tiwifl || 43

"Rey! Rerey!"

"Ya, Ma! Bentar dulu, ini dikit lagi selesai, aku tambahin garam sedikit nih, hambar banget tadi." Selesai mengaduk gulai supaya garam yang aku masukkan tadi merata, aku mematikan kompor dan berbalik badan menatap Mama. "Kenapa, Ma?"

"Udah selesai?"

"Udah nih. Tinggal nunggu lontongnya mateng tuh. Kenapa?"

Mama mengibaskan tangan sambil terkikik sendiri, aku menatapnya kebingungan. "Lucu ya, Rey. Mama sendiri yang udah bertahun-tahun masak nggak pernah kebayang tuh bakalan lihat kamu masakin lontong buat suamimu. Dari sekian banyaknya makanan, kenapa dia suka banget lontong ya, Rey? Maksudnya ... kan itu sama aja kayak nasi, kenapa harus lontong?"

Aku tertawa. "Mungkin karena beda. Kalau nasi ya wujudnya gitu aja, prosesnya juga sama. Kalau lontong, kan, prosesnya beda, kadang hasilnya juga beda. Tapi bener sih, Ma, aku juga masih heran bisa ada di momen ini, sekarang aku bahkan kadang-kadang sarapan lontong, Ma."

Kami terbahak-bahak.

Lalu setelah semuanya beres, termasuk membersihkan dan merapikan dapur setelah pertempuran lumayan panjang, sekarang aku dan Mama sedang menikmati dimsum buatan Mama di sini tadi dengan es jeruk nipis. Kami duduk di kursi di taman kecil di belakang—memang hanya ada dua kursi dan meja bulat ukuran kecil.

"Mama sebenernya ada yang mau diomongin, Rey, selain memang kangen sama kamu, kangen momen-momen masak dan makan kita berdua gini."

Aku menelan minuman segar sebelum menjawabnya. "Apa tuh?"

"Soal Hans."

Meski seharusnya tenggorokanku masih basah karena minuman tadi, tetapi aku merasa perlu menelan ludah lagi demi bisa menenangkan diri karena pikiranku mulai ke mana-mana. Segala sesuatu yang dimulai dengan tidak baik—diriku yang tidak baik—mungkin memang akan selalu bikin was-was ketika dibahas meski kondisiku dan Hans sudah baik-baik saja. Dengan bangga, aku bisa saja mengatakan hubungan kami sudah normal seperti pasangan suami-istri, mulai dari obrolan, aktivitas baik sehari-hari maupun dalam konteks seksual.

Wait a minute, aku tidak terlihat berlebihan bahagianya dalam mendeskripsikan itu semua, kan?

Aku berdeham beberapa kali. "Kenapa sama Hans, Ma?"

"Mama nggak tahu, yaaa, mungkin kalian udah ngobrolin ini tapi Mama cuma pengen mastiin aja ke kamu, anak Mama." Pembukaan yang terdengar tidak mudah, seolah obrolan kami selanjutnya adalah hal yang menyeramkan. "Hans ... ng, beberapa hari lalu, mampir ke rumah, masih pake pakaian kerja gitu. Mama kira kalian berantem, kan, tapi katanya enggak. Ada meeting di daerah deket rumah, jadi dia sekalian mampir."

"Okay ..."

Mama tertawa geli. "Jangan tegang banget dong, Rey."

Aku memutar bola mata. "Mama yang bikin suasananya tegang."

"Maaf, maaf, deh. Jadi setelah ngobrol, ngeteh, Mama suruh makan juga, terus dia tiba-tiba nanyain soal ... Danar." Damn it! "Kamu pernah bahas soal Danar sama dia nggak? Soalnya Mama sama Papa nggak pernah detail ceritain Danar, dulu kami cuma bilang kamu punya trauma yang besar sama laki-laki, jadi kami harap dia bisa memperlakukan kamu dengan baik. Oh dan nama, cuma kasih tahu namanya Danar. Dia nggak nanya banyak juga karena Mama bilang Mama nggak punya kapasitas buat ngomongin itu lagi, terus waktu dia mampir itu dan nanyain Danar tinggal di mana, keluarganya Danar seperti apa, dulu waktu kalian pacaran Danar sikapnya gimana."

Aku meringis. "Aku cerita ke Hans sih, Ma. Hans beneran tahu perkembangan perasaanku waktu Danar balik, dari yang kelimpungan bingung nentuin perasaan sampai akhirnya beneran tahu dan yakin sama apa yang aku mau—bentar, Papa dan Hans juga pernah ketemu Danar dan hampir berantem, Papa nggak bilang?"

Mata Mama melotot. "Serius? Kok Papamu nggak bilang sih sama Mama? Yang berantem siapa? Si Danar ini didiemin lama-lama kok kayak orang sakit jiwa, ya."

"Mama harus tahu dia juga dateng ke rumah."

"Rumah ini?!"

"Yep."

Mama mengangkat kedua tangannya dan menyentuh kepalanya dengan napas tersengal. Wajahnya terlihat sangat marah. "Kenapa kamu nggak bilang, Rey?"

Aku menggeleng. "Nggak tahu, nggak kepikiran."

"Tapi Hans ada?"

"Ada, dia yang nyuruh Danar pergi."

"Tanpa berantem? Maksudnya, berantem fisik?"

Aku tertawa dan kembali mengangguk.

"Hebat ya, penguasaan emosinya Hans tuh," katanya sambil geleng-geleng kepala.

"Aku nggak tahu deh, Ma, maunya Danar apa. Dia juga suka kirimin aku makanan atau bunga dan udah terang-terangan ada notes nama dia. Bahkan di weekend yang dia tahu orang libur kerja, Hans pasti di rumah. Dia nggak cuma mau aku sakit di masa lalu, tapi kayaknya nggak rela lihat aku sekarang bahagia, sementara rumah tangganya hancur."

"Astagfirullah, segila ituuuu?! Dan kalian nggak ada yang ngomong sama Mama dan Papa? Rey, kita harus laporin polisi, ini udah berlebihan. Pertama, dia ganggu keamanan dan kenyamanan kamu, kedua dia kayak psikopat, ketiga dia ganggu rumah tangga orang. Nggak nyangka Mama orang semanis dia dulu bisa kayak gini, ya Allah."

"Ma ... tenang." Aku memberinya senyuman, berusaha menularkan ketenangan meski aku juga sebenarnya tidak tahu bagaimana cara membuat Danar berhenti. "Aku nggak pa-pa, aku dan Hans aman. Nanti dia akan capek sendiri kok."

"Kalau nggak capek dan malah makin gila?"

"Nanti aku laporin polisi. Anyway, Hans nanya tentang Danar ekspresinya marah nggak, Ma?"

Mama tertawa. "Enggak, tenang aja tuh, kayak bahas orang biasa. Tapi nggak tahu ya dalam hatinya gimana, mungkin nggak enak sama Mama dan Papa makanya dia bisa setenang itu, atau emang dia terbiasa ngadepin macem-macem orang juga, kan, di kerjaannya."

"Iya, sih, bener."

"Rey."

"Hm?"

"Kamu sama Hans beneran baik-baik aja?"

"Baik, kok, Maaa. Sejauh ini, Danar nggak—"

"Bukan soal Danar. Kalian berdua, kamu dan Hans. Mama kepikiran tiap malam, takut kamu nggak bahagia seumur hidup dan pernikahanmu isinya penyesalan." Mama meringis. "Mama takut cinta datang karena terbiasa nggak berlaku ke kamu. Gimana kalau sampai akhir nanti, kamu masih nggak bisa nerima Hans? Hidup dalam penolakan di batin."

"Maaa ...." Aku menggelengkan kepala. Bingung harus mengatakan apa padanya tentang kondisi aku dan Hans. Tidak mungkin aku menceritakan sampai ke detail, tapi merangkumnya secara general pun lumayan sulit. "Di awal emang rasanya gitu, aku pengen banget hubunganku sama Hans rusak, kayak yang waktu kita berantemin." Aku tertawa miris. "Tapi Mama tahu nggak? Laki-laki pilihan Mama dan Papa Amar ini ... nggak pernah capek buat nunjukin kalau hidup sama dia itu nggak buruk. Dia bukan usaha berubah jadi orang lain demi bisa bikin aku mau sama dia, tapi dia juga nggak yang egois seolah aku harus nerima dia apa adanya. Gimana ya jelasinnya ... dia tuh mau masuk ke duniaku tanpa meninggalkan dunianya, dia kelihatan punya bekal yang cukup, tahu rute jalan buat berangkat dan pulang. Kalau analogi ini bisa Mama pahami." Aku meringis sambil menggaruk kepala.

Mama tertawa dan mengangguk-anggukan kepala.

"Dia bukan orang yang usaha nyenengin aku dengan kasih kalimat-kalimat yang aku mau, nggak jarang kok dia ngomong sesuatu yang jleb tapi emang ternyata itu yang aku butuh buat buka mataku. Diamnya dia bahkan kadang jawaban paling aku butuhin. Dia menghargai aku, Ma. Hans tuh kalau dipanggil, bukan cuma kepala yang nengok, tapi semua badannya." Aku tertawa mengingat kebiasaan itu. "Bahkan kalau nunjuk sesuatu ke arahku, bukan kayak gini." Aku mempraktikkan satu jari ke arah Mama. "Tapi dia buka telapak tangannya. Dan aku rasa dia nggak sadar hal-hal kecil itu aku perhatiin. Dia nggak banyak ngomong tapi dia nggak lupa bilang makasih setiap aku bikinin sesuatu. Perasaanku ke Hans mungkin belum atau beda jenisnya sama perasaanku ke Danar dulu. Nggak menggebu-gebu, nggak ada perut melilit geli. Tapi aku senyum lebih banyak, aku ngerasa jantungku tenang, aman dan nyaman. Aku nggak tahu akan ada definisi baru buat perasaan jenis ini, tapi yang pasti aku dan Hans sama-sama nggak masalah, nerima perasaan ini satu sama lain. Jadi, Mama dan Papa jangan khawatir lagi, ya? Lho kok nangis?"

Mama tertawa sambil mengelap pipinya. "Duh Mama terharu banget, nggak tahu harus gimana, tapi Mama beneran bersyukur, kamu udah di fase ini. Kita sama, Rey. Apa yang kamu rasa ke Danar juga Mama rasain ke Papamu, Papa Aji. Rasanya kayak gila waktu tahu itu berakhir ya, Rey?"

Aku mengangguk.

"Kayak ... nggak akan ada lagi cinta yang sama. Tapi Mama akhirnya ketemu Papa Amar, dan nggak pernah ngerasa kekurangan, terutama kasih sayang. Nggak pernah bertanya-tanya Mama kurang apa, dia sayang Mama enggak ya, dia bosan nggak ya. Mama mau hidup sama dia sampai akhir dan semoga perasaanmu ke Hans juga gitu, ya, Nak, ya?"

"Aamiin." Aku mengelap mataku yang terasa sudah berair. "Aku bersyukur banget karena aku nggak terlambat, Ma. Nggak kebayang kalau penerimaanku ini dateng di saat Hans udah capek dan menyerah. Mungkin aku ...." Aku memilih tidak melanjutkannya lagi, tidak ingin membayangkan bagaimana rasanya.

"Udah, yang penting kita syukuri apa yang ada di depan mata, lakukan yang terbaik yang kita mampu." Senyumannya begitu menenangkan. Rasanya sangat berdosa setiap aku mengingat betapa jahatnya aku pada Mama. "Cinta yang menggebu mungkin memang menarik, ya, Rey, definisi surga dunia. Tapi dicintai secara hormat dengan kemampuannya yang mahir kapan buka-tutup nafsu ... itu juga istimewa."

"What?" Aku tertawa geli mendengar kalimat unik Mama.

"Kan orang bilang cinta sama nafsu itu nggak bisa dipisahin, nggak ada orang yang hidup bareng orang yang dicintai yang tahan nggak melakukan hubungan seks. Tapi bayangin kalau ada orang yang bisa ngimbangin semuanya, kapan harus menghargai kamu, kasih ketenangan yang nggak mengarah ke sana terus, dan kapan mengeluarkan napsunya."

Tawaku makin pecah, tetapi sepertinya aku memahami kalimat Mama.

Hans bisa terlihat begitu tenang ketika kami sedang di meja makan, menikmati makanan kami, dia bisa menjadi teman diskusi yang menarik, dia bisa tak mengeluarkan kalimat interupsi apa pun ketika harus menjadi pendengar yang baik, dan dia bisa begitu luar biasa untuk urusan yang satu itu; ranjang.

Mungkin keseimbangan itu yang Mama maksud?



---

haiiii, detik-detik menuju ending, yang mau ngebut baca sampe ending dan ekstra part, bsia ke Karya Karsa. 

ada bab baru Mas Gale dan Kakak Engga jugaa, muach!

ciee presiden baruu hari iniiiii.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top