31. Tekad

Tiga hari sudah berlalu setelah pertemuanku dengan Azka. Dia belum menampakkan batang hidungnya lagi, dan aku merasa cukup senang untuk itu. Karena sejatinya aku masih belum siap bertemu Azka. Masa lalu yang sudah ku kubur dan ku lupakan ternyata tidak benar-benar terkubur. Terbukti hanya dengan berdekatan lagi dengan Azka membuat perasaanku kembali tak karuan.

"Mbak Nadine, didepan ada yang cari."

"Siapa? Mau pesen kue?"

"Kurang tau Mbak. Cuma bilang ada perlu penting sama Mbak."

Aku bangkit dan berjalan keluar. Sedari tadi aku asyik didapur menghias kue pesanan pelanggan yang akan menikah beberapa hari lagi.

Aku mematung melihat dua orang di hadapanku saat ini. Mereka yang menyadari keberadaanku langsung mendekatiku.

"Bu, maafin Nina Bu maaf." ucap salah satu dari kedua orang itu.

Iya! mereka Azka dan Nina. Nina langsung memelukku erat dan menangis sesegukan sambil memelukku.

Aku hanya diam, sama sekali tak berniat menyambut pelukannya. Mataku hanya terfokus pada Azka yang tersenyum dan mengangguk entah untuk apa.

Apa dia pikir aku akan memaafkan hanya karena sebuah pelukan dan tangisan? Tidak!! Aku tidak akan memaafkan mereka begitu saja. Mereka yang membuatku berubah. Mereka yang membuatku menjadi orang lain selama 2 tahun ini.

Karena mereka, aku menjadi janda di usiaku yang masih muda. Karena mereka Al kehilangan keluarganya yang utuh. Dan karena rencana picik mereka bertiga dulu, aku kehilangan suamiku!

Nina melepaskan pelukan saat ia sudah mulai terkendali. Dia memandang iba padaku yang ku balas tatapan datar.

"Bu?" panggil Nina pelan.

"Maaf, kalian yang tadi cari saya? Ada yang bisa saya bantu?"

Aku berusaha membangun tembok tinggi dan kokoh agar mereka tak bisa masuk kedalamnya. Mereka hanya orang luar yang akan menyakitiku. Dan aku tak akan membiarkan itu terjadi.

"Nad, kita cari kamu. Nina mau minta maaf sama kamu. Kami mau jelasin semua." Azka berucap sambil memohon padaku lewat tatapannya.

"Jadi bukan untuk pesan kue?"

Mereka menggeleng dan Nina menangis lagi. Aku jadi bingung, kemana Nina yang dulu suka merecokiku dan super ceria? Kenapa sekarang ia jadi lemah dan terlihat seperti orang sakit?

"Oke kalau begitu! Maaf karena saya tinggal kebelakang lagi. Masih banyak pesanan yang harus saya selesaikan. Saya sedang bekerja dan saya paling tidak suka diganggu."

Aku berbalik dan melangkah menuju dapur. Dapat ku dengar tangis Nina semakin kencang. Aku yakin pelanggan tokoku mulai memperhatikan kami.

Azka menarik tanganku kencang, aku langsung berbalik dan sedikit meringis. Tapi sebisa mungkin aku menutupinya, aku tak ingin di pandang lemah olehnya.

"Please dengerin penjelasan Nina dulu."

"Saya disini untuk bekerja bukan untuk merumpi tentang masa lalu. Jadi jangan ganggu saya!"

Aku segera menyentak tangannya dan berlalu secepat mungkin.

"Nina sakit Nad! Dia depresi," ucap Azka dengan suara keras yang aku yakin semua pengunjung tokoku dengar.

Demi apapun ini tak bagus untuk citraku! Apa sih sebenarnya mau mereka. Tak cukup kah mereka membuatku menyandang status janda yang selalu digunjingkan tetanggaku?

Mereka membuatku yang dulu ramah pada siapapun menjadi malas dan benci bertemu orang lain.

Tak cukup kah mereka membuatku di pandang sebelah mata oleh orang lain? Aku benar-benar muak dengan semua drama ini.

Aku berbalik menghadap Azka yang memandang tajam ke arahku. Aku beralih ke arah Nina yang terduduk dilantai sambil menangis.

"Jika dia sakit, bawalah kerumah sakit. Toko kue bukan untuk orang sakit. Aku tak menyediakan obat untuk orang sakit! Dan jika dia gila, bawalah ke Rumah Sakit Jiwa agar ia mendapatkan perlakuan yang semestinya!"

"Nad!!!" seru Azka keras.

Aku tau perkataanku sangat menyakitkan. Tapi ini hanya bentuk pertahanan diriku, agar mereka tak mendekat dan menganggu hidupku lagi.

"Kamu berubah Nad!"

"Kalian semua yang membuat saya berubah."

Azka menatapku sebentar sebelum berbalik dan mendekati Nina. Bisaku lihat Azka sangat lembut memperlakukan Nina.

"Ayo kita pulang Nin."

"Gak mau! Bu Nadine belum maafin aku Ka. Aku mau minta maaf."

"Sekarang bukan waktu yang tepat Nin. Nadine lagi banyak pikiran jadi emosi. Nanti ya kita kesini lagi kalo Nadine udah baikan. Okey?"

Percakapan mereka sampai ditelinga ku karena memang jarak kami yang masih cukup dekat.

Nina mengangguk dan mengangkat kepala yang sedari tadi dia tundukkan. Dia memandangku, aku balas memandang datar ke arahnya. Aku menyilang tanganku didepan dada, berusaha bersikap seangkuh mungkin.

Azka membantu Nina berdiri. Mereka berbalik dan mulai meninggalkan tempat ini.

"Kita gak akan nyerah. Nanti kita jelasin lagi ya Nin. Kamu harus sabar."

Sayup-sayup masih terdengar bujukan Azka pada Nina. Silahkan saja jika mereka ingin datang lagi. Dan sambutanku pun akan tetap sama seperti tadi.

Aku menghela nafas lega saat mereka sudah benar-benar keluar dari tokoku. Sebenarnya aku sedikit iba melihat Nina dengan kondisi seperti itu. Tapi hatiku belum siap memaafkan mereka.

"Ternyata selain janda genit. Kamu juga kejam yah?! Pantes aja suami kamu ninggalin kamu."

Tatapanku langsung berpindah pada seseorang yang melontarkan kalimat sindiran yang masuk ke telingaku. Aku memandang kesal kearahnya.

"Kamu tuh jahat banget sih! Gak lihat itu anak sampe nangis-nangis tapi kamu diemin. Ih dasar janda gatel gak punya hati!"

Masalah akan menjadi semakin panjang jika aku terus meladeninya. Aku tak mengacuhkannya dan kembali berjalan menuju dapur. Menghias kue jelas lebih bermanfaat daripada mendengar suara nenek lampir tadi.

"Eh, orang lagi ngomong main di tinggal aja. Gak di ajarin sopan santun ya kamu? Wajar sih, orang tua kamu kan udah pada mati gara-gara gak kuat ngeliat kelakuan anaknya."

Cukup!!! Ini udah benar-benar kelewatan.

"Cukup ya Mbak! Jangan bawa orang tua saya yang udah tenang surga."

"Yakin tuh tenang? Melihat kelakuan anaknya yang seperti ini?!"

"Mbak gak tau apa-apa tentang hidup saya. Jadi jangan ikut campur! Kalo Mbak penasaran ingin melihat apa orang tua saya tenang atau tidak? Silahkan susul mereka, saya dengan senang hati membantu!"

"Eh kurang ajar kamu ya!"

"Lebih kurang ajar Mbak atau saya? Mbak gak tau apa-apa tapi selalu sok tau dan ngomongin saya. Mbak mau jadi akun lambe-lambe gak kesampaian ya? Makanya selalu ngomongin hidup saya terus?!"

"Dasar janda gatel! Saya juga gak akan ganggu kamu kalo kamu gak ganggu suami saya duluan."

"Mbak mending ngaca deh, siapa yang ngegoda siapa? Jelas-jelas suami Mbak yang godain saya duluan."

"Itu karena kamunya yang kecentilan!"

"Saya kecentilan dari mananya sih Mbak? Apa perlu saya ingetin kalo suami Mbak yang hampir memperkosa saya? Mbak seharusnya berterima kasih sama saya karena saya bisa gagalin kakak-kakak saya yang mau laporin suami Mbak. Bahkan kalo saya mau, Mbak juga bisa saya laporkan atas tindakan tidak menyenangkan! Jadi mulai detik ini, jangan pernah usik kehidupan saya kalo Mbak dan suami gak ingin mendekam dipenjara. Bahkan saya masih simpan hasil fisum kekerasan yang suami Mbak lakukan pada tubuh saya!"

Aku berbalik dan masuk kedapur. Air mata sialan ini kenapa harus menetes sih?

"Berhenti menangis Nadine! Kamu harus kuat!"

Aksa, Malika, Nina, Azka, dan mba Welly, semua orang yang menyakitiku. Mulai detik ini tak akan aku biarkan ada yang menyakitiku lagi. Tak akan pernah ku biarkan!!




















Maaf ya lama update, aku baru ganti hape dan masih penyesuaian sama hape ini.

Happy reading :)
Semoga suka part ini

Jakarta,17 September 2018

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top