tiwifl || 47

"Mas, kamu bawa bunga lagi?"

Hans yang sedang mengganti bunga di vas dengan bunga-bunga baru yang dia bawa pulang menoleh, tersenyum, dan mengangguk. "Aku tadi beli mawar dan tulip, dijadiin satu kayaknya bagus juga." Dia menggeser tubuhnya, membuat vas bening denga isi gabungan mawar putih dan tulip biru itu terlihat jelas. Indah. "Do you like them?"

Aku mendongakkan kepala sambil tertawa, kemudian menatap heran sekaligus kagum pada Hans. "Siapa yang enggak, Mas?" Tanganku menunjuk bunga-bunga itu. "Look at them! Kayak harapan di tengah keputusasaan. Tetap berdiri tegak dengan keindahannya di tengah kehancuran dan kegelapan sekitar. Aku selalu suka bunga, Mas. Terima kasih banyak karena selalu, I mean, se-la-lu mastiin bunga-bunga di rumah ini fresh."

"Ketika aku bilang aku pengen kamu bahagia, aku beneran, Reva." Ouch, Hans Iravan, the man you are. "Kalau kamu ngerasa ini berat sebelah dan nggak adil buatku, kamu salah, aku dapet banyak juga dari ini. Aku juga bahagia. Aku juga dapet ketenangan."

"Come here," lirihku sambil merentangkan tangan dan memandangnya penuh haru. Setelah dia beneran ada di pelukanku—aku yang memintanya mendekat seolah aku yang akan memeluknya, nyatanya dia yang bisa membenamkan tubuhku dalam dekapannya—aku kembali tertawa saat mengatakan, "Kamu tahu nggak, Mas, aku jadi inget kata-kata Mama, ummm, Ibu maksudku." Aku meringis. "Maaf, masih suka refleks nyebutnya Mama."

"Kalau kamu nyamannya gitu, nggak pa-pa, Re, aku yakin Ibu juga suka aja dipanggil Mama."

"Jangan lah, aku nggak mau ubah-ubah apa yang udah kalian jalani dan sukai, aku mau menghargai dan ikut di sana."

"Okay, nanti lama-lama terbiasa. Ibu bilang apa?" tanyanya setelah melepas pelukan dan menatapku mulai serius. "Kalian ... baik-baik aja kah?"

Aku tertawa, menggelengkan kepala sembari mengelus lengannya lembut. "Ya baik, Mas, emangnya kamu berharap apa? Aku ribut sama Ibu? Ih amit-amit ya Allah aku nggak mau kayak gitu. Bahkan dulu awal-awal nikah dan aku nggak mau sama kamu aja, aku tuh nggak pernah doa buruk lho tentang keluargamu, apalagi waktu tahu mereka baik banget." Aku tersenyum sombong. "Kamu tuh beruntung karena aku bukan psikopat, Mas. dulu satu-satunya strategi kejam yang aku susun tuh cuma buat hancurin rumah tangga kita, bukan kamu atau keluargamu." Wait a minute, kenapa dia terlihat akan menertawakanku meski ditahan? "Kok ketawa? Kamu nggak percaya?"

"Bukan." Kepalanya menggeleng-geleng. Sekarang dia menggosok hidungnya. "Aku cuma ... agak heran dan coba paham sama sudut pandangmu, lucu."

"Lucu?"

"Kamu nggak pernah doain buruk keluargaku, apalagi kamu tahu keluargaku baik. Kamu cuma mau hancurin pernikahan kita, dulu, bukan aku dan keluargaku. Gitu, kan?"

Aku mengangguk ragu.

Hans tersenyum. "Padahal kalau rumah tangga kita hancur, aku dan keluargaku juga sama hancurnya, Re. Ibu sama Bapak, Mbak Raras, mereka bilang juga ke kamu betapa bersyukurnya mereka atas kehadiranmu di kehidupan kami."

Damn it!

Aku melupakan fakta itu.

Oh Rerey, betapa bodohnya aku!

Ya! Hans benar. Bagaimana bisa aku mengira selama ini aku sangatlah bijak dengan mengklaim bahwa aku tidak ingin menyakiti siapa pun selain ketidakberhasilan dari pernikahan kami. Padahal ... ya, seperti apa kata Hans, kalau pernikahan ini tidak berhasil, mereka semua akan hancur bersama. Mungkin itu kenapa, tidak pernah ada solusi yang berhasil aku temukan untuk menghancurkan pernikahan kami tanpa menyakiti mereka. Karena memang tidak ada. Satu-satunya jalan terbaik ternyata malah Tuhan membalikkan hatiku, dari menolak Hans mentah-mentah, menjadi menerimanya dengan suka rela. Saking suka relanya, bahkan aku tidak menyadari kapan perubahannya.

Kali ini aku benar-benar tak memiliki pembelaan, bahkan satu kata pun untuk merespon kalimat Hans tadi tidak ada yang keluar dari mulutku. Aku sudah membuka mulut, tetapi kemudian menutupnya kembali.

Sepertinya Hans paham kalau aku sedang membutuhkan pertolongan, karena dia menambahkan ucapannya lengkap dengan senyuman. "Kita bahas masa lalu, Va. Itu dulu, sekarang semuanya membaik, alhamdulillah."

"Ha!" Aku mendesah kencang, kemudian tersenyum lebar sambil mengangguk-anggukan kepala. Dia benar, yang kami bahas tad adalah apa yang sudah kami lewati, tapi rasa-rasanya aku masih sama bersalahnya. Aku berjalan dan membungkukkan tubuh untuk menghirup bunga-bunga segar di vas di meja kamar kami.

"Tadi kamu mau bilang inget kata-kata Ibu apa, Va?"

"Ohiya!" Aku berbalik badan. "Sebenernya bukan Ibu sih, lebih tepatnya waktu itu lagi ngobrol sama Ibu dan Bapak. Aku lagi main ke rumah mereka. Ternyata Bapak juga rajin banget beli bunga fresh karena Ibu suka, ya, Mas?"

"Betul. Dia feminin banget kayak kamu."

Aku tersenyum. "Aku aja dikasih ilmu soal kutek yang bisa buat shalat, Mas. Dikirimin juga biar samaan kayak Ibu. cantik-cantik juga warnanya, tapi belum aku pake sih, soalnya nggak bisa diilangin, kan, harus nunggu bareng tumbuhnya kuku. Lagian, aku udah mulai terbiasa kukunya nggak diwarnain dan ternyata cantik juga kok warna kuku kita gini."

"Betul, cantik."

"Kutek yang dibeliin Ibu?"

"Warna kukumu. Warna kutek Ibu juga cantik."

Aku tertawa. "Okay lupain, ini sampai malem masih nggak kelar-kelar mau cerita kata-kata Ibu karena kedistraksi ke mana-mana terus ya Allah." Melihat sudut bibirnya terangkat, aku memutar bola mata tapi masih tetap tertawa. "Intinya, Ibu bilang kalau Bapak mau memastikan hal-hal kecil yang bisa bikin Ibu seneng tuh nanti bersaksi di depan Allah, kalau Bapak berusaha banget bertanggung jawab atas ibu, membahagiakan Ibu di dunia, dan semampunya membimbing itu supaya bahagia dunia-akhirat. Aduh!" Aku menyeka mataku karena. "Aku suka kepikiran, aku pernah berbuat baik apa ya sampe Allah kasih hadiah kamu dan keluargamu yang luar biasa ini. Nggak heran kamu dan Mbak Raras bisa sebaik ini, lembut, hidup kayak nggak pernah punya rasa benci atau dendam di hati, karena pusatnya aja sebaik itu."

"Terima kasih banyak, Re." Hans menggigit ujung kanan bibir bawahnya. "Aku ... nggak tahu harus respon gimana, aku belum pernah denger pujian semenyentuh dan selengkap ini tentang keluargaku."

"What? Belum pernah ada yang muji keluargamu? Kok bisa?"

Hans tertawa. "Tapi kamu juga harus bisa muji kamu dan keluargamu, Reva. Kamu harus bisa lihat Mamamu adalah sosok yang hebat, membesarkan kamu di usia mudanya, padahal mungkin bisa aja dulu dia milih jalan lain. Lihat usahanya sembuh dari pengalaman pahitnya. Menemukan dan ditemukan Papa Amar. Berhasil didik kamu buat jadi perempuan yang bukan cuma cantik, tapi lembut, sopan, jago merawat apa yang dia suka dan sayang, passionate sama apa yang dia jalani, termasuk waktu cari tahu aku gay atau nggak."

"Stop there!" Aku berkacak pinggang sambil pura-pura marah dengan mendelikkan mata.

"Anyway, kalau ternyata dulu kamu nemu fakta aku gay, apa yang mau kamu lakuin, Va?"

"Honestly ... I didn't know, I don't know." Aku mengangkat tangan menyerah. "Aku ampun banget jangan bahas itu lagi, please? Aku malu buaanget tahu, Mas! Mana dulu aku tuh udah kayak mau riset penemuan obat kanker tahu nggak seriusnya." Aku tertawa kencang, benar-benar tindakan memalukan. "Aku siapin makanan, minuman, semua gadget yang aku punya, berjam-jam di atas kasur dengan berbagai posisi—" Aku meringis. "Kata-kata terakhir kayak dejavu ya. Aduh udah deh lupain pokoknya."

Hans tertawa, tetapi kemudian ekspresinya berubah serius. "Ngomong-ngomong soal berbagai posisi, Va, jadwal menstruasimu udah berakhir kan ya seharusnya?"

Aku tergelak. Ujung-ujungnya ke sini! Melirik ke jendela, aku menatap Hans lagi berharap dia juga menyadari apa yang aku pikirkan. "Udah mau maghrib, Mas, mau secepat kilat apa kita nanti?"

"Kamu maunya sekarang banget kah?"

"Hah? Ya enggak lah!"

"Aku juga enggak, buru-buru dan panik nggak enak, nanti aja." Mendengar itu aku melongo. Hans mulai melepas kancing kemejanya. "Aku bersih-bersih badan dulu, ya, Va."

"Ha! Ya, okay!" Dengan situasi awkward, aku menepuk-nepuk paha, berbalik badan dan melihat-lihat seisi kamar. "Oh, Mas! Aku bikinin kamu minuman anget di bawah, ya, nanti kamu nyusul."

"Nanti aja nggak pa-pa, Re, selesai aku pulang dari masjid."

"Oiya, mau shalat ke masjid ya?"

Kepalanya mengangguk.

"Okay!" Aku tersenyum, kemudian duduk di kasur dan meraih handphone, mencari aplikasi acak, apa saja untuk distraksi.



---

TIGA BAB LAGEEEEE! btw, di karyakarsa ekstra babnya udah selesai yaa, seperti yang lain, aku paketin isinya 20 ekstra bab. 

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top