28. 1 Milyar Rupiah
"Papiiiii" seruan Al membuatku berhenti sejenak dari pekerjaanku.
Disana, bisa ku lihat kak Yahsa sedang memangku Al sambil fokus mendengarkan celotehan Al.
"Pih, tadi ayah telpon. Katanya sabtu besok mau ketemu. Aku mau di ajak main ke dufan. Emang di dufan ada apa Pih?"
Kak Yahsa tidak langsung menjawab. Dia menoleh ke arahku dan tersenyum.
"Mau minum apa?" tanyaku tanpa suara, karena tak ingin mengganggu Al yang tampak sangat antusias bercerita.
"Teh saja." gerak bibir kak Yahsa menjawab seperti itu. Aku segera menuju dapur dan membuatkan nya teh.
Aku menaruh teh dimeja tamu depan kak Yahsa, dan kemudian duduk di hadapannya.
"Al bobo ya, sekarang udah siang. Nanti lanjut lagi cerita sama papi nya." bujukku.
Awalnya Al tampak tidak setuju. Bahkan dia memanyunkan bibirnya yang imut itu. Tapi berkat bujukan maut kak Yahsa, akhirnya dia setuju dan mulai naik kekamar setelah sebelumnya mengambil susu yang memang aku siapkan tadi.
Waktu terasa sangat cepat berlalu sampai tidak terasa Al sudah berumur 3 tahun. Waktu yang sangat cepat telah ku lewati bersama Al dan sosok di hadapanku. Dia sosok yang selalu ada dan menemaniku saat aku terpuruk. Ah, aku jadi teringat awal mula semuanya.
Saat itu, setelah pulang dari pengadilan. Aku langsung mengunci diri di kamar. Aku menangis, menyesali kebodohanku. Bisa-bisanya aku ditipu oleh anak SMA. Jujur aku merasa bersalah pada Aksa dan sekarang di fikiranku berputar kalimat "apa aku harus rujuk sama Aksa? Karena kenyataannya ini juga skenario yang di rancang 3 manusia jahanam itu. Aksa tidak sepenuhnya bersalah." tapi pikiran itu segera aku usir.
Malika mengandung anak Aksa. Dan dia harus bertanggung jawab. Aku tak ingin Aksa menjadi pengecut, aku tak ingin Al mempunyai ayah yang tak bertanggung jawab.
Ku mantapkan hati untuk memulai semuanya, hanya ada aku dan Al. Iya, hanya kami berdua.
Disaat-saat seperti itu membuatku sangat merindukan kedua orang tuaku. Seandainya mereka masih ada, pasti saat ini aku sedang menangis di pangkuan bunda dengan ayah yang setia mengusap bahuku dan memberi ketenangan.
Aku teringat peninggalan orang tuaku yang sampai saat ini masih ku simpan dan belum pernah ku buka.
Aku menghapus air mata dan segera menuju lemari mengambil amplop besar itu. Aku membuka perlahan.
Isinya tak banyak, hanya ada sertifikat rumah ini, album foto yang berisi kebahagiaan kami, kaos kakiku saat bayi, kalung peninggalan bunda, dan terakhir buku tabungan.
Aku mengambil buku tabungan dan mulai membukanya. Mataku nyaris keluar dari tempatnya karena terkejut. Benarkah apa yang kulihat saat ini?
Tokk tokk tokk.
"Astagfirullah." pekikku.
Siapa yang mengetuk pintu kamarku sih? Hampir saja jantungku melompat keluar saking kagetnya.
"Dek, buka pintu. Kakak udah masakin kamu soup ayam. Katanya makanan itu bisa bikin tenang dan mengurangi beban kamu. Ayo keluar."
Ketukan pintu dan suara orang dari luar membuatku bangkit dan berjalan ke arah pintu.
Disana kak Yahsa menyambutku dengan senyuman yang seolah berusaha menenangkanku. Aku mengikuti langkahnya ke dapur. Di atas meja makan bisa kulihat dua mangkuk soup dan beberapa potong naget, sosis, telur mata sapi dan nasi tersedia disana.
"Makan bareng ya, kebetulan aku lapar juga." ucapnya sambil tersenyum.
"Kakak yang masak semua?"
"Iya, tenang aja, insya Allah rasanya aman. Aku bisa masak kok dikit-dikit."
Aku tertawa kecil mendengar ucapannya. Padahal niatnya ingin memuji tapi mendengar perkataannya malah membuatku jadi tertawa.
"Maaf ya nasi nya udah aku siapin duluan. Aku biasa makan nasi yang sudah kena angin dan gak hangat soalnya."
Aku hanya mengangguk dan mulai mencoba masakannya. Masakannya cukup enak untuk ukuran laki-laki.
Usai makan, aku mengajaknya duduk disofa ruang tamu. Kak Yahsa sepertinya orang yang bisa ku ajak diskusi.
Aku mengambil barang-barang yang tadi kuletakkan dikamar. Dan menaruh dimeja depan kak Yahsa duduk.
"Kak, ini semua bisa di bilang wasiat ayah dan bunda. Sebenarnya udah di kasih sama notaris saat umur aku 17 tahun. Tapi baru aku buka sekarang. Aku minta pendapat kakak. Harus aku apain yah?" tanyaku sambil menyodorkan buku tabungan padanya.
Matanya melotot melihat nominal yang tertera disana. Nah kan, bukan cuma aku yang norak.
"Ini semua udah jadi hak kamu?"
"Menurut notaris dulu sih gitu. Dia ngasih nya pas umur aku 17, katanya kalo mau diambil harus ada ktp gitu-gitu, makanya baru dikasih ke aku saat umurku 17 tahun."
"Kakak tanya, sekarang kamu mau apa untuk hidup kamu dan Al?"
"Aku mau tinggalin masa lalu Kak. Aku mau lupain semuanya. Rumah ini juga punya kenangan menyakitkan tentang rumah tangga aku. Tapi aku gak sanggup untuk jual rumah ini."
"Kakak punya ide, gimana kamu renovasi aja rumah ini? Sesuai sama kemauan kamu. Kamu gak ninggalin rumah ini, tapi kamu membuang kenangan buruknya."
Aku diam memikirkan perkataan kak Yahsa barusan. Benar juga apa yang dia bilang.
"Ih kakak jenius deh. Hebatttttt!!!" seruku sambil mengacungkan kedua ibu jariku.
"Nah selama rumah ini di renov, kamu bisa bisa tinggal dirumah kakak. Kakak buka kost-kostan cuma yang lantai 1 aja. Lantai 2 khusus buat Kakak. Yah itung-itung kamu bantuin Kakak beresin rumah dan ngontrol anak kuliahan biar gak aneh-aneh."
"Kok ujung-ujungnya Kakak kayak manfaatin aku yah?" aku memicing curiga.
"Win-win solution lah Dek. Kamu dapet tempat tinggal, Kakak dapet pengganti bibi sementara."
Dia langsung tertawa dan aku balas melempar bantal sofa ke arahnya. Enak aja aku disuruh jadi pengganti pembantunya yang pulang kampung.
Bisa turun pasaran aku! Janda anak satu dan pembantu, siapa yang mau??
"Oke sekarang saatnya serius. Planning kamu buat masa depan apa? Kalo sekarang kan planningnya renov rumah."
"Aku sih pengen punya toko kue kak. Dulu waktu ada bunda, aku sama bunda sering bikin kue untuk pesanan tetangga. Makanya aku pengen banget punya toko kue. Lagi pula kalo punya toko kue, aku bisa lebih santai kak. Bisa sambil urus Al juga. Bisa gak yah kak aku punya toko kue?"
"Ya bisa lah! Nanti kakak cariin lokasi yang strategis. Nah selama kakak cari lokasi, mending kamu ikut kursus. Biar makin berkembang bakat kamu."
"Mas juga setuju!"
Seruan dari arah pintu membuat aku dan kak Yahsa langsung menengok kesana. Disana mas Damar berdiri sambil menggendong Al yang terlelap.
Mas Damar masuk dan duduk disofa samping kak Yahsa. Kak Yahsa menoel pipi Al yang langsung ditepis mas Damar.
"Anak gue baru tidur. Jangan di gangguin."
"Siapa yang gangguin sih? Lagian Al juga bakalan jadi anak gue."
"Maksud lo?"
"Gue bakalan ajarin Al manggil gue papi."
"Alah, gayaan banget manggil papi. Makan pake oncom aja!"
"Mending gue papi. Keren di denger. Daripada lo? Abii? Nilai arab lo aja 6."
Dan perdebatan mereka terus berlanjut. Jika kalian bertanya kenapa mereka seperti itu? Mari aku jelaskan.
Mas Damar dan kak Yahsa itu satu SMA. Karena otak kak Yahsa yang terlalu encer-cenderung mencair dan mengalir- menurut mas Damar membuat dia bisa lompat-lompat kelas. Sampai pada akhirnya kak Yahsa bisa sekelas dengan mas Damar yang notabennya lebih tua 2 tahun darinya.
Aku juga baru tau ini saat aku dekat dengan kak Yahsa. Ternyata kak Yahsa sudah tau banyak mengenaiku dari mas Damar. Dan ia mendekatiku karena merasa aku mirip dengan seseorang dan perlu ia lindungi seperti mas Damar melindungiku. Jangan lupakan satu hal, sikap pendiam mas Damar akan hilang jika bertemu dengan kak Yahsa, begitu juga sebaliknya.
"Oke! Waktunya kita serius ngomongin adik kita yang baru saja mendapat gelar janda." seru mas Damar. Aku melotot kearahnya.
"Oke!"
"Masalah renov rumah biar jadi urusan Mas. Nah kalo masalah toko kue biar itu urusan Yahsa. Kamu cukup melihat aja, biar kita yang urus. Anggap aja kamu lagi liburan. Nikmatin deh tuh masa iddah kamu."
Aku mengangguk sebagai jawaban. Aku merasa beruntung masih ada yang menyayangi ku dan Al dengan tulus.
"Eh uang nya cukup gak? Kalo gak cukup Mas ada tabungan buat nambahin."
Kak Yahsa tersenyum mengejek ke arah mas Damar. Dia langsung menyodorkan buku tabungan yang sudah dia buka dibagian paling belakang tempat nominal jumlah tertera disana.
Mas Damar melotot, sama seperti wajahku dan kak Yahsa tadi.
"Gila! gue gak tau kalo ayah punya tabungan segini banyak."
"Aku juga gak sangka Mas. Aku pikir juga cuma berapa gitu. Makanya aku simpen aja, buat saat-saat mendesak pikirku."
"Ya Allah, adek gue bodoh banget ya! Dia punya tabungan 1 Milyar tapi malah hidup melarat jadi pelayan resto dan SPG, terus nikah muda tapi dapet laki brengsek. Adik gue hidup miskin padahal dia kaya."
Mas Damar dan kak Yahsa langsung tertawa. Memangnya aku sebodoh itu ya? Mana ku tahu kalo tabungan itu ada 1 Milyar. Iya 1 Milyar yang nol nya banyak banget itu.
Dan aku yakin gara-gara 1 Milyar ini, aku bakalan jadi bahan bully dalam jangka waktu panjang. Apalagi melihat mereka yang sangat bahagia melihat kebodohanku. Kakak macam apa itu????
Kita flash back dulu ya. Biar nanti gak pada bingung kenapa Nadine tau-tau mendadak punya ini itu.
Maaf ya kalo ada typo.
Blm di edit soalnya.
Happy reading :)
Jakarta,06 September 2018
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top