jangan kasih pulang malem dari sini."

Mas Damar mengejutkanku yang masih menatap ke arah jalanan tempat Aksa menghilang tadi.

"Iya Mas, hati-hati."

Setelah mas Damar hilang di telan jarak. Aku kembali masuk ke dalam rumah. Hal pertama yang aku lihat adaah Al yang sudah tertawa bersama Azka.

Seperti de javu, Al dan Azka terlihat sangat dekat. Aku ikut duduk di tengah-tengah mereka yang sedang bercanda.

"Al nonton tv dulu ya, mama mau bicara sama om nya."

Al langsung berlari dan menyalakan tv. Film si anak kembar yang membutuhkan serun rambut menjadi tontonan favorit Al.

"Apa yang kamu bicarakan dengan mas Damar?"

"Hanya pembicaraan antara lelaki."

"Ohh"

"Nadine, aku tau hati kamu masih sangat terluka. Tapi izinkan aku mengobati lukamu. Izinkan aku melindungi kamu dan Al."

"Kenapa?"

"Because i love you. I really love you Nad. Sejak saat pertama aku melihat kamu kebingungan mencari Al di sekolah. Sejak pertama aku melihat kamu menangisi suami kamu. Aku tau aku sudah jatuh cinta sama kamu. Dan rasa itu tidak berhenti sampai saat ini."

"Aku cuma seorang janda Az."

"Justru karena kamu sudah menjadi janda. Tidak ada lagi yang menghalangi aku untuk memenangkan hatimu. Kamu cukup diam Nad. Biarkan aku yang berjuang menyembuhkan luka dan merebut cintamu."

Tuhan,, harus ku jawab apa semua ini???







No edit..

Jakarta, 2 oktober 2018 .

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top