tiwifl || 35

Mataku terbuka lengkap dengan perasaan tak nyaman. Menyentuh dada, aku berusaha menenangkan diri dan mengerjap pelan. Tidur dalam suasana hati tak nyaman selalu menjadi ide buruk. Tak bisa tidur menjadi pilihan paling baik dan masuk akal ketimbang seolah tertidur nyatanya dengan mimpi buruk dan bangun membawa perasaan jauh lebih buruk.

Rasanya ... berat sekali untuk bernapas.

Aku menggerakkan badan dari posisi miring menjadi telentang, berniat melirik Hans dengan sudut mata, tetapi tak menemukan siapa-siapa di sebelahku. Meyakinkan diri, aku terang-terangan menolehkan kepala dan tempat itu masih kosong. Refleks bangkit duduk, aku nyaris tercekat ketika baru menemukan Hans yang sedang duduk di atas sajadah, di sudut kamar yang menjadi spot kami beribadah.

Begitu sulit menjelaskan perasaan ini, karena aku tadi nyaris mulai menyusun drama di kepala—hobi yang akhir-akhir terlihat semakin aku kuasai—dengan berpikir bahwa Hans masih marah dan memutuskan untuk tidak tidur bersamaku.

Aku melirik jam di dinding karena tidak ingin menggerakkan badan lagi, khawatir Hans akan menyadari kehadiranku. Bukan shalat subuh, dia melakukan ibadah malam, dan aku mulai bertanya-tanya, haruskah aku turun dari kasur dan melakukan ibadah yang sama? Atau aku pura-pura melanjutkan tidurku dan dia tak perlu tahu kalau aku melihatnya? Tetapi yang aku lakukan justru memandangi punggung itu, sekarang dia terlihat mengangkat kedua tangan untuk meminta pada Tuhan.

Apa yang dia minta?

Apa yang dia doakan?

Apa harapannya?

Apakah dia berdoa meminta petunjuk tentang apa yang baik dari hubungan kami? Bagaimana kalau ternyata jawabannya adalah dengan berpisah, dengan dia meninggalkanku, dengan hidup masing-masing dan mencari kebahagiaan kami masing-masing. Bagaimana kalau jawabannya bukan aku, tetapi ada perempuan lain yang—tentu—jauh lebih baik dariku untuk Hans?

Aku merasa tidak ada hal lain yang pantas aku lakukan sekarang selain menertawakan diri sendiri atas apa yang aku pikirkan barusan. Kenapa aku sibuk dengan kemungkinan jawaban dari doa Hans kalau aku sendiri tidak bisa menghargai kehadirannya bersamaku? Kenapa aku perlu merasa takut kemungkinan jawaban dari doa Hans adalah perpisahan kami toh sejak awal aku sendiri tidak sungguh-sungguh menginginkan ini? Bukankah ini justru menjadi bentuk bantuan Tuhan untukku karena bukan aku yang menentukan untuk berpisah, tetapi sudah jalannya begitu. Jawaban dari Tuhan.

Tetapi aku merasa sangat berat membayangkannya terwujud.

Ya Tuhan, ampuni aku, ampuni aku, ampuni aku atas semua permintaan yang berubah-ubah, mencari apa yang aku inginkan tanpa memikirkan orang lain, menjadi begitu egois. Sungguh, aku ingin mencoba bersama Hans, aku tidak berbohong ketika mengatakan bahwa aku mau berusaha ini berhasil dan meminta maaf padanya waktu itu. Aku sungguh-sungguh.

Aku tidak tahu kalau Danar akan kembali.

Aku tidak tahu kalau perasaanku masih begitu tidak stabil. Kalau ternyata aku mungkin memang belum sembuh, tak pernah sembuh; baik dari luka atas apa yang Danar lakukan sekaligus dari cinta yang besar untuknya.

Aku merasa egois.

Dengan panik aku cepat-cepat kembali pada posisi tidurku tadi begitu melihat Hans bergerak. Mungkin dia sadar aku terbangun tetapi aku berharap sebaliknya, aku berharap dia masih mengira aku tetap terlelap. Itu lebih baik. Tidak akan membuat canggung, karena jujur saja, aku tidak tahu, apa yang harus aku lakukan atau katakan ketika pagi hari nanti. Ketika di meja makan. Ketika dia akan pamit bekerja. Akankah sama seperti kemarin-kemarin? Atau kami baru akan memulai menjadi pasangan suami-istri yang dingin dan sibuk mengurus diri masing-masing dengan hanya mengucapkan kata seperlunya?

Aku tidak siap dengan kemungkinan kedua.

Aku juga tidak menginginkannya.

Waktu yang aku takutkan telah tiba, aku bangun tepat saat adzan subuh berkumandang lembut dari masjid komplek. Begitu pula mata kami tak sengaja bertemu ketika Hans berbalik badan di depan meja rias. Aku mencium parfumnya yang sepertinya baru dia semprotkan, alu entah ketololan macam apa yang ada pada diriku sehingga dengan entengnya aku tersenyum kikuk dan malah mengangkat rendah tangan kanan dan melambai pelan padanya. Di atas kasur. Kondisi baru bangun tidur.

Tentu saja Hans sempat terlihat bingung dengan mengerutkan kening dan menggeleng-gelengkan kepala pelan, tetapi untungnya dia balas mengangguk, membuatku merasa tidak benar-benar tersisihkan. "Aku ke masjid dulu, Re."

"Iya, Mas, hati-hati."

Dia memang tidak selalu shalat subuh di masjid, karena kadang bangun setelah adzan subuh berkumandang, tetapi aku belum pernah melihat dia bangun setelah matahari terbit. Benar-benar nyaris tak ada kekurangan selain karena nasibnya yang kurang baik dengan dipertemukannya denganku dan berada di rumah ini bersama.

Aku menggelengkan kepala, kemudian turun dari kasur untuk segera ke kamar mandi. Waktu cepat sekali berlalu, lengah sedikit, sinar matahari pasti sudah cerah menghidupi bumi. Beres melakukan kewajiban, aku bergegas ke dapur untuk menyiapkan sarapan Hans dan berniat membawakannya bekal makan siang juga. Apa pun yang akan terjadi nanti, aku sudah siap menghadapi, berusaha siap lebih tepatnya karena aku tak punya pilihan masuk akal lainnya.

"Aku nggak bisa sarapan kecil."

"Nggak harus nasi, tapi porsinya nggak bisa sedikit."

"Aku suka ketoprak. Lontong."

Aku memegang kepala mulai pening mengingat makanan favorit Hans karena tidak mungkin membuatnya pagi-pagi begini dengan waktu yang sangat mepet. Terutama lontong. Gimana caranya membuat lontong dalam waktu singkat? Belum lagi kemungkinan gagalku akan beberapa kali. Jelas tidak bisa terselamatkan pagi ini.

Satu-satunya yang memungkinkan hanyalah spaghetti aglio e olio.

Sarapan spaghetti?

Apa tidak masalah?

Apa pun itu, aku terima nanti. Sekarang dengan cepat aku mengeluarkan udang di freezer dan selama menunggunya bersih dari es, aku mendidihkan air untuk merebus mi spaghetti. Sekarang aku mulai menyiapkan bumbu, mencincang bawang putih, dan menyiapkan bumbu-bumbu lainnya. Yang tak boleh dilupakan adalah irisan cabai karena Hans suka makanan pedas.

"Va?"

"Hei!" Aku berbalik dan tersenyum lebar. Tidak menyangka waktu beneran bergerak cepat atau aku yang memang butuh waktu lama untuk memasak. Hans bahkan sudah mengganti pakaiannya dengan pakaian kerja. Rapi, wangi, dan terlihat seperti lelaki yang benar-benar siap memiliki keluarga harmonis. "Aku ... lagi siapin sarapan buatmu, Mas. Tapi tentu, pertama-tama, kopi item. Tunggu dulu."

"Aku bisa—"

Aku berbalik, menatapnya dan menggeleng. "Please?" Melihat dia mengangguk, lalu duduk di kursi menghadapku, aku berusaha bergerak dengan cepat. Membuatkan kopi untuk Hans tidaklah sulit karena dia tidak butuh kreasi yang aneh-aneh. Tidak perlu ada percobaan apa pun. "Ini kopinya."

"Thank you, Re."

Aku tersenyum dan mengangguk. Berbalik badan lagi untuk melihat kondisi mi—shit, sepertinya ini terlalu lama. Aku refleks melihat ke arah Hans dan seolah mengerti, dia menganggukkan kepala. Apakah ini tidak terasa aneh? Bukan soal tekstur mi yang kemungkinan kematangan, tetapi aku dan Hans, Hans yang tak berubah sikap sama sekali.

Bukankah akan lebih wajar kalau dia berbeda mengingat apa yang terjadi semalam dan apa yang dia katakan dan rasakan itu? Atau dia sedang memaksa diri untuk bersikap biasa saja sementara dirinya terluka.

Aku mendesah pelan dan menggelengkan kepala, lalu bergerak cepat melanjutkan apa yang sudah aku mulai. Tak perlu waktu lama untuk sampai pada step akhir, yaitu meletakkan parutan keju parmesan di atas spaghetti, dan menghidangkannya untuk Hans. "Silakan, Mas. Mungkin ini kurang okay buat sarapan." Aku meringis.

"Ini kelihatan enak kok. Terima kasih, Re."

"Sama-sama." Setelah menyodorkan segelas air putih, aku ikut duduk di kursi di sebelahnya dan kembali berbicara. "Nanti buat makan siang, aku bikinin lontong sayur? Umm, ketoprak, yang ada lontongnya. Aku ojekin ke kantormu nanti ya, Mas."

"Makasih banyak, tapi kamu beneran nggak perlu serepot itu. Makan siang gampang dicari, kamu nikmati waktumu hari ini."

"Aku punya banyak hari untuk dinikmati kok, Mas."

Dia meletakkan garpu, lalu menoleh dan menatapku dalam diam. "Rasanya menyiksa ya, Va?"

"Apanya? Masakin kamu? Enggak kok, aku kan memang suka—" Mulutku berhenti ketika melihat dia menggeleng sembari tetap menatapku serius.

"Berusaha jalin hubungan sama orang baru, di saat perasaanmu sama seseorang di masa lalu belum beneran berakhir." Mendengar tembakan pertanyaan itu, seketika napasku tercekat. "Paket salah anter itu ... Danar kah? Dia orang yang sama yang di supermarket dan bikin kamu nangis." Aku tahu momen ini akan tiba. Yang tidak aku tahu dan bayangkan adalah bahwa aku tak bisa memberinya jawaban satu kata pun. Untuk menenangkanku atau menenangkannya. "It's okay." Senyum simpulnya terbit. "Kamu nggak punya kewajiban buat kasih tahu aku. I'm just genuinely asking." Tangannya mengelus lenganku pelan dengan ekspresinya yang masih sama tenangnya. "Kalau kamu udah beneran capek, just let me know."

Terus apa yang akan dia lakukan ketika aku memberi tahunya?

Menceraikanku?

Aku menggelengkan kepala dan menatapnya tajam. "Gimana kalau aku nggak akan pernah bilang capek, Mas? Kamu masih mau di sini terus? Atau kamu yang nyerah karena kamu udah nggak mampu lagi berbaik hati ke aku?"




---

aduh, Reva, jangan sampe aku sundut palamu.

yang mau ngeng same tamat bisa ke KK yaa ibu-ibu menawan sekalian, muach!

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top