tiwifl || 28
"Buat anak paling cantik dan baik yang ada di dunia."
Aku tidak mampu memberi reaksi lebih baik dari air mata yang tiba-tiba mengalir di pipi. Ini jelas bukan bunga pertama yang diberikan Papa Amar untukku, tetapi kali ini rasanya menyesakkan mengingat apa yang sudah terjadi pada kami, karena ulahku. Rasa bersalah benar-benar menyelimuti keseluruhan tubuhku dan aku sungguh tidak tahu bagaimana cara untuk membersihkannya.
Setelah menerima tulip indah itu, aku langsung memeluknya dan mengucapkan ribuan kata maaf. Kalau bisa, aku ingin menghabiskan satu hari ini dengan memohon maafnya. Tetapi aku tahu laki-laki paling baik ini tidak akan mengizinkan itu terjadi, dia mengelus kepalaku dan berbisik, "Makasih, yaa udah dateng ke sini buat Mama."
"Buat Papa juga," jawabku lirih. "Buat aku. Buat kita. Aku akan lakuin apa pun buat mempertahankan apa yang kita punya ini, Pa. Rerey beneran minta maaf karena nggak pernah bersyukur, karena jahat sama Papa dan Mama. Maaf ...."
"Nggak pa-pa, semua orang pernah salah, pernah keliru, begit juga Papa dan Mama. Papa juga minta maaf karena mungkin sok tahu apa yang terbaik buat ka—"
"No. Papa memang tahu, kalau pun nggak tahu dan mungkin keliru, tapi niat kalian baik dan aku harusnya nggak sejahat ini nanggepinnya."
Kami berpelukan sekali lagi, kemudian memasuki rumah dan bertepatan dengan Hans yang baru turun. Tubuhnya terlihat segar dan mengeluarkan harum semerbak. Dia mengangguk dan tersenyum pada Papa Amar, kemudian mereka bersalaman. "Gimana kabarnya, Pa?"
"Baik, alhamdulillah baik. Kamu apa kabar, Hans?"
"Baik, alhamdulillah."
"Mama mana? Tadi katanya mau langsung makan malam?"
"Di kamarnya sih tadi. Mandi mungkin. Mau aku panggilin?"
"Oh nggak usah, Papa aja sekalian Papa mandi juga deh. Nggak pa-pa, ya, nunggu sebentar."
Aku tertawa. "Santai, Papa mandinya secepat kilat. Kalau Mama yang ngomong mandi bentar baru aku nggak percaya." Membahas mandi, aku jadi teringat dengan Hans yang memerlukan waktu lebih lama daripada yang aku kira. Lalu aku iseng melanjutkan kalimatku. "Lagian kayaknya semua cowok mandinya cepet banget, ya, Pa? Sebenernya Papa beneran mandi nggak sih?" Aku melirik Hans untuk melihat reaksinya, tetapi sepertinya tidak sesuai dengan harapan. Dia diam, tenang, terlihat tidak merasa ada yang salah dengan apa yang aku katakan.
Papa tertawa. "Mandi lah, gimana bisa nggak mandi. Kamu bisa tanya Mama deh, seberapa bersih badan Papa." Papa meninju lengan Hans. "Coba Hans kasih tahu Rerey tutorial mandi cepat tapi tetep bersih."
Aku penasaran dengan respon Hans, jujur aja.
Tapi laki-laki itu hanya tertawa pelan—aku tahu ini bukan 'hanya' kalau mengingat siapa dan bagaimana sikap Hans sehari-hari—lalu menganggukkan kepala. "Boleh, nanti."
Papa mengangguk, kemudian pamit untuk naik ke kamarnya.
Dalam hati aku meringis mengingat reaksi Hans tadi. apakah dia sungguh tidak sadar kalau mereka berdua sedang menjelaskan jangka waktu yang tak sama?
Dia sepertinya bahkan tidak menyadari waktu yang dia butuhkan lebih lama dari laki-laki pada umumnya. Atau mungkin, dia merasa semua lelaki sepertinya. Wait a minute, kalau memang benar begini faktanya, artinya Hans tidak pernah berhubungan dengan lelaki, kan? Kalau dia tidak memahami lelaki sampai ke tahap pribadi di kamar mandi, artinya pertanyaan Laila dan Arka hanya pertanyaan konyol.
Tapi kenapa dia terlihat tidak tertarik padaku?
Atau hanya memang aku yang tidak menarik baginya?
Lamunanku buyar ketika aku mendengar handphone Hans berdering. Dia mengangguk yang aku artikan sebagai permintaan izin untuk menerima telepon yang tentu saja aku mengiyakan. Kami sama-sama duduk, tetapi di sofa yang berbeda. Tidak ingin terlihat menguping apa yang dia bicarakan, aku memilih untuk meraih handphone milikku sendiri dari atas meja dan membuka social media untuk distraksi.
Tapi sebenarnya, aku tidak mau terdistraksi, melainkan memasang telinga dengan baik untuk bisa mendengar apa yang dikatakan Hans. Karena mustahil aku bisa mendengar ucapan lawan teleponnya.
"Lagi di rumah Mamanya Reva, kenapa Mbak?"
Terlalu banyak 'Mbak' di dalam kehidupan Hans yang aku tahu, jadi aku tidak bisa menyimpulkan spesifik orangnya. Aku juga mendengar beberapa kali dia menyebut kliennya dengan sebutan 'Mbak', begitupun untuk kakaknya—tapi yang tahu aku hanya Mbak Raras, kan? Oh tidak juga, Rey, klien Hans yang anaknya kebetulan akrab dengan Hans itu juga sudah mengenalku.
Ya Tuhan, aku sudah lupa namanya!
Meli?
Terasa keliru tetapi aku tetap tidak ingat yang benar.
"Oh ..." Kenapa dia melirikku setelah mengatakan 'oh'? Aku refleks mematikan layar handphone dan menatap Hans sambil menggoyang kepala pelan, meminta informasi. "Sebentar aku tanya, aku juga lupa judulnya." Dia memangku benda itu, kemudian bertanya padaku, "Va, judul drama Thailand yang kamu bilang itu apa?"
"Drama Thailand? Maksudnya, Mas?"
"Waktu itu kamu bilang lagi cari tahu nama aktornya karena habis nonton drama. Aku cerita ke Mbak Raras kalau kalian punya hobi yang sama dan dia ...." Hans menggaruk kepalanya, kemudian tersenyum ... malu? Apa ini? Sementara aku merasa gugup karena sudah terjerembab di dalam lubang kebohonganku sendiri waktu itu. "Mau cari tahu dulu sebelum nanti ajak kamu buat nonton bareng."
"Ha ..." Aku meringis. Menggaruk leher sambil sibuk memikirkan solusi. "Bentar, Mas, aku lupa judul persisnya. Sebentar, yaaaa." Aku buru-buru mencari drama Thailand romantis di browser dan memilah asal, apa pun deh untuk menutupi ini dan aku berjanji setelah ini akan benar-benar menontonya dan mulai mendalami drama Thailand. Supaya selamat. Bagaimana bisa hidup menjadi selucu ini, Rey? Aku tidak habis pikir dan tidak pernah terpikir sebelumnya akan terjun bersama para fans drama Thailand akibat jawaban impulsif yang berujung kebohongan. "Nah ini!" seruku berusaha antusias. "Judulnya ... When Snail Falls in Love, Mas." Aku tertawa. "Untung judulnya pakai bahasa Inggris, bukan cuma bahasa Thailand-nya."
Hans mengangguk. "Bahasa mereka susah, ya."
"Banget! Lucu lagi suaranya."
"Tapi kamu pernah ke Thailand?"
"Dulu pernah sama Mama. Barang-barang di sana lucu-lucu, kayak Korea gitu. Penuh sama hal estetik."
"Korea Selatan?"
Aku mengangguk. "Emang Korea apa la—right, nggak mungkin Korea Utara." Aku tertawa canggung, sendirian.
"Aku lanjut kasih tahu Mbak Raras dulu, ya?"
"Sure."
Handphone sudah kembali di depan telinganya dan Hans menyebut judul drama Thailand tadi dengan ragu sambil menatapku seolah meminta tanggapan benar atau salah. Aku memberinya anggukan karena aku pun tidak yakin dia menyebutnya dengan benar atau enggak. Lalu tiba-tiba dia menyodorkan handphone ke aku. "Aku kurang paham drama Thailand, drama lainnya juga, jadi Mbak Raras mau ngomong sama kamu langsung, Va."
"Ha! Okay ...." jawabku berusaha masih semangat padahal dalam hati panik bukan main. Ya Tuhan, selamatkan aku dari ketololanku sendiri. Mbak Raras setelah ini pasti akan sering menghubungiku dan membahas drama Thailand yang tidak aku pahami. "Halo, Mbak?"
"Halo, Rey! Ih si Hans ditanya banyak nggak tahunya." Mendengar omelan itu aku meringis. "Itu drama yang kamu tonton udah tamat, Rey?"
Aku tidak tahu. "Ummm, udah, Mbak. Gimana?"
"Bagus nggak menurutmu?"
"Bagus sih menurut aku."
"Oh kamu suka genre thriller-misteri gitu, ya?'
What the hell?!
Hidupmu sepertinya memang akan tamat, Rey. Thriller? Aku bahkan tidak tega melihat memukul nyamuk karena akan membunuhnya. Right, aku memang sedang hiperbola, tetapi maksudku ... melihat manusia dibunuh, disiksa dan semacamnya di layar untuk hiburan? Tidak, demi Tuhan aku hanya bisa menerima yang normal-normal aja. Drama romantis, fantasi masih okay. Tapi thriller?
Bagaimana bisa pilihanku tadi malah jatuh pada thriller?!
Aku menarik napas dalam-dalam, memberi Hans senyum karena dia sedang menatapku. Aku menelan ludah sebelum menjawab. "Iya, Mbak. Thriller bikin aku semangat nontonnya." Aku mendekatkan diri pada waktu kematianku sendiri.
"Keren, keren! Nanti aku kasih rekomendasi drama Thailand yang thriller gitu. Kalau romance suka nggak?"
"Suka kok, Mbak."
"Okay deh! Seneng banget aku tahu kamu suka drama Thailand. Soalnya kebanyakan orang sekitarku kalau nggak drama Korea ya hollywood. Padahal drama Thailand tuh bagus-bagus, ya, Rey, ya?"
"Iya setujuuuu. Semua orang harus tahu sih kalau drama Thailand bagus-bagus."
"Iyaa. yaudah kalau gitu, aku tutup yaaa."
"Okay, Mbak. Makasih, yaa!" Aku menyerahkan handphone Hans dan bertanya karena baru menyadari ini. "Mama-Papa belum turun, Mas?"
"Belum."
"Lama banget, mereka ngapain? Aku panggil ah." Aku sudah berdiri, tetapi kemudian mendengar suara bel berbunyi. Saat melihat Mbak Ika akan ke depan, aku menahannya. "Biar aku aja, Mbak. Tolong siapin makan malamnya, yaaa. Nanti aku panggil Mama."
Mbak Ika mengangguk. "Iya, Kak."
Begitu berhasil membuka pintu dan memasang senyum, seketika itu juga senyumku hilang, melihat siapa manusia yang sekarang berdiri di depanku dengan jarak dekat. Tatapan matanya. Wangi tubuhnya yang tercium dan masih sama. Napasku mendadak tidak berjalan normal. "Danar," lirihku.
"Rey, kamu apa kabar?"
Apa kabar?
Aku?
Dia bertanya kabarku?
Setelah selama ini?
Setelah apa yang dia lakukan?
Pertanyaan paling utama; kenapa dia berdiri di depan pintu rumahku?
---
yang mau baca langsung sampe tamat, bisa ke Karya Karsa yaa, udah ada 2 ekstra bab juga, muach!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top