tiwifl || 40
Kepalaku mendadak kosong.
Mulutku menjadi kaku tak mampu bergerak untuk mengatakan sesuatu.
Aku hanya bisa bersyukur—harus kah?—saat kehadiran para tukang yang pada akhirnya menyelamatkan kami dari suasana canggung tetapi terasa begitu menegangkan. Untuk kali pertama, entah dalam status buruk atau wajar, aku merasa sedikit takut dengan Hans. Terbiasa dengan kebaikannya, merasakan ketenangannya, mendengar kalimat-kalimat sopannya—beberapa kali dia memang membuatku menyadari kejahatanku dengan kalimatnya, tapi itu tak menjadikan dia lantas sebagai antagonis—dan beberapa menit lalu melihat matanya yang terlihat terluka dan marah di satu waktu atau mungkin itu hanya perasaanku saja.
Sekarang aku kebingungan meski aku sudah selamat. Hans di luar bersama para tukang entah memberi intruksi apa aku tidak paham. Sempat terlintas di kepalaku untuk mengusir tukang-tukang itu dan aku ingin membuat obrolan serius lagi dengan Hans. Aku mau membahas semua, sedetail mungkin, mencari solusi, supaya kondisinya tidak semakin buruk. Tapi aku belum gila dengan melakukan itu pada para tukang yang tidak tahu apa-apa. Kemungkinanya hanya satu, aku menunggu mereka selesai, meski harus menjalani satu detik menjadi satu tahun.
Biasanya aku akan mengalihkannya dengan menonton film atau series, membaca, melihat-lihat keindahan Pinterest, membuat makanan, tapi rasanya kali ini semua terasa salah dan lama. Aku hanya ingin hari cepat berlalu dan kami bisa kembali berbincang berdua. Bagaimana cara mempercepat hari?!
Aku bersyukur sekali karena ternyata dengan memikirkan semua itu, aku pada akhirnya terlelap juga. Lumayan membunuh waktu karena saat aku tersadar, aku langsung bergegas untuk mandi, mengambil wudhu dan melaksanakan ibadah wajib. Saat kembali turun ke bawah, aku menemukan Hans yang sedang sibuk di dapur dalam kondisi pakaian sudah berganti dan dia terlihat sudah kembali segar. Dia tadi mandi di kamar kami kah? Bagaimana mungkin aku tidak terbangun? Atau dia mandi di kamar lain karena masih marah padaku?
Aku memperhatikan punggungnya yang sedang sibuk ... mengintip apa yang dia lakukan, aku menyadari dia sedang memotong jeruk menjadi dua bagian, memasukkannya ke dalam mesin jus. Saat dia akan mengambil gelas, dia menyadari keberadaanku, matanya sempat melirik, sebelum akhirnya dia melanjutkan aktivitasnya. Aku yang biasanya pasti akan dengan senyuman super ceria bergabung bersamanya, tapi hari ini berbeda, aku diam di tempatku berdiri, memainkan jari-jari.
"Mau juga, Va?" tanyanya setelah membalikkan tubuhnya menghadapku. Dia masih bisa melakukannya. Melakukan kebaikan ini. Ya Tuhan, aku malu sekali.
Aku mengangguk kaku. "Thanks, Mas."
Sekarang dia yang gantian mengangguk, tetapi terlihat luwes saja. Karena kehidupannya nyaris semua diisi dengan anggukan atau gelengan, sering kali tanpa tambahan kata-kata sebagai pelengkap. Jadi sikapnya terlihat wajar. Berbeda denganku, dari yang sangat aktif mendadak menjadi begitu kaku. Aku yakin Hans pun menyadari itu, tetapi dia juga mungkin tahu apa penyebabnya.
"Silakan," ucapnya menyodorkan satu gelas jus jeruk yang terlihat begitu menarik.
Aku mengucapkan terima kasih sekali lagi, kemudian kami sama-sama duduk di kursi meja makan, menikmati minuman masing-masing. Ini mungkin tidak akan berlangsung lama, maksudku, kesempatan yang datang ini. Entah apa yang sedang terjadi di luar rumah, para tukang itu, tetapi aku tahu ini aku diberi kesempatan oleh Tuhan untuk memperbaikinya. Atau mungkin tindakanku nanti malah akan memperburuk.
Well, aku tidak tahu mana yang akan terjadi.
Aku akan tetap lakukan.
"Umm, Mas Hans, kamu sejak kapan mikirnya kalau aku jijik sama kamu?" Tentu saja aku mengganti kata 'tubuh' menjadi 'kamu' karena aku merasa itu terlalu jahat.
Dia meletakkan gelasnya di atas meja, kini menatapku serius—okay, dia selalu terlihat serius, Rey, c'mon! "Bukannya dari awal, Re?" Mendengar itu aku mengerutkan kening. "Dari awal kamu bilang aku bukan pilihanmu, bukan tipemu, dan kita nggak akan ngelakuin hubungan suami-istri."
Aku merasa tertampar padahal semua itu adalah benar kalimat-kalimatku. Gimana bisa aku melupakan betapa kejamnya aku sejak awal padanya? Mengucapkan semua kalimat itu dan sekarang dengan berani bertanya pada Hans apa yang membuatnya berpikir aku jijik dengannya.
Aku yang membuatnya.
Diriku sendiri.
Aku berdeham beberapa kali. "Aku pikir ... aku udah kasih kode kalau aku mau?" Rasanya aneh sekali menyadari hanya aku yang terlihat sangat canggung di sini, sementara Hans masih tetap tenang di tempatnya duduk. "Aku pikir ... kita udah selesai sama perjanjian lama dan waktu itu kamu kasih aku ucapan selamat datang di kapal yang sama?"
Dia mengangguk. "Sampai akhirnya Danar muncul lagi." Ouch. Danar. Danar lagi. Kenapa lelaki itu tidak ada habisnya menghancurkan hidupku, baik dulu maupun sekarang? "Kamu kayak panik banget nyari orang lain buat nutupin perasaanmu ke Danar, Va. Okay, aku tahu posisi kita gimana, kita berangkat dari orang asing dan butuh waktu buat bisa nyaman. Aku berusaha paham perasaanmu. Walaupun aku nggak punya orang lain yang aku cinta, tapi bukan berarti aku mau jadi pelampiasanmu. Aku nggak terima kamu bayangin Danar waktu sama aku."
"Mas?" Aku mengembuskan napas pelan. Tidak menyangka sejauh itu pemikirannya yang terlihat tidak dalam. Maksudku, dia terlihat santai dan tidak begitu menginginkan cinta-apa pun denganku, tetapi dia berpikir sampai hal ke sana?
"Kamu dateng waktu kamu lagi bingung sama perasaanmu, setiap habis ketemu Danar."
Mulutku terbuka, tetapi terkatup lagi.
Ternyata aku memang masih sejahat itu padanya. Pada lelaki sebaik Hans.
Rerey, apa yang kamu lakukan dan pikirkan?!
"Aku ...." Kata-kata apa selanjutnya yang harus dia dengar? Dia berhak mendapatkan penjelasan dari semua ini. Aku pun berhak membuatnya paham supaya situasi kami tidak seburuk ini. Aku tidak mau perang dingin dengan Hans lagi. Kehidupanku dengannya sudah sangat seperti yang aku bayangkan dan aku mulai menikmatinya. "Aku minta maaf, Mas." Hanya ada dua tambahan kata yang mampu bibirku ucapkan, tetapi aku tidak komplain.
Hans tetap diam, jadi aku asumsikan dia butuh lebih dari sekadar ucapan maaf.
Menarik napas dalam-dalam, aku mulai menjelaskan apa yang aku mampu. "Aku sendiri nggak tahu kalau Danar masih segitu ngefeknya buat aku. Aku pikir aku udah sembuh, sampai akhirnya dia muncul lagi dan pikiranku kacau. Aku sempet mikir oh aku masih cinta dia buktinya aku masih emosi tiap lihat dia, rasa benciku naik. Tapi enggak, Mas. Masih benci ke mantan itu nggak selalu artinya masih sayang atau belum lupa. Parameter sembuh menurutku bukan selalu saat kita lihat mantan terus kita bisa senyum dan berdamai. Paham nggak maksudku? Dia nyakitin aku dan menurutku aku berhak benci dia. Kalaupun dia mau balik, aku nggak mau. Aku nggak mau dia lagi."
Hans mengambil gelas dan meneguknya, kemudian kembali menatapku dan memberi anggukan, seolah dia tahu masih ada begitu banyak kata-kata di kepalaku yang siap terucap.
"Aku tahu hubungan kita bukan dari step normal manusia pada umumnya. Kita nggak lewatin momen kasmaran, perut kupu-kupu waktu PDKT. Aku bahkan getol banget ngasih tahu kamu aku nggak mau pernikahan ini berhasil dan aku nggak suka kamu. Aku tahu dan aku minta maaf banget untuk itu." Aku memberi jeda untukku mengatur napas. "Tapi setiap hari hidup sama kamu, lihat gimana perlakuan baik kamu ke aku, aku ngerasa semuanya pelan-pelan berubah. Pikiran tentang strategi supaya pernikahan ini rusak mulai berkurang. Aku nggak fokus ke sana lagi, tapi jalani aja hari-hariku seolah ini emang tepat, aku jadi istrimu dan kamu suamiku. Kalau soal hubungan badan ...." Aku berdeham karena tiba-tiba merasa malu. Tapi ini tetap harus dibahas. "Maksudku, aku nggak tahu harus beneran cinta dulu baru mau, atau sebenarnya bisa aja, karena aku ... well, aku kepikiran itu kok, Mas. Cuma aku nggak tahu karena aku udah cinta kamu atau sebenernya ya emang bisa aja ngelakuin itu sama siapa pun selagi kita nyaman sama dia dan tertarik sama dia. Cuma aku sempet pikir kamu nggak suka cewek ... aduh penjelasanku—"
"Sebentar." Hans mencondongkan tubuhnya, untuk saja kami dibatasi meja makan ini. "Kamu sempet mikir aku gay kah?"
"Ha!" Aku meringis. "Itu karena ... lupain, Mas. Maaf, aku tahu kamu enggak. Itu cuma, yaaa, kamu tahu sekarang kita nggak bisa percaya banget sama apa yang terlihat, kan?" Oversharing memang lebih banyak membahayakanku, tetapi sulit sekali menghentikan hobi yang satu itu.
"Aku terlihat gimana memangnya, Re?"
Damn! Coba tolong lain kali, Rey, otakmu digunakan dulu untuk berpikir sebelum mulutnya mengatakan sesuatu. "Enggak, enggak! Nggak kelihatan gimana-gimana. Kamu kelihatan normal kok, normal banget." Aku menggaruk kepala, tidak tahu mau mengatakan apa lagi. "Cuma waktu itu kamu nggak kelihatan tertarik sama aku, terus waktu aku berusaha ci—" Aku meringis. "Lupain, Mas. Ummm, intinya aku nggak jijik sama kamu, sama sekali. Makasih ya, buat jusnya." Aku berdiri siap kabur untuk kali pertama. "Aku ke atas dulu, Mas."
Tanpa menunggu respon Hans, aku buru-buru melangkah menuju tangga. Tapi anehnya, meski aku merasa langkahku sudah lebar dan cepat, tiba-tiba sebuah tangan menahanku dan melingkari perut, membalik badanku menghadapnya. Dia sudah berdiri satu tangga di bawahku tetapi tubuhnya masih tetap lebih tinggi. "Jadi waktu itu kamu beneran mau cium aku bukan bayangin aku adalah Danar?"
Mataku melotot. "Hell, no! Ngapain bayangin Danar, yang ada aku emosi. Well, aku memang pernah secinta itu, tapi ... Mas, aku nggak akan mau balikan sama dia."
Dia memelukku dengan tiba-tiba, membuatku membeliakkan mata, kebingungan. "Aku sendiri nggak tahu, Re, kita tertarik sama seseorang dan tubuhnya itu karena kita cinta dia atau cinta itu nggak perlu. Tapi dari awal aku lihat kamu, aku mau kamu." WHAT?! "Kalau menurutmu aku nggak keliatan tertarik sama kamu, artinya usahaku handle diriku sendiri berhasil dan aku bersyukur sama hal itu. Ternyata aku memang manusia yang nggak sama kayak hewan, aku bisa kendaliin diriku sendiri."
Aku tak bisa berkata-kata.
"It's hard work, ada di sekitaran kamu dengan semua gestur dan kata-kata kamu yang menawan, but I did it well, I guess?"
Aku refleks tertawa, menarik diri dan mengurung wajahnya demi bisa menatap mata itu, kemudian aku anggukkan kepala. Sebelum semuanya berubah lagi, aku memberanikan diri mengecup bibirnya kali ini. Aku meringis karena melihat dia tak merespon, hanya menatapku dalam diam. "Umm, sorry, kalau menurutmu—"
"Kamu mau kita coba beneran?"
Mataku melotot, tetapi aku tertawa. "Terang benderang kayak gini?"
"Kamu lebih suka kalau malam kah?"
Ha!
Aku tidak tahu, tentu saja tidak tahu!
---
OMG, mereka mau ngapaiin? gatauuuuu, takuuuuttt:(
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top