tiwifl || 33
Orang bilang, sesuatu yang terasa indah, tetaplah menjadi hal yang jarang dilakukan. Karena begitu keindahan dari aktivitas atau sesuatu itu terlalu sering kita rasakan, maka menjadi tak ada bedanya dengan yang lain. Berkurang nilai spesialnya.
Semacam itu, lah.
Tapi, rasa-rasanya, aku tidak terlalu percaya. Bukan tidak percaya, aku hanya sedikit bingung. Belanja bulanan—sebenarnya ini tidak tentu, kadang bulanan, kadang aku pergi belanja mingguan sendiri, tidak ada aturan mengikat tentang kapan harus membeli kebutuhan—bersama Hans belum bisa disebut sebagai aktivitas rutin yang kami lakukan, yang seharusnya begitu bagi pasangan suami istri pada umumnya. Benar begitu, bukan? Itu kenapa perasaannya masih begitu istimewa. Rasa gugup ketika aku ingin mengambil barang pribadi dari rak, mengingat nanti dia yang akan membayarnya. Diskusi tentang menu-menu makanan sembari berjalan menuju rak makanan instan, bahan mentah, freezer, dan sebagainya.
Kalau mengikuti logika kalimat tadi, artinya aku harus membuat aktivitas ini menjadi langka agar rasanya tidak berkurang, kan? Padahal mungkin saja, nanti, ketika semuanya menjadi lebih nyaman, ketika aku dan Hans tak perlu merasa gugup dan canggung satu sama lain, kami akan lebih sering belanja berdua.
Mungkin saja.
Diam-diam, harapanku membesar.
"Belanjaan buat dapur, udah keceklis semua, Mas," ucapku setelah memasukan sesame oil ke dalam rak yang sudah dipenuhi barang—yang aku maksud penuh adalah secara harfiah, bahkan aku tadi harus hati-hati memasukkan produk terakhir. "Kamu ada yang mau dibeli dan nggak ada di sini? Yang aku belum tahu kebutuhan dan favoritmu, mungkin?"
Kepalanya mengangguk. Hans membuat trolley kami berada di pinggir, berusaha memberi ruang untuk orang lain lewat, kemudian tangannya melepas gagang trolley. "Tunggu sebentar." Lalu meninggalkanku berdiri di lorong rak bersama barang-barang yang menggunung.
Aku mengetukkan kaki ke lantai, menyentuh produk-produk yang ada di rak tanpa niat benar-benar membacanya. Yang diperlukan sudah dibeli, jangan hanya karena nanti mataku membaca sesuatu yang menarik dari informasi produk, lalu tanganku dengan yakin memindahkannya ke dalam trolley.
Ah, dia sudah kembali.
Aku memasang senyuman lebar setelah menyadari keranjang kecil yang dia tenteng. Dia pun memasang senyum tipis, lalu meletakkan keranjang— "Mas biar aku aja yang bawa."
"Nggak susah?"
Bahuku merosot sembari menatapnya sebal.
Hans buru-buru menggeleng dengan tawa kecil yang keluar. "Aku beneran tanya, nggak ada maksud negatif, suwer."
Suwer.
Aku tak bisa menahan tawa mendengar kata yang sudah langka di telingaku. Apa yang melandasinya mengubah kata 'sumpah' menjadi 'suwer' di dalam percakapan kami ini? Tanpa menjelaskan apa pun pada Hans, karena aku yakin dia terlalu pintar untuk tidak memakai kelanjutannya, aku langsung mengambil keranjang kecil itu dan membawanya bersamaku. Sementara dia dengan kedua tangan—damn, aku merasa tertohok lagi setelah sekian lama akhirnya bisa melihat pemandangan ini. Those veins on his forearms. Salah satu pemandangan paling indah adalah laki-laki ketika mendorong trolley. Look at his shoulder! Men are one of the most magical creatures on the planet.
Aku memperhatikan Hans yang sedang berdiri memandangi rak snack kacang-kacangan. Ternyata dia menyukainya. Mengambil beberapa bungkus almond dan cashew—kacang jambu mete. Lalu dia menoleh dan aku terkesiap karena tidak siap. "Kamu mau beli snack apa, Re?"
"Ummm ... wait, tunggu sini, Mas!" Tanpa menunggu responnya, aku berjalan cepat-cepat untuk ke deretan rak lain. Kami berbeda, aku suka camilan yang berhubungan dengan cokelat, apa pun itu. Kalau pun harus chiki, aku mau yang gurih dan tidak sehat kalau dikonsumsi dalam jumlah banyak. Tentu saja, siapa makhluk yang bisa mengkonsumsi chiki dalam jumlah sedikit?
"Sori, sori." Snack-ku terjatuh, tetapi aku yang refleks bilang maaf pada orang di sebe—mengambil semua produk yang sudah kuambil dan memeluknya susah payah, aku buru-buru bergegas meninggalkan lorong ini.
Tetap dia menahan tanganku.
"Rey."
Aku memejamkan mata, menarik napas sepelan mungkin berharap mampu memenangkan hati dan kepalaku. Aku tidak ingin menyesali tindakanku hari ini, di tempat ini. Ketika membuka mata, dia masih di dana, dan aku akhirnya memaksa diri untuk kembali menatap matanya. Fokus hanya pada matanya. His dangerous eyes. Salah satu keajaiban dari dirinya yang membuatku dulu menobatkan dia sebagai ciptaan Tuhan paling indah. Manusia senang hal-hal berbahaya dan di waktu yang sama, membuat begitu banyak kupu-kupu di sekitar tubuh.
"Apa?" Hanya satu kata yang mampu aku ucapkan setelah ribuan perdebatan di dalam diriku sendiri.
"Kamu belanja sama siapa?"
"Suamiku." Tenang, tegas, tak terusik. Tiga kondisi yang sangat ingin aku tunjukkan padanya dan aku berharap itu berhasil.
Danar menganggukkan kepala, tak terlihat informasi itu mengejutkannya. Aku tertawa miris. Dia jelas tidak akan terkejut. Dia pasti sudah mendapatkan informasi yang dia mau dan butuhkan. Lagipula, apa yang tidak bisa dia dapatkan ketika menginginkan sesuatu? Bahkan menghancurkan mimpi dari perempuan yang katanya paling dia cinta pun bisa dia lakukan dengan begitu mudah.
Aku mengernyitkan kening ketika dia memandangi barang-barang dipelukanku, kemudian menoleh pada rak, lalu tangannya mengambil satu snack dan meletakkannya pelan di tumpukan barang, di pelukanku.
"Kamu nggak pernah bisa ketinggalan ini." Senyumnya terbit. Senyum terburuk yang pernah ada dan aku berharap senyum itu berhenti diciptakan karena tidak ada yang mau melihatnya lagi. Tidak ada manfaat apa pun dari terciptanya senyum itu. "Dulu kalau habis belanja, terus kamu inget belum beli ini pas kita lagi makan, kamu heboh dan mau balik lagi demi dia." Tubuhnya bergeser mepet dengan rak, lalu tangannya dengan tanpa malu menyentuhku dan menggeser tubuhku pelan karena ada orang yang akan lewat.
Rasanya sudah cukup.
Apa yang aku berikan pada laki-laki ini sudah lebih dari yang aku inginkan dan mampu. Aku tidak memiliki kewajiban untuk mendengarkan dan membalas setiap kata-katanya. Apa pun yang dia katakan dan lakukan di muka bumi ini, aku hanya akan tetap menganggap kami adalah makhluk yang berbeda. Jadi dengan cepat, aku berbalik dan berjalan meninggalkannya tanpa mengucapkan kata apa pun.
Dia yang membuka mulutnya lagi dan mengatakan, "Aku udah cerai, Rey."
Kalimatnya membuatku menepi dan terdiam setelah memastikan kami tidak bisa saling melihat lagi. Sembari berusaha tetap memeluk barang-barangku, aku mendongakkan kepala, berharap bisa menghalau air mata karena jemariku tak mampu mengelapnya. Shit, air mata ini tetap turun, dengan susah payah aku menghapusnya menggunakan lengan.
Namun, aktivitasku terhenti ketika bantuan datang, menyodorkan tangannya, mengelap mata dan pipiku dengan jemarinya. Aku menatap Hans yang tak mengatakan apa pun, tak ada ekspresi yang bisa aku coba pahami. Dia meminta barang-barang dari pelukanku dan memindahkannya ke dalam keranjang bersama dengan kacang-kacangannya tadi.
"Ada lagi yang mau dibeli?"
Dengan kaku, aku menggeleng.
"Kita pulang sekarang?"
Aku mengangguk.
"Mau makan di sini atau langsung pulang, Va?"
Aku memaksa suaraku keluar. "Pulang aja gimana, Mas?"
Dia tidak ingin bertanya banyak hal atau minimal sesuatu? Sepertinya tidak. Sekarang kami berjalan menuju meja kasir dan selama itu, aku sedang menangis darah di dalam hati, berusaha untuk tetap normal di wajah. Bagaimana bisa, aku menangisi laki-laki tak bermoral, di saat bersamaan aku sedang bersama lelaki paling beradab? Bagaimana bisa, hatiku membenci sekaligus merindukan laki-laki yang tak pantas itu dan di saat bersamaan aku sedang mengemis maaf dari Hans?
Bagaimana bisa, informasi dari Danar tadi terasa seperti kunci pagar yang terbuka.
Aku pasti dinobatkan sebagai perempuan paling egois dan tak bermoral.
---
ih kangen banget nonton bioskop:(
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top