tiwifl || 39
"Good morning!"
"Hey!" Aku meletakkan panci di atas kompor meski belum jadi menyalakan apinya. Segera berbalik, aku melihat Hans dengan—dengan ... aku menelan ludah karena merasa buyar beberapa detik melihat sosoknya yang berdiri dengan keringat di wajah, di kaosnya meski tak banyak. Senyum manis dan tak banyak ditebar itu sembari tangannya mengangkat sesuatu di tangan. "A—" Aku menggelengkan kepala karena mendadak kehilangan suara utuh, berubah menggelikan. "Apa itu, Mas?"
"Jajanan?" tanyanya ragu, dia tertawa pelan, terlihat tidak percaya diri dengan apa yang dia katakan dan lakukan. "Ibu bilang waktu Bapak beliin kamu sempol, kamu semangat banget." Ya Tuhanku, ya Tuhan! Kebaikan apa yang aku lakukan sehingga aku berhak mendapatkan lelaki sebaik ini? "Re? Kamu kenapa? Oh sorry, mungkin waktu itu kamu ngerasa nggak enak karena Bapak bawain jajan makanya—"
"Hei, bukan!" Aku tertawa sambil mengipasi wajah, berusaha kuat untuk tidak meneteskan air mata. "Aduh kayaknya aku lagi PMS deh, cengeng banget, aku justru terharu banget pagi-pagi kamu bawain jajan. Makin terharu karena ortu kamu inget momen kecil itu. Ah nggak bisa mataku panas."
Kami sama-sama tertawa, bedanya tentu saja ada di volume. Tawa Hans tak pernah sekencang itu, sementara aku ... bukan hanya cerewet dan suka oversharing, tetapi aku juga tertawa tak bisa seanggun Hans. Well, aku tidak tertawa seperti seseorang yang bisa membangunkan satu negara, tetapi tetap saja kalau dibandingkan Hans sangat miris.
"Thank you so much," ucapku pada akhirnya setelah menerima styrofoam dengan beberapa tusuk bambu mencuat. "Kamu mau juga? Aku lagi bikinin kamu sarapan, kita sarapan. Atau mau kopi dulu?"
"Aku mandi dulu aja, Va."
"Oh, sure!" Aku tertawa canggung. Menyadari bahwa dia memerlukan waktu yang tidak sebentar untuk membersihkan diri, itu kenapa pilihan paling tepat adalah membuatkannya kopi saat dia sudah selesai nanti.
Aku melihat dia melepas topi hitamnya, lalu berjalan meninggalkan dapur. Herannya, setiap hari, aku melihatnya semakin menarik. Dari mana asal mula lelaki terlihat begitu seksi dalam pakaian lari dengan tubuh berkeringat? Menggelikan, bukan? Yang lebih para dari semua itu adalah fakta bahwa aku harus memukul mulutku sendiri karena belum berhenti senyum memandangi beberapa tusuk sempol di hadapanku. Aku bahkan sudah duduk manis, mengambil satu tusuk dan memandanginya. Sempol yang mungkin digoreng dengan minyak hitam karena berhari-hari tidak diganti itu terlihat jauh lebih menarik ketimbang dessert di restoran mewah.
Konyol tapi terjadi.
Dia bangun pagi seperti biasanya, tanpa alarm. Dia melakukan ibadah sebagai seorang hamba, dia menikmati waktu liburnya dengan lari pagi, lalu entah apa yang membuatnya tiba-tiba mengingat sempol. Mungkin Ibu atau Bapak meneleponnya saat dia sedang lari, tetapi sepertinya Hans tidak membawa handphone-nya. Mungkin dia melihat penjual sempol lalu teringat cerita Bapak atau Ibunya tentang momen kecil kami di rumah ini. Apa pun kemungkinan itu, fakta bahwa dia melakukan bahkan hal sekecil ini untukku, perempuan yang sejak hari pertama pernikahan berharap dan berdoa untuk kegagalan.
Ouch.
Mendadak kunyahan daging dan tepung ini terasa begitu sulit untuk kutelan.
Aku sudah berhasil menghabiskan tiga tusuk, kemudian sadar aku masih memiliki pekerjaan yang tadi sudah aku mulai; menyiapkan sarapan untuk kami berdua. Aku hanya perlu merebus beberapa jenis sayuran ini, seperti tauge, kacang panjang yang sudah aku potong-potong, beberapa lembar baby spinach—sulit menerjemahkannya karena bayam ini sedikit berbeda ukuran dengan bayam yang biasa ada di pasaran—dan jagung yang sudah dipipil.
Sembari menunggunya dengan tingkat kematangan yang aku mau, aku mulai menyiapkan pancing penggorengan untuk memasak protein, yaitu ayam yang sudah aku marinasi. Bumbu lengkuas, maksud Ayam Goreng Lengkuas, begitu nama menu yang aku tahu dari resep di internet. Aku membuat lumayan banyak dan menyimpannya di kulkas. Sama halnya dengan lontong. Karena aku tahu Hans suka sekali lontong, jadi aku buat untuk stok, setiap mau makan, tinggal aku kukus sebentar supaya hangat.
Setelah memindahkan sayuran ke wadah yang bisa memisahkan air dan sayurannya, aku beralih memotong-motong lontong, meletakkanya ke wadah, lalu mengukusnya sebentar. Fokusku sekarang pada ayam goreng yang sepertinya sudah matang. Waktu yang ditunggu pun sudah tiba, menyusun dan menghias sedikit di atas piring. Aku tahu, hal yang belum aku kuasai adalah bumbu kacangnya karena aku belum siap menggoreng kacang, menggilingnya sampai lembuat, membuat bumbu. Jadi, aku masih menggunakan jasa orang lain alias beli. Rasanya juga enak, Hans mengakuinya, adi aman-aman saja.
Tada!
Semua sudah beres.
Aku meletakkan dua piring di atas meja dengan senyuman lebar yang seketika berubah menjadi ringisan karena baru menyadari bahkan sampai sarapannya jadi, Hans belum selesai membersihkan diri. Coba bayangkan kalau tadi aku membuatkan kopi dengan harapan dia selesai mandi tinggal meminumnya.
Oh jangan lupa coba bayangkan hal ini juga;
Siapa yang akan menyangka atau paling tidak memberitahuku di masa lalu bahwa aku di masa kini menjadi rutin sarapan lontong? Ya Tuhan, tidak pernah terbayang di dalam hidupku, tetapi anehnya aku tidak keberatan. Awalnya karena malas membuat makanan dua kali untuk Hans dan untukku, lama-lama justru merasa ini hal yang benar.
Manusia memang paling menarik kalau soal adaptasi, ceritanya tak ada habisnya.
"Haiiii!" sapaku sumringah, terlalu sumringah, Rey, c'mon! "Udah selesai, Mas? Mau sarapan dulu atau ngopi dulu?"
Dia melirik piring yang sudah terhidang, lalu kembali menatapku. "Sarapan dulu aja, Va. ngopinya nanti bareng bapak-bapak tukang."
"Oh mereka ke sini lagi?'
Kepalanya mengangguk. "Belum selesai. Hari ini atau besok sih katanya."
"Okay." Aku tersenyum. Bergerak untuk mengambil air minum di gelas, memberikan satu untuk Hans, lalu duduk di kursi kami masing-masing. "Silakan, Mas," Aku mempersilakan karena melihat Hans hanya memandangi makanannya. "Atau kamu lagi nggak pengen sarapan ini?"
Dia menggelengkan kepala. Menatapku dengan ... dengan apa itu, Rey? Coba cari interpretasi yang baik dan tepat. "Aku bahagia banget," lirihnya, lalu sudut bibirnya terangkat, membentuk senyum tipis. "Thank you, Reva, kamu istri yang hebat."
Karena ... menyiapkannya sarapan lontong?
Aku refleks tertawa, mendadak canggung dan tidak tahu harus bagaimana merespons pujiannya barusan. Aku hanya mengangguk-angguk kecil, kemudian mempersilakan dia makan untuk kedua kali. Aku sendiri pun mulai menyuapkan makanan itu ke dalam mulut. "Gimana rasanya? Masih sama?"
Dia mengangguk. "Enak."
Aku tertawa.
Kenapa aku banyak tertawa, ya Tuhan? "Umm, Mas, nanti Papa Amar ke sini lagi emangnya?"
"Enggak kayaknya. Dia bilang ada janji sama temennya."
"Berarti kamu sendiri yang ngurus bapak-bapak tukang?"
Wajahnya terlihat bingung, lucu sekali. "Ada masalah kah? Maksudnya gimana, Va?"
"Oh nggak pa-pa, Mas! Maksudku, kamu sendirian nggak pa-pa?"
Masih dengan sisa-sisa kebingungan di wajah, kepalanya mengangguk lagi. "Nggak pa-pa."
"Okay. Nanti kalau butuh bantuan, bilang ya, Mas?"
Kali ini dia tertawa pelan.
"Kok ketawa?"
Kepalanya menggeleng. "Iya nanti aku bilang."
Akhirnya kami melanjutkan makan dengan tenang dan khusyuk. Namun, baru saja Hans berdiri setelah mengatakan dia yang akan mencuci piring dan membersihkan dapur setelah aku perang, bel berbunyi.
Kami saling tatap.
"Tukangnya udah dateng, Mas?"
Dia melirik jam di tangannya. "Tapi seharusnya masih kepagian. Tapi mungkin mereka pengen cepet selesai. Aku ke depan—"
"Biar aku aja, Mas."
"Nggak pa-pa kah nemuin bapak-bapak tukang?"
"Nggak pa-pa, atau kenapa-napa ya, Mas?"
Ya Tuhan, obrolan kacau apa ini?!
Dia menggeleng.
Akhirnya kami sama-sama tersenyum geli, lalu aku berjalan ke depan untuk menyambut dedikasi orang-orang hebat dalam pekerjaan—"What the fuck," lirihnya spontan melihat sosok yang berdiri di depanku sekarang. Danar benar-benar membangkitkan hal-hal buruk dari dalam diriku, termasuk mengucapkan kata-kata kotor, di saat Hans sibuk menciptakan banyak senyum di wajahku. "Kamu gila ya?!" Aku berusaha menahan agar tidak teriak. "Kamu ngapain ke sini? Dari mana kamu tahu alamat ini?"
"Rey, aku beneran sungguh-sungguh, aku mau memperbaiki semuanya. Aku tahu dan percaya kamu masih sayang dan cinta sama aku. Kita pasti bisa ulang semua dari awal, lanjutin mimpi-mimpi kita. Semua orang berhak dapet kesempatan kedua, Rey, termasuk kita."
Aku mengembuskan napas, entah kesabaran dari mana yang akan aku dapatkan untuk menghadapi lelaki gila ini. "Kamu coba sebelum ngomong atau nemuin aku, kamu ngaca dan dengerin sendiri kalimat-kalimatmu barusan. Busuk, Nar, busuk, aku nggak mau denger." Aku menutup telinga dengan kedua tangan. "Pergi dari sini. Sekarang."
"Rey, kasih aku kesempatan sekali lagi, aku janji semuanya worth it, kita bangun—"
"Udah nggak ada kita!" teriakku pada akhirnya, karena tidak sanggup lagi menahan semua amarah di dalam dada. "Nggak ada kita di masa sekarang atau pun nanti. Kamu pergi dari sini atau aku panggilin satpam komplek."
"Rey, please? Aku bisa buktiin ke kamu, ke Mama, Papa Amar, aku bisa memperbaiki semua."
"Aku—" Kalimatku terhenti dan tubuhku berengat karena merasakan tangan melingkar di pinggang. Saat aku melihat siapa yang berdiri di sebelahku, menyadari parfumnya, aku bingung harus merasa tenang atau atau semakin panik, tapi yang terjadi adalah jantungku berdegup tidak kerdua. Tidak siap dengan drama apa yang terjadi nanti. Aku memberi pelototan pada Danar, berharap dia masih memiliki akal untuk segera angkat kaki dari sini.
Tapi dia masih tetap diam di tempat, justru dengan tubuh tegak dan tatapan menantang, dia menatap Hans.
"Mas Danar sadar nggak apa yang Mas lakuin ini melebihi batas? Datang ke wilayah pribadi seseorang, membuat tuan rumah nggak nyaman?"
"Saya nggak ada kepentingan sama—sori, siapa nama Masnya?"
Mendengar jawaban menantang itu, aku memejamkan mata. Benar-benar akan menjadi hari yang kacau.
"Hans. Nama saya Hans. Ada kepentingan atau enggaknya dengan saya, tapi Mas Danar ada di rumah pribadi saya, bikin istri saya nggak nyaman." Istri saya. Belum pernah sejak menikah dengannya, aku merasa kalimat kepemilikan itu terdengar sangat benar dan seksi. "Dengan penuh kesabaran dan rasa sopan, saya mohon silakan pergi."
Danar tertawa.
Aku tidak tahu aku pernah mencintai dengan begitu gila laki-laki tidak waras ini.
"Mas Hans tahu nggak kalau istri Masnya ini nggak pernah cinta sama Mas? Kalau dia dipaksa nikah sama Mas cuma karena Masnya dianggap cowok baik sama orang tuanya?"
Darahku mendidih mendengar itu. Meski semuanya benar di awal, tetapi Danar tidak berhak mengatakannya. Dia siapa berani mengatakan semua itu di depan wajahku dan Hans? Aku baru berniat mengangkat tangan untuk menamparnya, tetapi Hans menahan dengan menggenggam tanganku. Aku menoleh dan mendongak, dia tidak sedang menatapku, masih fokus menatap pada Danar.
Lalu bibirnya mengucapkan, "Laki-laki yang kalah dan pengecut memang selalu punya banyak list dari keburukan laki-laki lain." WOW. "Terakhir, Mas, silakan pergi dari sini."
Danar malah menarik tanganku dan aku refleks mengibaskannya. Dengan tidak tahu malu, sekarang dia mengelus pipiku, yang kemudian tangannya ditarik Hans dan dikibaskan dengan kasar, Hans mendorong tubuh Danar hingga mundur beberapa langkah. Tetapi memang sepertinya lelaki ini sudah kehilangan kewarasan, karena mulutnya yang kotor itu melanjutkan kalimat, "Let me guess, dia masih nggak mau kamu sentuh, kan?" Mendengar itu jantungku seperti diambil paksa. Tawa menjijikkannya keluar. "So tell me, who's the loser now?"
Aku pikir Hans akan kehilangan kesabaran dan meninju Danar, tetapi yang dia lakukan adalah membawaku masuk ke dalam rumah, menutup pintu dan menguncinya. Dia berjalan dengan langkah lebar, menaiki tangga, aku mengikutinya ke kamar. Ternyata dia mengambil handphone dan menghubungi seseorang. "Halo, Pak? Di rumah saya ada laki-laki tidak dikenal dan sangat mengganggu, tolong minta datanya dan pastikan dia tidak pernah menginjak rumah saya lagi. Baik, terima kasih, Pak." Hans meletakkan kembali benda itu di atas meja.
"Mas, aku—"
Kalimatku terputus saat dia berbalik dan langsung mendekatkan diri, benar-benar berdiri menjulang di depanku. Dengan jarak sedekat ini, aku bahkan tidak bisa melihat jelas selain dadanya yang terbungkus kaos ... abu-abu, kan? Dia tadi memakai kaos abu-abu, kan? Jarinya mengangkat daguku pelan yang membuatku akhirnya bisa menatap matanya, tetapi aku merasa ini pilihan buruk karena ... aku mendadak merasa takut. "Kapan kamu nggak jijik sama tubuhku, Va?" bisiknya lirih dan efeknya seperti irisan belati di hatiku.
Kapan aku bilang aku merasa jijik dengannya? Dengan tubuhnya?
---
haiii! Hans-Rey kembaleee
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top