tiwifl || 48
"Mas Hans, are you okay?" Aku tidak mampu menahan diri karena melihat dia yang terlihat sedang berpikir serius sambil menatap langit-langit kamar, kedua tangannya menjadi bantal kepalanya, bagian dadanya tidak tertutupi selimut. Berbeda denganku yang hanya kepala yang bisa dilihat. "Kamu nggak lagi overthinking sama kinerjamu barusan, kan?"
"Sorry, Va?" tanyanya bingung, menolehkan kepala.
Aku tertawa pelan. "Aku baca-baca cerita orang-orang ... ummm, cewek-cewek maksudku, mereka anggep kalau cowok tuh kadang terlalu terpaku sama ego mereka. Kayak ... kalau beres berhubungan badan, mereka suka mau banget mastiin kinerjanya tadi gimana, dia berhasil bikin seneng, kan? Pasangannya bahagia, kan? Gitu-gitu, lho. Penjelasanku bisa dipahami nggak?"
Hans tersenyum dan mengangguk-anggukan kepala. "Kalau cewek gimana? Menurut mereka yang cerita-cerita itu."
Ouch.
Aku menyadari satu hal. Obrolan kami di mana Hans meminta agar aku tidak menceritakan masalah pribadi kami di ranjang ke siapa pun, termasuk Mama. Hari ini, aku membahas cerita yang mungkin saja Hans akan berpikir kalau aku menjadi salah satu perempuan yang ikut bercerita itu. "By the way, Mas, aku nggak pernah cerita hubungan di kamar kita ke mana pun, sosmed atau orang langsung. Tapi aku suka baca kisah-kisah kayak gitu. You know, hal-hal semacam itu di sosmed nggak bisa dihindari. Adaaa aja lho yang bahas, bahkan ada grup kayak gitu-gitu. Mungkin karena sejatinya, cewek tuh emang seneng bercerita, meski nggak selalu dapet solusi, tapi beban yang dirasa itu berkurang. Itu menurutku pribadi, jadi aku pikir itu alasan mereka cerita."
Hans mengangguk. "Gimana sama kemungkinan resiko karena cerita ke orang banyak dan kita nggak tahu kita bisa percaya atau enggak?"
"Nah itu, itu masalah selanjutnya. Kadang memang kalau lagi penuh nih kepala, entah sama kesedihan atau bahkan saking bahagianya, udah nggak kepikiran sama kemungkinan akan ada resiko, Mas. Pokoknya mau cerita sekarang! Titik, gitu." Aku meringis. "Tapi aku mulai belajar kok, setelah kamu bilang buat nggak cerita soal masalah yang satu itu. Sebenernya emang ... nggak segala hal di hidup kita dunia harus tahu, kan, ya? Kita juga harus mikirin dampaknya yang mungkin memang baru kerasa bulan depan, tahun depan, atau bahkan buat keluarga dan anak kita nanti. Aku mulai nerima itu. Lagian, menurutku, kalaupun ada masalah yang mau aku ceritain, aib aku atau kamu misal, lebih baik ke profesional nggak sih, Mas? Ke mereka ahli dalam pernikahan misal, solusinya lebih jelas, terus privasi aman. Ya paling dijadiin studi kasus aja buat ke pasien selanjutnya dengan nama samaran."
"Aku bangga banget sama kamu, Reva."
"What? No!" Aku tertawa sambil mengibaskan tangan. "Okay kita balik lagi masalah cerita-cerita cewek tadi. Karena aku newbie, jadi aku mungkin belum bener analisanya. Tapi dari mereka tuh nggak mikirin tadi performaku gimana, yaaa. Soalnya, mungkin karena stigma yang ada di masyarakat kalau cowok tuh bisa seks sama siapa aja, nggak harus sama yang dicintai, sementara cewek sebaliknya. Jadi nggak perlu mastiin cowok ini bahagia nggak karena kalau mereka lagi mau ya mereka pasti bahagia setelahnya?" tanyaku tidak yakin karena merasa ini benar-benar di luar kemampuanku.
Hans mengulum senyum dan aku benar-benar tidak ada ide untuk memaknai respon itu sebagai apa.
"Nah kalau cewek kan mostly mau ngelakuin itu ya sama orang yang dia sayang nggak sih, Mas? Ya kecuali emang dia bekerja untuk itu atau dia ada kelainan seksual. Jadi mungkin itu kenapa bikin laki-laki kayak pengen memastikan; gue masih jadi yang lo mau, kan? Gue bisa bikin lo tadi puas kan? Lo nggak akting, kan, tadi?" Aku tertawa sendiri sambil geleng-geleng kepala. "Gitu nggak sih? Maaf banget analisaku kacau banget pasti."
"Jadi menurutmu, aku sama kamu ini asal-asalan karena aku butuh pelampiasan biologis itu?"
"Sorry, Mas?"
"Kamu mau ngelakuin ini sama kau, artinya kamu sayang aku kah?"
"Damn!" Aku mengubah posisi menjadi telentang dan menatap langit-langit sambil mencengkram kuat ujung selimut di atas dadaku. "Kamu jeli banget nyari celah ke sana. Emang bener kata orang, oversharing itu benefitnya cuma satu dan sesaat, yaitu perasaan lega yang semu. Sisanya adalah senjata makan tuan." Aku meliriknya dan kembali menertawakan diriku sendiri. "Kamu pasti siap-siap mau sombong dan ngolok-ngolok aku ya, Mas? Kena lo, Va! Kalah lo akhirnya sama pesonaku. Gitu, ya? Kalaupun kamu mau jahat setelah ini karena udah dapet senjatamu, kayaknya aku bakalan pasrah."
"Kenapa nggak fight back?"
"Nggak punya senjata," ucapku pelan sambil meringis.
"Aku kasih, mau?"
Menolehkan kepala lagi, aku mengernyitkan kening atas pertanyaannya. "Senjata apa?"
"Mungkin memang bener, ada laki-laki, banyak laki-laki yang bisa ngelakuin seks sama siapa pun. Bahkan nggak cuma sama perempuan, ada yang nggak peduli jenis kelaminnya apa." Mendengar kalimatnya yang diucapkan dengan ekspresi serius pula membuatku meringis tetapi aku siap mendengarkan lebih lanjut. "Fenomena aneh sekalipun, mungkin memang ada di belahan dunia lain, kita nggak tahu. Kita nggak ngalamin bukan berarti kenyataan itu nggak pernah ada. Sama halnya ... kalau mungkin di kalangan perempuan, kelihatannya mustahil ada cowok yang pemilih soal seks, yang nggak mau sembarangan ngelakuin cuma karena dia ngerasa butuh secara biologis, bukan berarti sama sekali nggak ada. Manusia diberi akal buat terus cari tahu solusi-solusi dalam kehidupan, salah satunya mengontrol gairah seksual karena sedang terhalang beberapa hal. Kehidupan laki-laki isinya nggak melulu tentang seks, Va, kami punya kehidupan, aktivitas produktif yang bikin pikiran nggak ke arah sana. Olahraga, bersosialisasi, makan coklat, banyak hal."
Aku menganga mendengarnya.
Bukan karena dia terlihat begitu menarik saat menjelaskan sesuatu yang serius, tetapi karena penjelasannya yang ... sangat informatif untukku. Tidak ada kalimat yang mampu aku keluarkan untuk meresponnya, selain anggukan-anggukan kepala karena aku sangat setuju dan kagum pada Hans.
"Kalau memang sama sekali belum ada testimoni sebagai cowok pemilih, yang maunya ngelakuin seks sama perempuan yang dia mau, kamu boleh jadi satu-satunya orang yang kasih cerita itu di antara mereka."
Aku refleks tertawa. "Nggak mau! Nanti ada yang kenal kita gimana? Ah bakalan awkward banget pasti. Apalagi kalau ternyata Bagas, Mbak Raras atau Mama tahu. Nggak bisa nggak bisa nggak bisa."
Hans tertawa pelan.
"Wait a minute." Aku menatap Hans horor. "Kamu tadi bilang ...." Aku menggelengkan kepala. "Artinya kita ... kamu ke aku bukan semata karena kebutuhan itu dan kebetulan cuma ada aku di sini? Karena kamu memang maunya aku?"
Dia tidak menjawab, tetapi aku tahu dia sedang menahan senyum.
"Bukannya dari awal yang tanpa paksaan di pernikahan ini memang aku ya, Re?"
"Ha!" Aku meringis, lalu memukul keningku sendiri. "Bener, kenapa aku jadi mikir seolah kamu cuma mau yang penting tuntas aja, yaaa. Tuh ini pasti karena kebanyakan baca yang nggak penting itu. Cerita-cerita orang yang bukannya bantu beresin masalah malah nambah pikiran. Aduh!" Aku menyentuh kepala sambil tertawa. "Bentar ... kamu tuh suka aku dari awal, Mas? Kok bisa, sih? Maksudku ... coba deh lihat aku."
"Udah lihat."
Aku menahan napas dan menatapnya mulai sebal. "Maksudnya, nggak ada yang aneh atau menonjol yang kelihatan menarik di awal ketemuan gitu lho. Sama kayak perempuan-perempuan lain. Kecuali mataku tiga misal, pasti dari awal kamu akan tertarik karena aku beda."
"Betul." Hans tertawa pelan, tatapannya masih fokus pada mataku. "Penjelasan pastinya aku belum nemu, tapi aku pernah baca lupa kapan persisnya dan dulu aku juga mikirnya halah topik apa ini. Tapi ternyata itu bener. Ada orang-orang yang fokus meneliti tentang hubungan manusia dan selalu dapet hal-hal baru karena emang manusia tuh nggak akan ada habis tingkahnya buat diteliti."
Aku mengangguk setuju dengan tawa.
"Intinya, sama kayak perasaan marah, seneng, tertarik, semua itu bisa aja terjadi dengan cepet, kan? Kamu lihat video orang menganiaya hewan, cuma perlu beberapa detik buat bikin kamu marah. Kamu lihat ada bunga cantik, perlu waktu lama nggak buat ngeluarin perasaan kagum dan penilaiaan indah ke bunga-bunga itu?"
"Ha! Bener." Aku mengangguk-angguk. "Bener, sih."
"Tapi nyebutnya langsung cinta memang mungkin agak ekstream. Lebih aman kalau nyebutnya tertarik. Sistem kerja otak sering kali instan, kan, Va, semua serba cepet. Kilatan mata. Waktu lihat kamu dulu gitu, she's gorgeous. Terus selama ngobrol juga aku punya waktu buat perhatiin kamu dan ... yaaa, begitu kurang lebih."
Aku bertepuk tangan sambil tak mampu menahan senyum lebar. "Aku patut bangga dong sama diriku sendiri karena ternyata aku semenarik itu?"
"Absolutely. Kamu memang patut bangga sama dirimu sendiri."
"Kayaknya aku beneran harus mulai atur konsumsi gula deh, Mas."
Dia terlihat kaget karena mungkin tidak siap dengan perpindahan topik obrolan kami. "Kenapa memangnya?" Tapi karena Hans yang baik hati, dia berusaha tetap ada di kursinya, tidak buru-buru berdiri pindah tempat atau bahkan kabur.
"Karena aku udah dapet asupan yang banyak dari kamu, jadi supaya nggak bermasalah kadar gulaku, aku harus imbangin yang lain."
Dia membuang muka sambil memejamkan mata.
Aku tertawa kencang. "Maaf, freak banget, ya?"
Kepalanya menggeleng. "Tadi aku lagi mikir keras harus siapin pengetahuan tentang gula di tubuh manusia, saking cepetnya kamu pindah tema."
Tawaku makin kencang dan aku tidak sadar aku mendekatkan diri dan memeluk tubuhnya erat. Obrolan setelah berhubungan intim akan menjadi salah satu momen yang paling aku tunggu bersama Hans. Selain menambah dosis bahagia, aku juga mendapatkan banyak perspektif dan informasi-informasi baru.
Menakjubkan.
Ternyata memang benar, Tuhan menghilangkan sesuatu dari hidupmu untuk digantikan dengan sesuatu lain yang mungkin saja lebih kamu butuhkan dan ... diam-diam juga kamu inginkan.
---
WOW!
tinggal dua bab lageeeee pemirsaaaaa! btw, janlup baca ekstra part-nya hanya di karyakarsa satu untuk semoaa, muach! ada satu folder isinya 20 bab dan aku sedang menimbang apakah akan ada satu folder lagi ekstra part atau udah cukup yaaa😔
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top