tiwifl || 42

Tanganku rasanya seperti mati rasa dan aku memandangi nanar pada beberapa ikan yang sudah mengapung karena telatnya pengetahuanku akan hal ini.

Well, aku tidak tahu harus mulai menjelaskan dari mana.

Semenjak bertemu Hans, menikah dengannya, hidup berdua dengannya, aku merasa benar-benar menerima banyak hal yang tak pernah aku bayangkan sebelumnya. Siapa yang menyangka kalau akan ada hari di mana aku harus mengaduk-aduk air kolam ini hanya agar ikan-ikannya tetap bertahan selama listrik mati?

Ya, aku baru saja tahu hal ini—satu jam yang lalu sepertinya—saat sedang bermain media sosial dan sebuah video tentang aktivitasnya yang membuat gelembung oksigen manual alias dengan tangannya dikarenakan listrik padam. Awalnya aku bingung, kenapa hal itu diperlukan, bukankah ikan bisa bernapas sendiri di dalam air? Kita tidak melakukan itu pada ikan-ikan di laut. Tapi ternyata pengetahuanku memang sempit untuk hal-hal ini. Ikan-ikan di laut tak memerlukan bantuan karena mereka hidup di alamnya, laut yang begitu luas dan oksigen yang tentu saja berlimpah.

Sementara manusia senang sekali melakukan hal-hal demi membuat kehidupannya berwarna dan bahagia, salah satunya memelihara ikan di kolam buatan. Luas kolam tak bisa dibandingkan dengan lautan lepas. Untuk itu, demi bisa bertahan hidup, para ikan ini juga perlu 'bantuan'. Aku mengetahuinya setelah membaca banyaknya komen dan seketika terbangun dari sofa dengan panik. Bagaimana tidak, niatku bermain media sosial demi membunuh waktu karena tak banyak yang bisa aku lakukan di rumah. Informasi listrik padam di hari sebelumnya pun tak membuatku mempersiapkan banyak hal selain rasa syukur karena aku masih memiliki kuota internet.

Jadi berbekal video hebat dan isi komen tadi, di sinilah aku, menyalakan musik dari handphone dengan harapan bisa membuatku sedikit lebih bahagia, meski aku sering kali tidak fokus dengan lagu yang sedang berputar. Tanganku pegal bukan main, aku haus, aku tiba-tiba merasa lapar, dan aku merutuki bagaimana bisa manusia ketergantungan dengan listrik. Kalau mengingat dari surat edaran, masih ada sekitar satu dua jam lagi, aku tidak yakin masih bisa bertahan sampai akhir.

Hans?

Mungkin kamu bertanya-tanya di mana Hans? Bagaimana kontribusinya untuk hari ini?

Aku meringis mengingat betapa beberapa jam lalu aku merasa seperti orang paling bahagia di dunia. Aku kemarin sudah membaca surat edaran berisi informasi pemadaman listrik tersebut. Dengan tenang dan brilian—menurutku—, aku sudah siap memberitahu Hans. Namun, aku mungkin sedang begitu terlena dengan hubungan kami yang rasa-rasanya seperti masa-masa indah PDKT. Yaaa, walaupun apa yang kami lakukan lebih dari orang-orang PDKT.

Rencanaku buyar, bahkan surat edaran itu sudah tak ada di kepalaku lagi. Aku mendadak lupa semuanya, terbuai dengan indahnya kehidupan masa kini. Hans masih tidak tahu tentang pemadaman listrik di sini dan aku terlalu banyak pertimbangan untuk memberitahunya. Pertama, hubungan kami baru saja membaik dan aku tidak mau dia merasa aku tidak bersedia terlibat untuk hal-hal yang dia suka—para ikan ini. Yang kedua, tadi pagi aku bisa merasakan dan melihat dia sedikit buru-buru dan panik dengan bawaan seabrek dan mengatakan dia akan ada sidang hari ini.

Bahkan dia tidak meminum kopi di rumah, dia tidak sarapan di rumah, dan tidak bisa menungguku untuk membuatkannya bekal. Kalimatnya adalah, "Timku tadi bilang udah pesenin kopi buat semua dan aku sarapan dan makan di sana aja, Re. Kamu istirahat, ya." Hans yang baik hati mungkin merasa tidak enak, itu kenapa ketika sudah meletakkan barang-barangnya di dalam mobil, dia ke berjalan ke arahku lagi dan memelukku.

Jadi tolong, sekarang bantu aku, apakah menurutku, dengan momen tadi pagi seindah itu, sekarang aku harus meneleponnya dan mengatakan beberapa ikannya mati karena telat diberi napas buatan? Lalu memintanya untuk menggantikanku karena tanganku nyaris patah karena lelah? Bahkan ketika kemakan tren dalgona coffee dulu, aku mengaduk manual dan rasanya ternyata tidak seberat ini.

Benar kata orang, menikah tak pernah mudah.

Masalah pernikahan bukan hanya tentang perselingkuhan, ekonomi dan hubungan menantu-mertua. Kadang timbul dari hal-hal kecil internal. Dari hobi yang berbeda. Dari kesalahpahaman dalam memahami sikap dan kata-kata.

Tubuhku berjingat, aku nyaris saja menjatuhkan serokan sampah—aku tidak yakin benar menyebutkan namanya—kolam yang sedang aku gunakan untuk membuat gelembung oksigen ini. Tangan kiriku meraih handphone dan mataku membulat melihat nama Hans sebagai penelepon. Dengan semua rencana dan apa yang aku jalani satu jam terakhir ini, kira-kira apa yang harus aku jelaskan pada Hans? Apakah dia siap menerima berita duka detik ini juga? Bagaimana kalau sidangnya tidak berjalan lancar. Bisa saja pasangan yang akan bercerai itu bermasalah dan ribut di ruang persidangan. Atau klien Hans bersikap menyebalkan.

Ha!

Bakatku dalam melebih-lebihkan sesuatu sekarang benar-benar berkembang dengan baik. Lama-lama aku akan juara dunia dalam perlombaan overthinking.

Aku berdeham sebelum mengangkat telepon itu. "Hai, Mas! Gimana sidangmu?"

"Baik, berjalan dengan lancar. Thanks, Va. Kamu lagi ngapain?"

"Ha!" Aku membuat tawa yang tak perlu sambil menatap gelembung-gelembung yang berhasil aku ciptakan dengan tangan kanan. "Biasalah, kegiatanku kan gitu-gitu aja, Mas." Masih dengan tawa aneh. "Bikin sarapan, coffee, terus aku tadi bersih-bersih kamar dan ganti sprei dan selimut yang waktu itu aku tanya kamu itu lho! Bagus yang pink atau biru. Terus anehnya kamu bilang bagusan pink, padahal tebakanku kamu pasti cari warna aman buat cowok."

Aku merasa dia tersenyum di sana.

Entah dia memang memandang warna pink untuk sprei itu bagus atau dia tahu aku memang mau warna itu. Hans tidak berusaha menjelaskan apa-apa, jadi aku juga memilih untuk tidak menerka-nerka.

"Pink bagus, kelihatan manis dan cerah kamarnya," komentarnya membuatku tersenyum senang.

"Iya, kaaan? Pink itu emang warna paling manis. Kayak ... kamu tuh nggak akan pernah salah sama warna pink. Pink tuh kalau manusianya tuh kayak orang yang nggak akan pernah bisa kamu benci. Karena dia baik, lembut, sopan, gitu-gitu."

"Betul. Setuju. Sebentar, Va," ucapnya pelan. "Di situ aja. Yang mana? Oh itu tuh, di amplop cokelat nomor dua, Iya betul yang itu. Thanks, ya. Va?"

"Ya, Mas?"

"Udah," katanya.

"Apanya?"

"Ngobrol sama orangnya." Oh! "Aku boleh video call kah?"

SHIT!

Tentu boleh. Aku suka melihat wajahnya. Aku suka melihatnya mengenakan pakaian formal kerja. Masalahnya, kondisiku sekarang sedang dalam misi khusus tersembunyi. Kalau kami video call di sini, dia akan melihat aku sedang di halaman terik matahari dan berharap kulitku tidak gosong atau belang. Lalu dia akan mulai bertanya apa yang terjadi, aku akan menceritakan tragedi ikannya hari ini, selanjutnya ... nah itu dia, aku tidak tahu selanjutnya akan bagaimana.

Lebih tepatnya, tidak siap.

"Ummm, Mas, aku lagi ... di dapur, mau bikin cemilan. Gimana kalau dua jam lagi aku telepon? Video call maksudku." Dua jam lagi dengan harapan listrik sudah kembali menyala.

"Oh sorry, sorry. Nggak pa-pa, Va. Nanti kita bisa ketemu di rumah. Kamu mau bikin makanan apa?"

"Kayaknya sih banana cake, sayang pisangnya."

"Oh pisangnya masih ada, ya? Tadi pagi aku lihat tinggal satu dan aku makan. Aku pikir udah habis."

Ha! Aku tertawa mengerikan. "Masih, Mas, kamu nggak lihat kayaknya."

"Okay. Yaudah kalau gitu, kamu lanjut bikin kuenya. Sampai ketemu nanti, ya?"

"Okay, Mas!"

Waktu itu aku sudah berjanji pada Hans aku sebagai ibu dari anak-anak kami—ikan-ikan ini—akan mengurusnya saat Hans tidak ada di rumah. Jadi, sepertinya, apa yang aku lakukan sekarang termasuk mengurus anak-anak kami ini. Rela berbohong dan berkorban tangan agar mereka tetap hidup, walaupun sulit mempertahankan semuanya, karena aku tidak tahu ilmu parenting ikan, demi Tuhan!

"Permisi, Kak!"

"Eh, hai!" Aku tersenyum lebar. "Pak, masuk aja motornya, maaf saya nggak bisa ninggalin ini."

"Ada makanan, Kak."

"Atas nama siapa, ya, Pak?"

"Buat Kak Rerey katanya."

"Ohiya itu saya." Senyumku semringah. Hans benar-benar di luar tebakan, kadang aku merasa dia sama sekali bukan orang romantis, tetapi apa yang dia lakukan mematahkan hal itu. Tapi saat aku mengira dia juga orang romantis, terkadang dia begitu kaku. "Tolong taruh sini, Pak. Makasih, yaa."

"Sini, ya, Kak. Mati lampu ya, Kak?" Oh dia juga tahu ilmu ini!

Aku meringis. "Iya nih, katanya harus begini biar mereka tetep hidup."

"Kakaknya sendirian?"

"Iya, suami saya lagi kerja."

"Mau saya bantuin gantian, Kak?"

"Bapak serius?"

"Iya nggak pa-pa."

"Ya Allah, alhamdulillah! Pak, tangan saya mau patah, dan saya juga mau makan. Nanti saya kasih tip ya, Pak, tolong gantiin selama saya istirahat dan makan sebentar."

"Iya, Kak, santai."

Aku meregangkan badan setelah berhasil duduk di sebelah kolam. Memijat-mijat tangan kananku yang benar-benar terasa pegal bukan main. Semua perasaan lelah itu berkurang saat aku memandangi makanan di depanku. Aku membuka cable ties dan ... seketika terdiam. Mungkinkah ini hanya kebetulan? Bebek kaleyo adalah senjata terakhir makanan yang akan aku pesan ketika aku tidak tahu mau makan apa. Yang tahu hal ini adalah Danar. Lalu ketika semua berakhir, sejak saat itu aku tidak pernah lagi memesan makanan ini.

Mungkin itu kenapa orang bilang, jangan pernah meletakkan seseorang ke dalam lagu favorit, makanan, tempat, atau parfum.

"Pak?"

"Ya, Kak?"

"Boleh tahu nama pemesannya siapa tadi?"

"Ohya sebentar." Dia mengeluarkan handphone dari saku jaket hijaunya, kemudian mencari-cari sesuatu dan membacakan sebuah nama. "Danar di sini namanya, Kak."

Damn it!

Aku menutup kembali kotak makanan itu dan memberikannya pada bapak yang mengantar dengan alasan bahwa aku lupa aku sedang diet dan dokter giziku melarang memakan makanan ini. Entah apa yang bapak ini pikirkan, tetapi dia mengucapkan terima kasih dan membawa makanan itu pulang beserta uang yang tadi aku janjikan.

Danar.

Sepertinya dia tidak akan berhenti semudah itu dan aku tidak tahu apa tujuan sebenarnya yang dia capai. Mungkin dia ingin hidupku hancur, termasuk pernikahanku dengan Hans.



---

haiiii gengs! selamat hari Seniiiin kamu bica baca cepet lanjutannya atau esktar part-nya di KK yaww!

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top