tiwifl || 32
Yep, aku beri tahu sekali lagi, tidak ada yang terjadi semalam selain dia mengecup pipiku lembut.
Sebenarnya, aku juga tidak bisa menyebutnya 'tidak terjadi apa-apa' dengan kesan meremehkan satu kejadian itu. Kecupan lembut di pipi tidak bisa diremehkan mengingat bagaimana awal hubungan kami dulu. Bagaimana aku menunjukkan ketidaktertarikan padanya, sedikit pun. Bagaimana aku berusaha menyakinkannya bahwa dia bukan lelaki yang aku pilih dan bukan yang aku mau, jadi jangan harap ada sentuhan apa pun.
Dengan berkaca dari semua itu, kecupan lembut yang terjadi semalam adalah hal istimewa, bukan?
Tapi aku juga memahami kekecewaan yang menyelimutiku dari semalam. Karena aku merasa, tidak, aku yakin aku tidak salah melihat dan merasa—damn, kata 'merasa' ini terdengar sangat subjektif di saat aku begitu ingin menyakinkan orang lain selogis apa pendapatku—bahwa Hans menatap bibirku ketika dia mengatakan 'boleh'. Dengan refleks memejamkan mata, aku sudah sangat yakin kecupannya akan mendarat di sana.
Ini sangat konyol, aku sedang ribut besar dengan diriku sendiri perkara sebuah kecupan yang dianggap salah tempat. Menyayangkan dan bertanya-tanya, kalau kecupan itu bukan di pipi, kalau kecupan itu berhasil tepat di bibirku, apa yang akan terjadi? Apa yang berubah dari semua ini? Bagaimana perasaanku dan sikapku pada Hans keesokan hari? Bagaimana sikapnya terhadapku?
Atau jangan-jangan, dia tak bisa 'menyentuhku' karena memang dia tidak mau? Entah karena tidak bisa karena seksualitasnya atau sesimpel dia belum memaafkan aku yang dari awal menolaknya?
Nyatanya, semua pertanyaan-pertanyaan itu hanya menjadi bukti kemajuan dari bakat baruku; overthinking.
Thanks, Rey!
"Papa Amar kayaknya impressed sama skill-mu main golf, Mas." Aku tertawa pelan, langsung memasang sabuk pengaman begitu kami selesai berpamitan heboh dengan Mama-Papa. "Dia tadi izin kalau akan sering ajak kamu keluar. Mungkin nggak cuma golf, tapi ke acara-acara dia. Dia beneran definisi dari ekstrovert. Kayaknya kalau nggak socialize, dia lemes banget hidupnya."
Hans mengangguk-angguk kepala sembari tertawa pelan. Dia juga sudah selesai memasang sabuk pengamannya, kini mulai menyalakan mesin, kemudian menurunkan kaca mobil, dan melambaikan tangan pada Papa-Mama sebelum mobil kami benar-benar melaju meninggalkan area rumah. "Beliau bilang—" Beliau, pemilihan kata yang membuatku menutup mulut untuk menahan tawa. Seperti sedang membicarakan Bapak Presiden. "—seneng karena akhirnya punya temen buat hobinya. Soalnya, anak satu-satunya dunianya beda. Aku pinjem kata-kata Papa Amar; princess-princess-an."
Aku tergelak.
Namun, ketika mengingat sesuatu, aku secara impulsif mengembuskan napas lelah, menggelengkan kepala karena sama sekali tak berniat mengingat masa lalu; seindah apa pun hubungan Danar dengan keluargaku.
It was him.
Dulu laki-laki itu yang menjadi teman Papa melakukan hobinya di saat aku sedang sibuk dengan dunia perempuan bersama Mama.
"Nggak ada maksud untuk negatif, tapi aku salut banget sama sikap Papa Amar."
"Kenapa?"
"Waktu main golf itu, ada beberapa yang curi-curi pandang, bahkan ada yang terang-terangan ajak ngobrol. Perempuan muda. Tapi Papa Amar beneran sesuai tujuannya di sana. Kalaupun tanya ya sama couch, butuh sesuatu tanya orang yang berwenang di sana. Kalaupun cari teman baru untuk buka relasi, dia pilih laki-laki. Beliau bilang ada kenalan perempuan, tapi yang Beliau yakin nggak ada tanda-tanda ke arah sana."
Aku tersenyum lebar, ikut merasa bangga. "Papa sayang banget sama Mama."
Dia mengangguk.
"Emang laki-laki tuh tahu, ya, orang yang ngajak kenalan buat make a friends atau tadi kamu mungkin nyebutnya buka relasi untuk profesional, atau ajak kenalan buat ke arah ..." Aku memberi tanda kutip sambil meringis. "You know."
"Kebanyakan tahu, sih. Beberapa kasus mungkin memilih nggak menunjukkan kalau kita tahu." Tapi bagaimana bisa dia tidak tahu kalau aku semalam tidak keberatan diberi lebih dari kecupan pipi?
"Mungkin nggak ada pengecualian?"
Kepalanya meneleng. "Pengeculian?"
"Ya, pengecualian. Misal, ada momen atau seseorang yang entah saking mulusnya, kalian nggak ngeh sama tujuannya. Mungkin karena kondisinya yang complicated juga."
"Mungkin aja." Dia kembali menoleh kilat untuk memberiku senyum simpul. "Nggak ada yang nggak mungkin, katanya, kan?"
"Right." Aku tertawa geli. Menertawakan diriku sendiri karena menyadari pengecualian itu mungkin saja sedang terjadi padanya, pada kami. "Anyway, Laura apa kabar, Mas?" Aku menatapnya bingung ketika mendengar Hans terkekeh. "What?"
"Aura."
Menepuk jidat, aku akhirnya tertawa lepas. "Ya Allah, aku selalu nambahin L padahal udah gampang banget namanya Aura. It's Aura, Rey, kenapa sih, Laura mulu. Ada apa sama Laura?" Tawaku terhenti, aku menggeleng-geleng kepala, tak habis pikir dengan diri sendiri. "Lama-lama aku namain anakku Laura deh nanti, biar puas nih alam bawah sadarku nyebut nama salah mulu." Aku merasa ada yang salah ketika merasa suasana mendadak hening. Tak ada jawaban apa pun dari Hans, untuk itu aku menyerongkan tubuh sedikit, menatapnya. Tetapi tidak mengatakan apa-apa.
"Kamu punya cita-cita punya anak, Va?" tanyanya pelan, tanpa berusaha menolehkan kepala melihatku.
Mengangguk pun tidak yakin dia akan melihat, aku memilih untuk menjawab dengan antusias. "Iya dong! Jadi ibu salah satu cita-citaku, Mas. Aku mau jadi ibu yang baik. Aku tahu nggak ada yang sempurna, tapi aku mau belajar kurasi mana-mana sikap Mama yang aku rasa kurang di aku, jadi nanti aku modifikasi. Bagian yang keren, aku mau terusin ke anakku." Kekehanku keluar merasa sangat konyol membahas ini sementara tidak jelas bagaimana kehidupan di depan kami. Pernikahan ini saja aku belum yakin akan berhasil atau Hans menyerah nantinya.
Aku melihat dia memasang senyum di wajah dan mengatakan, "Semoga berhasil, ya. Aku yakin cita-citamu nggak mustahil." Dia terdengar sangat tulus mengatakan itu, dengan cepat dan yakin aku mengaminkan di dalam hati.
"Kalau kamu ... cita-citamu pengen jadi sosok papa yang gimana, Mas?"
"Yang gimana, ya." Hans mengambil waktu, terlihat berpikir. Tak lama, aku melihat sudut bibirnya terangkat sebelum lanjut mengucapkan, "Aku nggak pengen ditakuti anakku, aku justru pengen jadi sosok yang bikin dia nyaman buat diskusi, ngaku kekeliruannya, nyusun masa depannya, menyelesaikan masalahnya. Dan yang paling penting, aku mau dia anggap aku tim buat bahagiain mamanya."
Shit.
Yang dia bicarakan belum tentu aku dan anak masa depan kami, tetapi mendengarnya pun aku merasa sangat terharu. Tak ada orang tua yang sempurna, bagaimana pun prinsip mereka dalam mendidik anak. Akan selalu ada celah untuk dikritik, tetapi satu hal yang sama dan pasti; orang tua yang menyayangi anaknya menginginkan kehidupan yang baik untuk anak mereka. Dengan jalan dan rintangan yang mungkin berbeda.
Aku juga tidak tahu, apakah tepuk tangan pelanku yang impulsif ini diperlukan.
Obrolan penuh mimpi itu berakhir ketika kami menemui lampu merah, seketika topiknya random membahas lampu merah paling lama, ide asal-asalanku tentang lampu merah dan apa yang dilakukan orang-orang di waktu menunggu lampu hijau.
Selanjutnya, obrolan menjadi panjang lebar tentang apa pun, tentu saja kebanyakan aku yang mengganti topik karena aku mengatakan apa pun yang aku lihat dan pikir. Hans dengan mudah dan baik hati menanggapi semuanya seolah ini pembicaraan yang serius. Salah satu sikapnya yang aku kagumi.
Aku melihat Hans sibuk berjongkok mencari-cari sesuatu di kursinya padahal kami sudah sama-sama berada di luar mobil. Lalu ketika tubuhnya berdiri, dia menatapku. "Re, tolong ambilin kotak merah di bagasi, bisa kah?"
"Bisa dong!" jawabku dengan senyuman lebar. Ternyata tak sulit mencarinya karena bagasinya nyaris kosong alias bersih, sementara kotak merah itu berada rapi di sana. Sendirian. Aku mengangkatnya setelah menyembulkan diri. "Ini, Mas? Cuma ada ini."
"Betul."
Aku mengangguk dan membawa kotak itu kepadanya.
"Tolong bawa masuk, ya. Aku bawa beberapa barang ini." Dia mengangkat dua tas kertas dan tas laptop.
"Okay!"
Sembari berjalan memasuki rumah, aku melirik kotak merah cantik di depan dadaku ini. Tidak ada pita untuk ditebak sebagai kado, jadi aku mengira ini barang pribadi Hans. atau mungkin hadiah dari klien sebagai ucapan terima kasih. Hal itu merupakan hal yang lumrah, kan?
Aku meletakkan kotak itu di atas kasur, kemudian berjalan untuk menaruh tasku hari itu ke dalam lemari. Kulihat, Hans sedang membereskan isi dari tas kertas itu ke meja keras dan memasukkan beberapa file ke lemari kerjanya. Mata kami bertemu dan aku tersenyum. "Aku atau kamu dulu yang mandi?"
"Gimana kalau kamu buka kotak itu dulu?"
"Aku? Itu bukannya punyamu?"
"Punyamu."
Meski kebingungan karena merasa tidak menitipkan apa pun padanya, tetapi aku tetap menurut, kembali mendekati kotak itu dan mengangkatnya. Membuka bagian atas dan aku langsung menemukan sebuah handbag dengan warnah merah darah. Tak ada kesan menusuk mata, tas merah ini justru terlihat seperti perempuan cantik, seksi, dan begitu tegas. Setelah mengelus permukaan tas dan mengaguminya, aku akhirnya mengangkat kepala dan menatap Hans. "Ini buatku, Mas?"
Kepalanya mengangguk.
"Dalam rangka?" Aku tertawa pelan. "Aku nggak ulang tahun deh."
"Kemarin selesai golf, Papa Amar ajak aku makan di salah satu resto favoritnya, di dalam mal. Waktu pulang, lewatin store itu." Ia menunjuk kotak di tanganku dengan tangan menengadah ke atas, seolah sedang presentasi di depan profesor atau hakim ketua. "Terus aku nggak sengaja liat di etalase. Cantik. Aku keinget kamu. Menurutmu cantik nggak?"
Bahuku merosot, aku menatapnya tak percaya. "Siapa yang berani bilang ini nggak cantik coba?" Aku mengeluarkannya dari kotak dan mengangkatnya ke sisi wajah. "I love it so much. Thank you, Mas."
Hans tersenyum sambil menganggukkan kepala.
"Aku nggak nyangka kamu seromantis ini."
"Itu bisa disebut romantis kah?"
Aku meringis, merasa jadi tidak yakin dengan kalimatku sendiri. Mungkin Hans benar, ini bukan romantis, tetapi ... orang aneh mana yang pulang olahraga malah membeli tas seksi seperti ini?
Hans, kamu memang penuh kejutan.
---
harusnya posting besok atau lusa, tapi mau nemenin hari liburmu siapa tahu kamu gabut di atas kasur, muach!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top