tiwifl || 50

"Mas, tolong keluarin ayamnya dong dari oven, aku mau liatin pepes tahunya ini."

Kepalanya Hans mengangguk.

Sulit sekali menjelaskan perasaanku hari ini.

Gugup karena mempersiapkan makan malam dan ada perasaan khawatir dengan rasa makanannya, tetapi alasan makan malam keluarga ini diadakan pun jauh lebih membuatku tak tenang. Ketika aku menelpon Mama untuk memintanya datang ke sini, dia terus mencecar aku dan Hans ada masalah apa, kenapa makan malam keluarga di rumah, tidak memesan restoran, karena di rumah cenderung akan mempersulitkanku. Dengan sekuat tenaga aku mengatakan padanya bahwa aku rindu makan malam dengannya dan Papa Amar.

Tetapi karena rasanya tidak adil kalau hanya mengundang orangtuaku, untuk itu aku juga mengundang keluarga Hans. Begitulah alasanku pada Mama. Karena dia terdengar sangat khawatir akan keadaanku. Mungkin dia mengira aku dan Hans akan berakhir—tolong jangan didengar tebakan yang ini, Tuhan.

"Sup ayamnya aku pindahin ke mangkuk ya, Va?"

"Bisa, Mas?" Aku menyadari ucapanku setelah melihatnya tersenyum. "Oh maksudku bukan gitu." Aku menggelengkan kepala. "Yes, please."

Aku kembali menutup kukusan, sebelum akhirnya merasakan sentuhan di kedua lengan. Berbalik badan, aku menemukan Hans sudah berdiri di depanku dengan ekspresi lembutnya. "Hei," ucapnya pelan. "Tarik napas, Va. Atur napas pelan-pelan. Ini kabar baik, mereka pasti bahagia dengernya. Makananmu juga selalu enak. Belum pernah ada yang komplain, kan, sejauh ini?"

Aku mengangguk.

"Aku udah pernah coba ayam panggangmu, sup ayammu, pepes ikan, pepes tahu, gulai ayam, semuanya. Semuanya enak."

"Huuuffftt." Aku menundukkan kepala untuk mengembuskan napas panjang, kemudian kembali menatapnya sambil tertawa. "Iya bener, aku padahal nggak seharusnya gugup. Tapi mungkin karena ini pertama kali buatku kasih kabar kehamilan."

"Buatku juga."

"Ha! Bener, kamu juga belum pernah hamil." Aku meringis. "Maksudku, you know, kamu belum pernah punya istri yang hamil. Yang nggak hamil juga belum pernah. Damn! Nanti kalau kalimatku kayak gini gimana, Mas? I can't."

Hans tertawa. "Aku yang ngomong nanti, kamu tambah-tambah aja senyaman dan semampumu."

"Nggak pa-pa?"

"Ya, nggak pa-pa banget."

Aku mendesah lega. Lalu memeluknya singkat. "Thanks, Mas."

"Ini kehidupan kita berdua, Va. Tugas kita berdua."

Aku tertawa dan mengangguk. "Yaudah tolong tuangin supnya, aku mau lihat-lihat buah di kulkas."

"Okay."

Aku pikir semua kalimat penenang Hans di dapur tadi akan bertahan lama, membuat rasa gugupku hilang. Tetapi ternyata memang benar, pengalaman pertama akan selalu menjadi hal yang terkenang. Perasaannya, kejadiannya, semuanya. Bahkan setelah semua makanan terhidang di meja makan, aku dan Hans sudah tampil rupawan dan harum, duduk manis, tetapi dadaku masih naik-turun tak beraturan. Sejak tadi Hans juga sudah menggenggam tanganku, dibawa ke pangkuannnya, diberi elusan lembut, tetapi mungkin dia merasakan tanganku semakin dingin, sekarang dia menoleh sambil keningnya berkerut.

"Sorry," lirihku sambil meringis.

"Aku bikinin teh anget, mau?"

Aku menggeleng.

"Apa yang kamu khawatirin, Va?"

"Jujur, aku nggak tahu." Tawaku keluar dengan begitu aneh. "Aku tahu dan percaya sama apa yang kamu bilang, ini kabar baik, mereka akan bahagia, semuanya. Tapi nggak tahu, dia-nya nggak mau hilang." Aku menyentuh dada dengan tangan lainku yang bebas, berusaha memberi tahu Hans dia mana yang aku maksud. "Mungkin juga karena aku kepikiran Papa Aji." Aku makin meringis. "Papaku yang nggak bisa denger berita ini sekarang bareng-bareng, kita harus atur waktu lain, yang mungkin aja antusias kita akan beda sama sekarang yang bener-bener pertama kali ngasih kabar ini."

"I'm sorry," bisik Hans yang jelas kebingungan akan situasi ini.

Aku menggelengkan kepala. Sama sekali tidak menyalahkannya. Dia tidak tahu apa-apa dan tidak bisa melakukan apa pun juga untuk masalah keluargaku ini. Kalau aku mengundang Papa Aji dan keluarganya, aku tahu Mama pasti tidak akan nyaman, tidak peduli dia berusaha menutupi itu nantinya. Aku tidak ingin perempuan hebat yang sudah merawatku dengan susah payah merasa tertekan untuk beberapa waktu, di momen spesial.

Tapi aku juga tidak bisa membohongi ada kesedihan di sudut hatiku lain tentang ayah kandungku. Yang tidak sepenuhnya bersalah. Hubungannya dengan Mama mungkin tidak baik. Dia mungkin berdosa ke Mama, tetapi dia berusaha menjadi ayah yang baik untukku, dengan segala kekurangan karena kondisi yang sudah berbeda.

Apa pun yang terjadi, aku tetap menyayanginya.

Walaupun mungkin cara kami berkeluarga berbeda dengan ayah-anak pada umumnya. Meski tak disengaja, tetap akan selalu ada jarak antara aku dan Papa Aji, dibanding aku dan Papa Amar. Aku sudah berusaha menerima itu, seperti Papa Aji menerima semua ini yang dia anggap sebagai konsekuensi perbuatannya.

Namun, kembali lagi, tetap ada kesedihan di hatiku.

"Kamu cantik banget, Va."

"Ha!" Aku tertawa mendengar pujian di tengah semrawutnya isi kepalaku. Tetapi fakta bahwa dia sedang berusaha menenangkanku dengan segala cara, membuatku juga ikut berusaha untuk tenang. Aku menunduk melihat dress-ku malam ini dan tersenyum pada Hans. "Seleramu yang bagus, Mas. Dress ini cantik dan nyaman."

Tangannya memainkan rambutku yang aku atur dalam kondisi tetap tergerai. "Kamu bisa deskripsiin wangimu sendiri kah?"

"Sorry?"

Hans tertawa. "Maaf ini random, tapi aku penasaran, wangimu di hidungmu sendiri sama nggak kayak apa yang aku cium."

Aku tertawa geli. "Menurutmu wangiku emang gimana?"

"Aku tanya kamu dulu."

"Ah okay ...." Aku berpikir keras. "Flowery?" jawabku tak yakin. Aku senang dengan aroma bunga-bunga yang tidak terlalu manis. Segar, lembut, aroma yang bisa kamu bayangkan seolah kamu sedang di hamparan bunga-bunga mekar.

Kepalanya mengangguk dengan senyum simpul di wajahnya. "Betul."

"Oya?"

"Iya. Atas sampai bawah." Dia terlihat sadar akan ambiguitas di kalimatnya setelah aku membelalakkan mata dan tertawa, kemudian sambil tertawa pelan, dia menjelaskan. "Maksudku ... rambutmu juga wangi bunga-bunga kayak gitu."

Dan sampai bawah?

Bawah mana?

Aku menelan pertanyaan itu karena rasa-rasanya tidak pantas membahasnya di meja makan dengan hidangan makanan di depan kami dan fakta bahwa kami sedang menunggu keluarga besar untuk informasi mengagumkan.

Tanpa sadar, Hans berhasil membuat rasa gugupku hilang dengan obrolan kami yang beralih ke banyak tema, seperti biasa. Sialnya, ketika bel rumah berdering, dadaku seperti dipompa untuk merasakan gugup seperti awal tadi, justru lebih parah kali ini.

Kami berdiri, menyambut Mama dan Papa Amar yang datang lebih dulu dengan pakaian semi formal. Papa Amar mengenakan kemeja biru langit sementara Mama mengenakan dress marun yang cantik.

"Wah, Mas, ini beneran ada sesuatu, aku nggak tahu itu." Ucapan Mama ketika melihat isi meja makan. Lalu dia menatapku setelah duduk di kursinya. "Kasih tahu sekarang aja, Rey, jadi kalau ini berita buruk, biar Mama dan Papa bisa langsung pulang."

Aku tertawa sambil memutar bola mata. "Ayolah, Ma. Latihan sabar dulu dong, udah mau jadi Nenek, lho!" Melihat ekspresi Mama yang sangat terkejut, aku refleks menutup mulut dan jantungku langsung berdegup tidak keruan. "Mas!" teriakku panik dan menatap Hans, meminta bantuan. "Ma, please, anggap Mama dan Papa belum denger apa pun tadi, okay? Kita tutup mulut sampai semua dateng." Aku menelan ludah, duduk di kursiku dan seketika suasana hening.

Aku benar-benar membenci diriku sendiri yang seringkali tak mampu mengendalikan mulut. Apa yang ada di otak kadang tak sama dengan apa yang aku ucapkan. Semua ini sudah tersusun rapi dan aku malah mengatakannya dengan tidak tersusun.

Ya Tuhan, Rey!

"Mama nggak bisa." Mama mengangkat kedua tanga, mencondongkan wajahnya, menatap aku dan Hans gantian. "Kepala Mama mau pecah harus nebak-nebak, kasih tahu sekarang, kamu beneran hamil?"

"Ma ...." Papa lebih dulu menegur istrinya sambil menepuk pundak Mama. "Hargai mereka."

"Cukup anggukin kepala aja, Mama akan diem. Mama takut kalian tiba-tiba nyodorin surat resmi pengadilan agama, lho."

Lalu tanpa diduga, aku mendengar suara tawa pelan Hans. Menoleh menatapnya, aku melihat dia juga sedang melihatku dan menganggukkan kepala. Lalu dia menatap Mama dan Papa Amar. "Kami hamil, Ma, Pa. Secara fisik, Reva yang hamil."

Hening.

Benar-benar hening.

Mama nyaris tidak kedip menatapku dan aku pun hampir tidak bernapas. Sebelum akhirnya tersengal dan aku mendongakkan kepala untuk menarik napas dalam-dalam.

"Rey, ini beneran?"

Aku meringis dan mengangguk.

"Selamat ya!" Papa Amar tersenyum lebar. "Kamu nggak tahu sebahagia apa Papa denger kabar ini setelah sejauh ini perjuangan kalian. Terutama kamu, Va."

Aku tersenyum penuh haru dan mengangguk-anggukan kepala. Lalu aku melirik Mama. Apakah dia tidak—

"Ya Allah, Rey!" ucapnya, lalu berdiri dan berjalan cepat menghampiriku. Aku menyambut pelukannya yang erat. "Nggak tahu harus ngomong apa, dada Mama rasanya kayak mau meledak saking senengnya. Nggak nyangka anak Mama yang masih ditimang-timang sekarang udah mau nimang anak juga." Mama melepas pelukan, menatapku dengan matanya yang berkaca-kaca.

Aku menyentuh wajahnya dan tersenyum. "Jangan nangis, please? Dan nanti pura-pura kaget juga ya pas ngasih tahu Ibu-Bapak dan Mbaknya Mas Hans."

Semua orang tertawa.

Setelah menjauh dariku, aku melihat Mama menghampiri Hans dan menepuk pundak Hans. Laki-laki itu dengan sopan langsung berdiri menyeimbangi Mama. "Makasih ya, Hans, nggak pernah menyerah sama Rey. Titip Rey dan calon cucu Mama."

Hans tersenyum dan menganggukkan kepalanya.

Mama dan Papa menepati ucapannya untuk pura-pura terkejut saat aku memberi tahu semua orang setelah selesai makan malam. Bahkan Mama mengulang adegan memelukku dan Hans untuk memberikan selamat. Beda lagi Bapak-Ibu, bibirnya tak pernah henti mengucapkan syukur pada Tuhan dan berterima kasih padaku.

Mbak Raras dan suaminya memberi beberapa nasihat sebagai orang tua yang bisa dibilang masih muda.

Satu hal yang aku sadari, tak ada satu pun dari mereka yang menyinggung soal anak kembar. Tak ada yang memberi tekanan untukku harus mengandung anak kembar atau jenis kelamin tertentu.

Aku tahu, aku berada di keluarga yang sangat baik.

Dengan suami yang super baik, aku tak bisa menahan senyum haru ketika melirik Hans yang sedang fokus mendengar orang tua kami bercerita tentang kehamilan dan pengalaman-pengalaman yang mereka tahu.

So apparently, this is what it feels like ....

Mencintai dan dicintai dengan tenang dan dewasa.

Setelah selesai dengan Danar, pernah terbesit pertanyaan mungkinkah aku akan merasakan jatuh cinta lagi? Mungkinkah perutku dipenuhi kupu-kupu lagi? Mungkinkah aku akan mengalami perasaan menggebu terhadap lelaki?

Aku tidak merasakannya.

Digantikan dengan perasaan lain yang memang aku butuh dan mau. Perasaan tenang dan nyaman setiap berada di dekatnya, tidak ada pertanyaan-pertanyaan kapan antusiasnya padam, akankah dia bosan karena terlalu menggembar-gembor ucapan dan aksi. Hans membiarkan semuanya berjalan dengan waktu yang tertata, tidak merusak urutan, tetapi tidak semata-mata apa adanya. Dia berusaha memberi rasa yang kuat di setiap detik usahanya.

Aku bisa merasakan, itu kenapa aku bisa sampai di titik ini. Di tahap mensyukuri keputusanku untuk menerima perjodohan ini.

Aku meraih tangan Hans, membuatnya menoleh dan menatapku bingung. Sebelum dia sempat mengatakan apa pun, aku memberinya senyum dan mengucapkan, "Terima kasih ya, Mas. Terima kasih terus. Kayaknya bakalan terima kasih terus."

Dia tersenyum, menganggukkan kepala, dan berbisik, "Aku sayang kamu, Va."

Aku sayang kamu, Va.

Aku sayang kamu.

Ternyata mengalahkan setiap 'I love you' yang aku dengar selama ini.

Mereka mungkin mencintaiku, pernah mencintaiku, tetapi tidak cukup menyayangiku untuk membuat mereka bertahan denganku.



---

AKHIRNYAAA!!!

sudah sampai ending ya guys, semuaaa! makasyiii udah ikutin perjalanan Hans-Rey! aku udah bikinin ekstra part di Karya Karsa. udah ada 20 bab, bisa beli paketan lebih murah, sekali bayar langsung 20 bab. 

terus karena masih minta lanjutannya, aku bikinin lagii. udah ada bab 21, silakan dicek, yawwww. ekstra bab 21-40 di paket yang beda yaaa. jadi satu paket isinya 20 esktra bab. 

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top