tiwifl || 44

Salah satu kalimat Mama masih terus terngiang-ngiang di kepala, terlebih ketika aku sedang bersama Hans. Melihat atau menyentuh Hans, tiba-tiba aku teringat akan kalimat Mama dan merasa kebingungan sendiri.

"Tapi kamu nggak perlu maksa dirimu, Rey, ngelakuin hubungan intim itu harus dari kemauan diri sendiri. Kamu diskusi lagi sama Hans, tapi Mama yakin dan percaya dia bukan laki-laki yang suka maksa."

Jujur saja, saat mendengar kalimat itu di tengah perbincangan serius kami tentang kegilaan Danar, lalu tentang hubunganku dengan Danar, aku merasa tercengang. Sama sekali tidak menyangka akan sampai pada pembahasan itu dengan terang-terangan. Aku dan Mama memang dekat, dekat sekali, kami membahas apa pun, tentang hubunganku bersama lelaki dulu, patah hatiku, kasmaranku, menstruasiku, semuanya. Tapi aku tidak kepikiran akan sampai pada perihal hubungan badan suami-istri, maksudnya, aku dan Hans.

Dari semua ceritaku yang membahas kemajuan hubunganku dengan Hans, Mama masih menangkap bahwa aku sedang berusaha, jadi masih tidak ada sentuhan fisik di sana. Itu kenapa kalimat hiburannya keluar, yang bukannya menghibur, justru membuatku terus kepikiran.

Namun, aku sendiri tidak tahu harus menjelaskan dengan cara apa. Tidak bisa membuka mulut dan mengelurkan suara. Lagipula, apa yang harus aku katakan pada Mama?

Oh, Ma, aku dan Hans udah berkali-kali lakuin itu!

Oh, Ma, aku sama sekali nggak dipaksa atau terpaksa, aku menikmatinya!

Bener, Ma, Hans sama sekali bukan laki-laki yang suka maksa!

Tidak ada satu pun yang masuk akal untuk mulutku katakan pada Mama. Jadi, untuk kali pertama, ternyata memang ada sesuatu yang harus aku sembunyikan dari Mama bukan dengan alasan karena kami bertengkar. Tetapi ... aku menyebutnya ini urusan pribadi yang memang harus menjadi konsumsiku dan Hans saja.

"Reva," panggilan lembut Hans membuatku yang tadinya akan berjalan menuju tangga terhenti, menatapnya. "Boleh duduk di sini dulu?" pintanya sambil menepuk tempat di sebelahnya.

Aku tertawa sambil menggeleng-gelengkan kepala. "Boleh dong! Kenapa nggak boleh?" Dia meminat aku duduk seolah meminta izin untuk melakukan sesuatu yang tidak mengenakkan. Sekarang kami sudah duduk di sofa bersebelahan seperti keinginannya. "Kenapa, Mas?"

Hans tidak langsung menjawabku, dia memperhatikanku—maksudku, menatap mataku beberapa detik sebelum akhirnya bibir tipisnya itu kembali terbuka. "Danar masih ganggu kamu kah?"

"Ah!" Aku berpikir keras, berusaha mengingat seminggu ini apa saja aktivitasku dan bagaimana perasaanku. Karena kalau Danar berulah, aku yakin aku pasti mengingat hari buruk itu. Termasuk ... terakhir yang aku ingat adalah momen aku harus memberi oksigen manual pada ikan-ikan Hans, lalu Danar mengirim makanan lewat jasa delivery. Lalu sampai aku cerita semuanya ke Mama saat Mama berkunjung ke sini, aku ... aku menggelengkan kepala pada Hans, tetapi masih tidak yakin dengan pasti. "Seingetku ... aman deh, Mas." Mataku seketika melebar mulai memahami ke mana arah pembicaraan Hans. "Jangan bilang sekarang dia pindah gangguin kamu di kantor?"

Aku malah mendapatkan tawa pelan dari Hans. Dia menggeleng-gelengkan kepala.

Melihatnya tertawa, aku jadi ikutan tertawa geli. "Aku kayak ngomongin hantu ya, Mas?"

"Iya," jawabnya masih dengan sisa-sisa senyuman di wajah. "Berarti dia beneran mau kooperatif."

"Kooperatif?" Gantian aku yang memulai tawa geli atas pemilihan kata-katanya. Kosa kata itu biasanya aku dengan atau baca dari berita-berita kasus hukum. Tapi mungkin karena Hans juga pengacara—meski bukan tentang kriminal, melainkan urusan rumah tangga manusia—jadi dia terbiasa menggunakan kata-kata itu dalam kesehariannya menemani masa-masa mediasi.

"Iya, kooperatif," ulangnya lagi. "Aku pikir, lihat dia yang seolah nggak ada takut atau hormal sama apa pun, dia juga bukan tipe yang menghormati huku."

"Hold on, hold on!" Aku mulai memasang wajah serius karena menyadari suasana ini tidak bisa untuk ditertawakan. "Mas, kamu ... lakuin kayak apa yang ada di kepalaku?"

Keningnya berkerut. "Aku nggak tahu apa yang ada di kepalamu, Re."

Aku tergelak, mengangguk sambil merutuki kebodohan diriku sendiri. Tentu saja dia tidak tahu apa yang ada di kepalaku. Bagaimana pula caranya dia bisa tahu, Rey? Dia bukan mind reader in any ways! Berdeham dua kali karena kami harus kembali serius—aku lebih tepatnya karena sejak tadi yang tidak serius dan cengengesan di sini adalah aku. "Kamu laporin Danar ke polisi, Mas?"

Tanpa ada keraguan, kepalanya mengangguk.

"Terus dia di penjara sekarang?"

"Oh enggak. Aku minta bantuan kenalan hukum buat kasih dia peringatan. Intinya dia nggak boleh lagi masuk ke area kepemilikan kita, ganggu kamu termasuk dengan kirim-kirim makanan dan bunga. Kalau sekali lagi dia ingkar, dia tahu konsekuensinya."

"Ha!" Aku meringis sambil garuk-garuk kepala.

Itu kenapa tadi dia menyebut kalau Danar kooperatif. Ya siapa yang tidak kooperatif kalau sudah diperingati pihak berwenang? Diam-diam menghanyutkan mungkin memang deskripsi yang cocok untuk Hans. Dia tidak mau mengotori tangan dan mulutnya dengan menghajar Danar baik fisik maupun kalimat, tetapi dia bergerak dengan cara lain.

"Reva?"

"Ya?"

"Kamu sedih kah aku laporin Danar—"

"Oh enggak! Hey!" Aku tertawa bingung. "Aku bukan sedih kamu laporin dia, aku bukah sedihin dia, ngapain, dia berhak dapet teguran itu. Aku cuma lagi ..." Aku mengernyitkan hidung kemudian tertawa pelan. "Memproses tindakanmu yang ... aku nggak nyangka tadinya, karena kamu keliatan baik-baik aja. Maksudku ... kamu nggak kelihatan keganggu karena aku nggak denger kamu bahas kelakuan Danar. Tapi ternyata emang kamu nggak berisik aja."

Sudut bibirnya terangkat membentuk senyum tipis. "Aku lihat kamu nggak nyaman banget sama kelakuannya Danar. Aku juga nggak bisa mastiin kamu aman selama di rumah sendiri, jadi aku pikir mungkin cara ini berhasil."

Aku mengangguk. "Semoga dia beneran berakal ya, Mas. Aku nyaris nggak kenal dia lagi. Oh by the way, ini kenapa kamu mampir ke rumah Mama dan tanya-tanya soal Danar, ya? Jadi buat ini?" Melihat keningnya berkerut, aku buru-buru menjelaskan. "Oh Mama yang cerita waktu itu. Sorry, kamu nggak bisa main rahasia sama Mama, aku pasti tahu, Mas."

Hans tertawa. "Aku nggak masalah, bukan rahasia juga kok, aku emang berniat kasih tahu kamu."

"Makasih banyak ya, Mas?"

Kepalanya mengangguk.

"Ohya!" Aku mengingat satu hal lagi. "Waktu Mama ke sini itu, sebenernya bukan cuma bahas soal kamu mampir dan nanyain tentang Danar, tapi bahas kita juga."

"Kita? Aku dan kamu?"

"Iyaa, kita, aku dan kamu." Aku meringis. "Dia kayaknya masih mikir kalau kita belum beneran jadi suami-istri deh, Mas. Mama masih ngira kalau aku nerima kamu sekarang mungkin karena kamu baik aja, nggak beneran kayak suami-istri." Aku tahu penjelasanku ini rumit karena ekspresinya terlihat sulit memahami kalimatku. Seharusnya kalau memang hobi oversharing, kamu juga asah kemampuanmu dalam menjelaskan sesuatu dong, Rey! Ck! "Mas, dia masih ngira kita belum berhubungan suami-istri."

Kepalanya miring sedikit, keningnya benar-benar berkerut. "Selama ini kamu juga cerita kalau kita nggak melakukan hubungan suami-istri?"

"Oh enggak! Bukan gitu!" Benar juga logikanya, apalagi setelah tadi aku bilang tidak ada rahasia antara aku dan Mama. Damn it! "Mas, Mama tuh sebagai perempuan paham kalau kita nggak suka atau cinta sama nih cowok, ya kita nggak mau disentuh diapa-apain. Mama paham hal-hal kayak gini." Setelah melihat kepalanya mengangguk ragu, aku melanjutkan. "Nah, dia kan tadinya mikir aku masih nggak mau sama pernikahan ini, jadi dia pasti mikirnya aku belum mau seks juga. Terus setelah aku jelasin kalau aku udah nerima pernikahan kita, aku ceritain hubungan kita membaik dan kebaikan-kebaikanmu, tapi dia nutup pembahasan itu dengan bilang kalau aku nggak perlu maksa diri, Mama yakin kamu bukan laki-laki yang akan maksa untuk ke hal sana." Aku mengembuskan napas lelah melihat Hans menggaruk-garuk lehernya. Dia jelas kebingungan untuk merespon. "Aku nggak tahu harus jawab apa, jadi waktu itu untuk kali pertama ada rahasia antara aku dan Mama. kayaknya aku harusnya tadi nggak usah cerita ini deh, Mas."

Dia meringis. "Sorry, Va." Tangannya meraih tanganku dan ditepuk-tepuk pelan. "Jujur aku bingung harus respon gimana. Karena ... aku nggak kepikiran harus ngobrolin soal urusan pribadi itu ke orang tua kita."

"Iya bener!" Aku jadi ikutan bingung sendiri. "Bener, jadi emang harusnya Mama nggak usah tahu, kan, Mas?"

"Iya, memang sewajarnya nggak tahu, Va."

"Berarti kalau cerita hal-hal kayak gitu nggak wajar, ya?"

Sekarang dia tertawa sambil memijat keningnya. Tidak, tidak, tidak. Aku tidak suka momen ini karena aku terlihat seolah aku tidak tahu apa-apa. "Kamu kalau pacaran cerita semuanya sama Mama?"

"Iya dong! Aku aja nangis-nangis waktu pertama dicium bibir karena takut hamil, dulu." Aku tertawa kencang mengingat kegilaan dulu. "Mama ngajarin aku banyak hal, sampai hal-hal detail, termasuk batasan-batasan wajar, Mas. Tapi waktu bahas hubungan suami-istri kemarin itu, aku tiba-tiba bingung dan malu, makanya aku nggak jawab Mama."

Dia memasang senyum, lalu jari-jarinya mengelus pipiku dan berkata lembut. "Aku suka kamu cerita ke aku apa pun, Va. Aku yakin Mama juga sama. Tapi karena ada beberapa hal yang beda setelah kita menikah, aku boleh minta tolong untuk urusan pribadi kita, kamu nggak cerita itu ke mana-mana, termasuk Mama?"

"Sure!" Aku tersenyum lebar, mengangguk-anggukkan kepala.

Mendadak merasa malu karena kebodohan diri sendiri ditambah tatapan Hans sekarang. Shiiiit, ternyata itu belum ada apa-apanya dibanding gerakan ibu jarinya yang tiba-tiba sudah berada di bibir bawahku, mengelus di sana, kemudian dia memberiku ciuman dan diakhiri dengan bisikan, "Aku penasaran, apa ciumanku juga bisa bikin kamu mikir kalau kamu akan hamil setelahnya?"

Damn!



---

Hans?! dah mandi beyum?🤭

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top