tiwifl || 41
"Emang selalu gini ya, Mas?"
"Apa?"
Aku tahu Hans menolehkan kepala menatapku, tetapi aku memilih tetap pada pandanganku ke langit-langit kamar yang bahkan lampunya pun tak menyala. Ini belum bisa disebut malam hari—malam-mala romantis untuk orang-orang biasanya—masih sangat jauh, kami masih bisa mendapatkan sinar yang menembus vitrase dan sekarang dia bergerak terkena hembusan angin. Tapi yang aku lakukan tertawa sambil berusaha tetap memegang kuat selimut hingga menutupi dadaku. Aku tahu ini percuma, karena Hans mungkin masih mengingat apa yang dia lihat tadi, tetapi aku tetap merasa perlu menutupi bagian-bagian tubuhku tertentu. Sementara dia—akhirnya tawaku reda dan aku meliriknya—sama sepertiku dengan posisi telentang, kedua tangannya menyangga kepala, dia membiarkan selimut kami sesuka hati menutupi tubuhnya, tidak sampai bahkan di payudaranya.
"Reva? Are you okay?"
Aku kembali tertawa. "Ya! Aku cuma ... belum berani natap mata kamu lagi? Mungkin selalu gini ya, Mas? Nggak di film, nggak di realita, selalu cewek yang ngerasa malu setelahnya? Kayak ... malu banget, berasa ditelanjangi ... well, itu bener, tapi maksudku, ya malu."
"Sama kok."
"What?!" Bukan hanya aku yang tertawa, aku juga mendengar suaranya pelan. "Kamu ... serius malu juga?"
"Ya. Malu karena nggak berhasil." Dia tertawa pelan, terdengar seperti mencemooh dirinya sendiri. "Ternyata gugup banget, Re."
"Eh jangan!" Kami bicara seolah takut ada penyakit menular dari udara yang keluar melalui mulut atau tatapan kami, itu kenapa masih sama-sama bertahan dengan posisi ini sejak awal. "Kamu nggak gagal, kita nggak gagal menurutku?" Oh Reva, sejak kapan selalu ada nada tanya di setiap akhir kalimatmu. Kenapa kamu menjadi tak yakin dengan apa pun yang kamu katakan? Ya karena memang! Ha! "Maksudnya ... you know, selalu ada awkward di setiap kali pertama, dan menurutku wajar kita hadapi itu karena memang ini pertama kali buat kita. Aku dan kamu maksudnya. Well, pertama kali dalam hidup buatku. Oh aku nggak lagi berusaha ngungkit masa lalu, aku beneran nggak masalah sama apa yang kamu lakuin dulu. It's in the past. Intinya, meski kita belum berhasil sama tujuan utama dan aku yakin banyak pasangan yang nggak langsung berhasil juga kok, tapi aku menikmati setiap prosesnya tadi kok, Mas. Thank you. Huuuh!" Aku mengembuskan napas dan merasa perlu mengipasi wajahku padahal aku tahu ini tidak perlu.
"Aku udah boleh natap kamu kah?"
"Sorry?" Akhirnya tanpa disengaja kami saling menoleh karena ketidakpahaman satu sama lain. Setelah beberapa detik saling memandangi mata, aku dan Hans memasang senyum di wajah, dan senyumku berubah menjadi tawa, sementara dia masih dengan senyumannya, hanya sedikit lebih lebar. Tapi itu tak bertahan lama, entah kapan mulainya, tiba-tiba semuanya kembali sunyi, padahal aku yakin di halaman rumah kami, sedang ada beberapa orang yang berusaha menyelesaikan pekerjaan kolam mininya. Sementara yang aku lakukan bersama Hans di sini adalah saling memandangi tanpa senyum, tanpa kata-kata, dan aku merasa tidak sanggup bertahan lebih lama lagi. "Kamu bisa denger nggak, Mas?" bisikku lirih.
Keningnya berkerut, dia kelihatan bingung tapi anehnya tetap dia mengatakan apa pun.
Aku tersenyum kikuk. "Jantungku kayak genderang perang, aku bahkan bisa denger sendiri, dan aku takut kamu juga bisa denger itu."
"Aku pikir aku lagi denger suara jantungku sendiri, Va."
"What?"
Ya Tuhan ... aku tidak tahu akan sampai di suasa ini bersama Hans. Benar-benar tidak bisa memahaminya kalau mengingat sedikit saja apa yang aku pikirkan dan rencanakan dari awal mengenalnya. Dengan sangat arogan menginginkan kegagalan dari pernikahan saat Hans dengan sopan dan baik menanyakan tentang keinginanku dalam pernikahan kami. Menyatakan ketidaktertarikan akan tubuhnya dan tidak akan mau berhubungan suami-istri karena dia bukan pilihanku. Sekarang aku di sini, di bawah selimut tanpa sehelang benang pun, sibuk mengagumi sosok di hadapanku ini. Sama-sama gugup, sama-sama bisa mendengar detak jantung sendiri-sendiri. Sama-sama malu.
Aku tidak tahu hal indah ini akan terjadi padaku bersama orang yang tidak pernah aku bayangkan. Dulu kupikir, cinta adalah di mana ada gejolak besar di dalam hatimu, di dalam dirimu. Perasaan dipenuhi kupu-kupu. Perasaan seperti terbang karena melihat sosoknya dan mendengar kalimat-kalimat sensualnya.
Namun, ternyata ada hal lain di belahan dunia yang berbeda. Hans menawarkan hal yang tak sama. Bahkan untuk konteks seksual, dia tidak mengeluarkan kata dan intonasi yang menggoda. Dia masih dengan jati dirinya yang lembut dan sopan. Dia menawarkan ketenangan di setiap hari. Tidak ada gejolak besar-besaran di dalam diriku saat bersamanya, tetapi ketenangan dan kenyamanan yang saking nyamannya sampai membuatku tidak sadar kalau aku menikmati dan mulai bergantung.
Mungkin sudah seharusnya aku merasa malu dan benar-benar menjalani hidupku yang sekarang dengan baik. Tak peduli bagaimana dulu desiran indah yang muncul tiap kali melihat mata Danar, tetapi aku butuh ketenangan, perasaan diinginkan, dan dicintai seperti bagaimana Hans menatapku. Seperti sekarang dia menatapku.
"Aku mau nanya sesuatu, Mas. Boleh aku rusak keheningan ini?"
Senyumnya terbit, dia menggosok wajahnya dan mengangguk.
Aku melihat itu tertawa. "Pertama banget kamu lihat aku, apa yang kamu pikirin waktu itu, Mas?"
Dia tidak langsung merespon, matanya berkedip menatapku, entah olahan kata seperti apa yang sedang dia susun sebelum dia keluarkan dan mungkin tidak sesuai harapanku. Seperti Hans biasanya dalam menyerangku dengan kata-kata—aku tidak mengatakan dia jahat, dia hanya sedang melawan musuh kejam pada saat itu. Wait a minute, memangnya aku sedang berharap apa? Aku mengharapkan kalimat seperti apa dari mulut tipisnya itu? "She's beautiful," lirihnya.
"She?"
Kepalanya mengangguk. "Itu aku ngomong sama diri sendiri waktu lihat kamu jalan ke mejaku. Pertama aku lihat kamu langsung."
"Ah! Okay. Thanks." Aku mengedikkan bahu sambil memasang senyum lebar. Tidak tahu harus bereaksi seperti apa selain demikian.
"Terus waktu ngobrol, menurutku kamu menarik banget. Keseimbangan antara kecantikan fisik, gesture, kata-kata. Padahal kamu nggak mau aku, tapi kamu nggak pernah masang muka judes atau jijik—" Hans tertawa pelan. "Kecuali setelah pernikahan. Kamu emang nggak marah-marah atau masang muka judes, masih tetep senyum ceria tapi isinya berat."
"Berat?"
"Kamu bilang mau pernikahan kita gagal, nggak mau sama aku karena aku bukan pilihanmu dari awal, dan ingetin aku buat nggak berharap akan ada hubungan layaknya suami-istri."
Aku meringis. "I'm sorry, Mas. I really am."
Hans menganggukkan kepala. "Aku juga kayaknya kurang effort, ya, Va? Buat yakinin kamu. Dulu aku sempet ngerasa nggak ada harapan, kamu tetep akan pergi."
"No way ...." Aku refleks mendekatkan tubuh dan memeluknya. "Aku jahat banget sama kamu. Aku janji aku akan berubah lebih baik. Kita mulai dari awal, ya, Mas?" Di dalam pelukan, aku merasakan anggukan kepala.
"By the way, ini nanti aku ada kemungkinan langsung hamil nggak ya, Mas?"
Kali ini aku mendengar tawa pelannya. "Va, kita bahkan belum berhasil."
"Oiya! Astagfirullah, lupa. Wait—" Aku menarik diri dan menatapnya penuh tanya. "Jadi kamu tadi belum ... itu—" Aku memainkan tangan berusaha mewakili apa yang ada di kepalaku dengan gerakan tangan tapi tidak berhasil. "Kamu tahu maksudku?"
Baru kali ini aku melihat ekspresi yang satu ini dari wajahnya. Dia meringis dan itu terlihat sangat lucu. Terlihat ragu, tetapi dia menggelengkan kepala pelan.
Aku berbisik lirih mengucapkan kata maaf. "Ha! Kayaknya aku perlu banyak belajar. Nanti kita belajar dan coba lagi, Mas. Don't worry, kita usahakan anak kembar itu bareng-bareng. Okay? Sekarang aku mau bersihin badan dulu dan kita turun, takut bapak tukang pingsan di depan nyari kita. Aw!" Aku terdiam setelah berhasil berdiri karena merasakan sesuatu yang sangat aneh di bawah sana.
"Va, kamu—"
"Eh enggak! Aku baik-baik aja." Aku tertawa. "Cuma kaget dikit." Menarik selimut dengan niat untuk melilitkannya ke tubuh, mataku seketika melotot karena aku lupa keadaan Hans sama denganku. "Mas, maaf!" Aku menundukkan wajah, mengucapkan maaf berkali-kali, menunggu beberapa saat dengan harapan kondisinya berubah lebih baik.
"Udah, Va," katanya dan benar saja, dia sudah memakai celana.
Aku mengangguk, berbalik badan, dan bersusah payah berjalan dengan lilitan selimut dan perasaan aneh di tengah pahaku untuk bisa sampai di kamar mandi. Kemudian aku mendengar suaranya memanggilku.
"Soal anak kembar ... itu bukan misi khusus, kok, Va. Kamu jangan terbebani, ya?"
Senyumanku lebar. Oh Hans yang baik hati. "Tapi kayaknya aku juga mau kok, Mas. Lucu."
---
hi,👀👀👀
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top