tiwifl || 38
"Pake piring aja, Rey. Kasihan ah kalau makan di kertas bungkus gitu, pindahin ke piring aja."
Aku mengangguk.
Mengambil piring dari rak yang tersembunyi di dalam kabinet, kemudian mulai memindahkan nasi yang porsinya luar biasa saat kita pesan untuk dibawa pulang. Aku tidak paham apakah sudah pernah ada yang mencari jawaban untuk hal ini? Seingatku, ketika kita makan di restoran makanan Padang, nasinya tidak sebanyak ini, tetapi ketika kita membelinya untuk dibawa pulang, mendadak satu tempat itu seolah dimasukkan semua ke dalam bungkus. Tapi yang lebih membuat kagum adalah orang-orang yang sanggup menghabiskan keseluruhan nasinya. Tiba-tiba aku melirik Hans, aku belum pernah—kami belum pernah—melihatnya makan nasi padang, jadi apakah dia juga sanggup menghabiskannya?
"Minta mangkuk, Rey Sayang. Buat wadahin gorengannya."
Belum sempat bergerak, aku melihat Hans yang meski tanpa sepatah kata pun mengambil dua mangkuk. Satu dia berikan untuk Papa Amar, satunya digunakan untuk wadah es buah yang mereka pesan juga. Senyumku tak mampu aku tahan melihat pemandangan di depanku. Ternyata dunia baik-baik saja meski bukan Danar yang berdiri di sana. Bukan Danar seperti yang aku bayangkan dan harapkan dulu untuk bergabung di keluargaku. Bahkan anehnya, pernikahan yang dari awal ingin aku hancurkan, laki-laki yang aku sebut tak aku pilih, justru sekarang membuatku tersenyum menatapnya bersama Papa.
"Ini aku bawa ke depan dulu ya, Pa, biar mereka bisa minum esnya dulu sebelum makan."
"Oh boleh-boleh. Gelasnya, Hans? Oh itu biar dibantu Masnya! Mas, tolong bantu bawa ke depan ini, Mas!" Papa berteriak saat salah satu tukang terlihat. "Ini gelas buat es sama ini makanannya, panggil temennya untuk bantu bawa, ya. Sekalian bilangin Hans, makan bareng kalian dulu, nanti saya nyusul ke sana." Dia tiba-tiba menatapku dan mengangguk-angguk, lalu berkata lirih saat Hans dan tukang itu sudah hilang. "Di sini dulu, Rey."
"Pa? Semuanya aman, kan?" Aku mencium ada sesuatu di sini, tetapi masih berusaha memastikan kalau itu cuma perasaanku saja. Tapi ternyata tidak, Papa tidak jadi melanjutkan ketika ada teman tukang lainnya yang mengambil makan siang mereka. Dugaanku pasti benar, ada sesuatu. Setelah kami kembali tinggal berdua, aku mendekatinya dan berbisik lirih. "Kenapa, Pa?"
Wajahnya terlihat ragu, aku mendengar dia mengembuskan napas berat. "Sebelumnya Papa minta maaf ya, Rey. Papa lupaaa banget, beneran lupa. Tadi kita ke pagi-sore langganan Papa sama Danar dulu. Nggak kepikiran dia sama sekali, karena sebelum sama Danar pun, kamu tahu, kan, kalau Papa suka banget ke makan di sana? Ajak kamu dan Mama juga."
Aku menelan ludah, mengangguk dengan ragu-ragu.
Menahan diri untuk tidak menerka-nerka apa yang terjadi karena aku tidak mau melukai pikiranku sendiri. Dengan susah payah, aku memasang senyum dna tawa pelan meski terdengar mengenaskan. "Iya? Terus, Pa?"
"Tadi ketemu dia di sana. Dia lagi makan sendirian. Kondisinya pas lagi nggak terlalu rame banget. Papa kaget waktu dia berani nyamperin. Nyamperin Papa dan Hans. Hans tahu soal Danar, ya, Rey?"
"Iya, Pa."
Napasnya terdengar berat "Harusnya Papa sama Mama dari awal ceritain soal Danar ke Hans. kami pikir ini nggak perlu karena Danar udah nggak ada peran apa pun di hidup kamu, tapi kalau kayak gini ternyata malah rumit."
"Danar nggak bikin ribut kan, Pa?"
Papa meringis. "Dikit."
"Apa yang dia lakuin?"
"Dia kayaknya masih percaya kalau Papa akan selalu mihak dia. Karena kami bro. Mantan bro." Buru-buru dia meralat dan aku tersenyum geli melihat itu. "Dia ngejar sampe ke parkiran, Rey."
"What? Dia ngapain Papa? Ngapain Hans?"
"Dia sih nggak nggak ngapa-ngapain Hans, ya, sebaliknya." Papa meringis, lagi, dan aku kembali membasahi tenggorokan dengan air liur. "Dia kayak maksa banget gitu lah mau ngobrol bentar sama Papa, Papa tahu pasti ya tentang kamu. Papa nggak mau lagi berhubungan sama dia setelah apa yang dia lakuin ke kamu, lagian di situ ada Hans, Papa menghargai dia sebagai suami kamu. Tapi dia kan anaknya gigih banget, masih usaha dan maksa, terus ya gitu."
"Ya gitu?"
Papa melihat sekitar seolah memastikan keadaan sebelum lanjut berbicara tetapi dengan nada lebih pelan. "Hans langsung berdiri di antara Papa dan Danar, dia hadap Danar dan tarik tangannya gitu, Rey. Sambil bilang, 'Mas, silakan pergi, Papa Amar sudah bilang dia nggak mau ngobrol, tolong hargai dia'. Itu udah baik banget, sopan, tapi nih Danar kayaknya kena setan dari Jepang deh, balik-balik kenapa jadi galak banget. Dia ngibasin tangan Hans dan bilang 'saya nggak ada urusan sama kamu, nggak usah ikut campur'."
Tenggorokanku mulai terasa sakit. "Papa, ini beneran?"
"Iya! Terus kamu tau abis itu? Papa sampe kayak ... ini beneran Hans? Waktu Papa geser karena mau lihat dia, dia tuh pegang tangan Danar gitu lho, Rey, ditarik minggir gitu. Bagian paling bikin melongo waktu Hans bilang, 'Kalau Masnya belum tahu, nama saya Hans, saya suami Reva anaknya Papa Amar. Mau dilihat dari mana pun, justru saya adalah bagian keluarga ini, dan kalaupun ada yang seharusnya nggak ikut campur dan mundur jauh-jauh, itu kamu. Sekarang silakan pergi kalau Masnya memang laki-laki berakal'. Gitu-gitu kurang lebih, tapi kayak gitu, pokoknya kalimatnya jleb meski nggak teriak. Tapi untungnya sebelum Danar naik darah lagi, tukang parkir nyamperin, selamet deh."
Aku refleks mengelus dada. "Syukurlah kalau Hans nggak pa-pa dan berani lawan Danar." Aku mengernyitkan kening saat Papa tersenyum penuh arti. "Pa? Kenapa?"
Dia menggelengkan kepala, lalu tiba-tiba menarikku ke dalam pelukannya. "Alhamdulillah ya Allah."
"Apa deh ini?"
"Kayaknya pilihan Papa dan Mama nggak salah."
"Pilihan apa? Hans?"
Papa melepas pelukan, memberiku anggukan semangat. "Kamu sadar nggak kalau dari awal tadi kamu nggak kelihatan ke-trigger kayak dulu setiap denger nama Danar? Dan yang kamu khawatirin justru Hans. Rey, kamu udah sembuh, dan memang kamu berhak itu."
Aku?
Bukankah aku memang sudah dari lama dengan aku yang sudah membenci Danar sejak dia memutuskan hubungan sepihak? Atau ternyata selama ini aku hanya menolak sadar bahwa aku masih di sana, tenggelam di luka itu? Lalu sekarang aku sudah bangkit tanpa aku menyadarinya sendiri? Apakah karena Hans yang selalu mengulurkan tangan dan membantuku keluar dari genangan?
Papa Amar terlihat sangat bahagia, dia menepuk-nepuk pundakku sebelum pamit untuk bergabung bersama laki-laki lain di depan. Aku menatap kosong makanan bagianku di meja karena selera makanku sudah sirna, digantikan dengan Danar-Hans. Entah siapa yang sekarang menempati hatiku. Logikaku masih menolak aku bisa mencintai Hans, mungkin ini semua karena dia adalah suamiku, itu kenapa tadi aku lebih mengkhawatirkannya. Atau memang tanpa aku sadar, aku benar-benar sudah mulai menerima dan menginginkan Hans.
Bukan semata karena orang yang baik dan akan membuat hidupku lebih aman, tetapi aku mulai memandangnya seperti aku memandang laki-laki yang aku cinta dan mau. Yang meski tak selalu keindahan dan kedamaian yang ditawarkan, aku tetap mau. Karena bagiku, mencintai seseorang artinya siap untuk menerima kondisi baik dan buruk—dengan catatan tertentu. Seperti aku dengan Danar.
Dulu.
Artinya, sekarang ini, aku sudah bisa menerima Hans sebagai dirinya sendiri bukan karena dengan harapan toh dia lelaki baik yang akan membahagiakanku dan keluargaku? Tetapi aku menerimanya karena aku mau, tidak ada harapan apa pun padanya.
Aku seperti maling yang ketahuan saat melihat Hans memasuki rumah. Jantungku berdetak tidak keruan seolah dia akan menghakimiku yang tertangkap basah sedang memikirkannya. Padahal yang dia lakukan sekarang adalah menghampiriku dan menatapku gantian dengan makanan di meja.
"Kok belum makan, Va?" tanyanya mengerutkan kening bingung.
Aku refleks nyengir. "Ini mau makan. Kamu mau nambah, Mas?"
Dia menggeleng. "Porsinya udah sebanyak itu."
"Habis nggak tapi?"
Sudut bibirnya terangkat. "Habis."
Aku tertawa. "Hebat banget makannya banyak." Seketika suasana menjadi sangat canggung, aku juga tidak tahu kenapa dadaku masih berdegup kencang padahal aku tidak ketahuan melakukan hal-hal memalukan. "Umm, Mas?"
"Hm?"
"Aku nggak mau minta maaf sama apa yang dilakuin Danar, karena aku ngerasa aku nggak bertanggung jawab. Tapi aku mau berterima kasih banyak karena kamu mau hadapi dia dengan tenang dan bantuin Papa Amar."
Hans tak menjawab. Dalam sesaat aku merasa mulai menyesali keputusanku untuk membahas ini dengannya. Mungkin sebaiknya aku tadi menahannya sendiri, tetapi kemudian perasaan menyesal itu langsung sirna saat aku merasakan dia meraih tanganku, mengelus dan menepuk-nepuknya pelan. Awalnya dia hanya menatap tangan kami, tetapi kemudian dia angkat pandangannya dan menemukan mataku. "Aku nggak sebaik itu, Re," ucapnya pelan. "Aku tadi nggak bisa nahan diri. Aku minta maaf karena tadi kasar sama dia." Bahkan dia merasa dia kasar? Ya Tuhan! "Aku juga tadi malu sama Papa, mungkin sebaiknya aku memang nggak ikut campur, karena biar gimana pun, aku dateng—"
"Hei, justru tadi Papa apresiasi kamu banget, dia bangga sama kamu."
"Ohya?"
Aku mengangguk-angguk antusias dengan senyuman lebar. "Bukan cuma Papa, tapi aku juga. Aku bangga dan happy bisa kenal kamu, Mas. I mean it. Kamu nggak kasar sama sekali, kamu tuh gentlemen, kamu dewasa, tenang, kamu hebat, kamu harus tahu. Kalau di sini ada yang harus minta maaf dan berusaha biar setara, itu aku, Mas. Doain aku berhasil, ya?"
Bibirnya terbuka, kemudian terkatup lagi. Aku tidak tahu dia mau mengatakan apa karena kami hanya saling tatap sekarang. Tetapi yang aku lihat selanjutnya adalah dia yang tersenyum dan menawarkan, "Kamu mau aku temenin makan sekarang?"
Kalimat itu aku artikan sebagai bentuk persetujuannya untuk menemaniku yang sedang berusaha.
Aku tidak salah, kan, memiliki interpretasi itu?
---
dikiit lageee gengss! yang mau ngebut bisa langsung ke KK atau baca juga ekstra partnyaa di sana, muach
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top