tiwifl || 26
"Kamu yakin kamu siap sekarang, Va? Kamu tahu kamu nggak harus ngelakuinnya hari ini, kan?"
"Tapi kalaupun nggak hari ini, aku tetep harus ngelakuinnya, kan, Mas? Besok, lusa, hari setelah lusa, minggu depan, bulan depan, dan seterusnya. Dan semua itu justru akan makin berat setiap ditunda." Aku menarik napas dalam-dalam dan mengembuskanya kencang sembari memejamkan mata. Kemudian tersenyum ketika aku sudah bisa melihat wajah Hans lagi. "Jadi ... yes, aku siap sekarang. Lagian ... aku nggak sendiri, kan, Mas?"
Kepalanya mengangguk.
"Aku minta maaf ya, weekend-mu bukan buat libur dari stres tapi malah harus ngurus keributan anak-ibu."
Hans memberiku senyum tipisnya sambil menggelengkan kepala. "Don't say that." Dia memberi jeda sebentar sebelum kembali melanjutkan kalimatnya. "Aku punya banyak waktu buat ngurus semua tentangmu. Bahkan kamu bukan cuma bisa pakai waktu liburku, tapi aku akan usahain adil, even on any weekday."
Aku mengangguk-angguk penuh semangat, kemudian mengajaknya untuk berjalan keluar rumah. Kami harus mampir dulu di perjalanan menuju rumah Mama, membeli sesuatu untuk mereka. Bukan hanya tidak ingin datang dengan tangan kosong, tetapi aku ingin apa yang aku bawa sekarang bisa mempengaruhi perasaan Mama untuk memaafkanku. Sialnya, aku tidak punya ide apa pun untuk itu.
Membawa kue? Tidak terasa spesial.
Bunga? Apakah bunga?
Tidak mungkin aku gantian membelanjakannya peralatan rumah tangga seperti yang dia bawa ke rumahku—rumah Hans—kan? Mama bukan baru menikah dengan Papa Amar. lagipula, aku takut Mama semakin kecewa karena seolah aku mengembalikan semua yang dia beri.
Tidak, tidak.
Itu ide buruk.
Ya Tuhan, bahkan semua ini terasa rumit dan lebih canggung dari pertengkaran dengan kekasih.
Aku memijat kening, masih belum menemukan ide apa pun sementara mobil kami sudah mulai membaur dengan kendaraan lain di jalanan. Tolong bantu aku, Tuhan, tolong bantu sebelum tiba-tiba kami sampai di halaman rumah Mama dan semuanya tidak bisa lagi diatasi.
"Va?"
"Ya?" Aku menoleh dan memaksa senyum.
"Kamu mikirin apa?"
Aku meringis. "Keliatan, ya?"
Hans mengangguk dan tersenyum. Aku mengikuti pandangannya yang seolah menunjuk kedua tanganku yang saling meremas di atas pangkuan. Aku bahkan refleks memisahkan dan meletakkan masing-masing tanganku di sebelah paha.
"Semuanya kasih tahu kalau kamu lagi mikir berat." Hans sekarang bahkan tertawa meski pelan sekali. Dia sempat menoleh sebelum kembali melihat ke depan. "Jari-jarimu tadi sibuk, terus keningku kusut banget, wajahmu nggak happy. Kamu mikirin apa, Va?"
Aku tertawa. "Ummm ... aku bingung mau bawa apa ke rumah Mama, Mas." Tentu saja, reaksi Hans ini bisa diterima. Dia sempat melongo beberapa detik sebelum berdeham dua kali. Mungkin baginya ini konyol, karena aku bersikap seolah akan bertemu calon mertua kali pertama. Padahal, ini orang tuaku sendiri. Aku pun sadar betapa konyolnya diriku. "I know, it's weird."
"No, it's not." Dia mengatakan itu seolah benar-benar meyakinkanku kalau dia sedang memvalidasi tanpa mempertanyakan atau menertawakan. "Kamu bingung karena punya banyak pilihan atau justru karena nggak punya satu pun?"
Aku suka sekali lelaki ini dengan semua kata-katanya, penyusunannya, somehow terdengar asing dan aneh tetapi aku tidak merasa jijik atau geli. Kalaupun aku tertawa, tetapi aku yakin bukan ke arah negatif. Ah, aku bahkan tidak bisa menjelaskannya.
Pikiranku setelah mengenal Hans penuh dengan penilaian untuk Hans.
Ck, Rey, c'mon!
"Aku punya beberapa pilihan sih, Mas. Tapi nggak yakin."
"Butuh pendapatku kah?"
"Ya!" Aku mengangguk. Sedikit menyerongkan tubuh untuk menghadapnya lebih jelas meski dia hanya sesekali melirikku karena demi Tuhan dia sedang menyetir! "Aku nggak mau yang biasa kayak bawa kue, tapi aku juga ngerasa aneh kalau bawa bunga atau hadiah sweet lainnya."
"Mama suka bunga?"
"Yes."
"Bunga apa?"
Aku tertawa. "Many kinds of flowers. Tulip, rose, sunflower, orchid, daisy. Many more."
Hans mengangguk-angguk pelan, kemudian menoleh kilat. "Menurutmu aneh nggak kalau beberapa jenis bunga itu digabung? Terus kita beli vas-nya sekalian."
"Kayaknya bagus, ya, Mas," ucapku tidak yakin berupa pertanyaan atau pernyataan. Aku sungguh-sungguh tidak bisa memastikan sesuatu sekarang ini.
"Mungkin bisa ditambah sama ... diffuser? Yang ada ... reed diffuser." Dia sudah menemukannya sendiri sebelum aku membantu. Aku tertawa. Selain menjaga dirinya dengan baik, Hans juga menjaga sekitarnya agar bersih dan wangi. Luar biasa. "Atau kalau Mama suka semacam ... lilin-lilin beraroma itu, kita juga bisa beli biar jadi pelengkap bunga dan vas-nya."
Aku tersenyum lebar. "Aku nggak tahu kamu bisa seromantis ini, Mas."
"Romantis?" tanyanya dengan bibir berkedut, kemudian dia menggelengkan kepala. "Kayaknya itu kepikiran sama semua orang. Termasuk kamu tadi."
"Ya karena memang aku romantis, Mas."
"Oya?"
Kami sama-sama tertawa.
Aku romantis, bahkan terlalu romantis bahkan di luar akal sehat beberapa kali aku mengambil langkah lebih dulu dengan memeluknya. Hal paling gila terakhir kali adalah mengecupnya. Setiap mengingat ini aku benar-benar merasa perlu berdiskusi panjang dengan diriku sendiri. Ditambah ingat reaksi Hans yang hanya ... yang tidak membalas, damn, mengingatnya lagi pun terasa memalukan.
Aku berharap itu terakhir kali.
Terakhir kali memulai dan bertindak bodoh, Rey.
Please!
Herannya, doa itu belum ada satu jam lalu, tetapi sepertinya aku sudah meralatnya sendiri dengan tingkahku sekarang yang seperti perempuan dengan nasib percintaan miris, sedang memandang melas laki-laki yang memeluk buket berisi beberapa jenis bunga tengah melakukan pembayaran di kasir. Apa yang terjadi aku juga tidak paham, seharusnya tidak perlu ada yang istimewa dengan lelaki memeluk bunga, tetapi ini terlihat sangat indah. Hans yang sedang memakai jaket kulit hitam—dia tadi juga memintaku memakai jaket karena menyesuaikan kondisi cuaca hari ini—kontras dengan warna-warni bunga itu.
Kami berjalan kembali ke dalam mobil, Hans meletakkan buket itu di kursi belakang dan aku mengikutinya, meletakkan paper bag isi vas di sana.
"Kamu masuk ke dalam mobil dulu, Re, aku ada yang ketinggalan."
"Oh, okay."
Entah apa barangnya yang tertinggal di sana, tetapi aku menurut saja, bahkan sekarang sudah selesai memakai sabuk pengaman. Walaupun pada akhirnya aku tetap penasaran dengan memandangi toko besar bunga itu dan berusaha menemukan Hans di tengah-tengah bunga dan orang lainnya. Aku berhasil menemukannya. Melihat punggung Hans, dia terlihat sedang berbicara dengan salah satu karyawan, kemudian dia berjalan ... menghilang. Aku mengangguk dan mengembuskan napas. Tidak ada hal lain selain cukup dengan menunggunya kemba—ya, dia kembali, berjalan ke arah mobil dengan sebelah tangan memeluk buket mawar merah.
Aku menganga dengan banyak pertanyaan di kepala, salah satunya; itu untuk Mama?
Buru-buru aku mengubah ekspresi dengan senyuman ketika dia sudah duduk di kuris pengemudi. Tetapi ternyata ekspresiku kembali lagi saat dia menyodorkan buket itu. "Mas, ini ... nggak kebanyakan buat Mama juga?"
"This is for you." Dia tersenyum. "Aku nggak tahu kamu suka bunga apa, aku minta maaf, kita belum pernah bahas, tapi kita akan bahas. But as far as I know, you can never go wrong with roses?" Dia benar-benar terdengar tidak yakin.
Aku sudah tahu lagi bagaimana ekspresiku sekarang, persetan, yang aku lakukan adalah menghirup mawar di tanganku dan menatapnya penuh haru. "I love roses. Who doesn't anyway?" Lalu aku teringat sesuatu, aku tertawa sendiri. "Jadi ... ini meresmikan sebutanku tadi kalau kamu romantis?"
"I think so," jawabnya dengan senyum ... ekspresi apa itu? Kemudian dia mulai menyalakan mesin mobil. "Kita ke mall sebentar buat beli diffuser-nya, ya."
"Thank you, Mas. Bunganya, semuanya."
Dia belum menjalankan mobilnya, menoleh dan memberiku senyum, kemudian tangan kirinya mengelus lengan kananku. Haruskah aku mengucapkan terima kasih dengan mengecupnya kali ini? Karena setidaknya, ada alasan masuk akal untuk tindakan itu? Tidak seperti terakhir kali.
Ouch, Rey, ayolah, belajar dari pengalaman pahit sepertinya tidak sesulit itu.
Aku menggelengkan kepala, segera mencari hal lain untuk dipikirkan dan dibicarakan bersama Hans di dalam perjalanan menuju mall. "Aku suka mawar, tapi kalau cuma harus pilih satu dari sekian banyak bunga, aku selalu pilih Tulip."
"Warna?"
"All colors."
"Okay." Hans menganggukkan kepala. "That's a nice choice anyway."
"Oh ini bukan berarti mengurangi perasaanku sama mawar yang aku pegang sekarang, ya, Mas." Aku baru sadar dan mulai panik sendiri. Melihat Hans tersenyum, aku menambahkan. "Apa pun yang kita suka, tapi perasaan yang muncul ketika dikasih orang itu hal istimewa yang nggak bisa dibantah."
"Siapa pun orangnya yang kasih?"
Ouch.
Trick question. Setidaknya bagiku sekarang ini. Dia mau jawaban apa? Aku seharusnya menjawab apa? Apakah itu pertanyaan yang dia mau betul jawabannya atau dia hanya iseng merespon kalimatku tadi. Kepalaku mulai pening karena sepertinya akhir-akhir ini aku menambah passion baru; overthinking di banyak hal.
Aku tertawa, tawa super aneh, aku sendiri bisa mendengarnya.
Tapi mulutku tidak mengeluarkan apa pun. Aku pikir ini yang terbaik, paling aman adalah diam dan Hans juga pasti akan melupa—
"Jadi jawabannya, Va?"
Ha! Sepertinya dia tidak melupakan itu. Sepertinya dia benar-benar ingin menanyakan itu. Sepertinya juga dia sudah punya jawaban yang dia inginkan di kepalanya. Kalau aku bilang tidak sembarang orang tentu saja ini jawaban sebenarnya, aku sama saja meneruskan kebodohanku yang mengecupnya waktu itu. Tapi kalau aku mengiyakan siapa pun orangnya sama saja, aku secara tidak langsung menganggap bunganya ini tak spesial.
"Mas setuju nggak kalau nggak semua pertanyaan itu jawabannya 'ya' dan 'nggak'?" Melihat kepalanya mengangguk meski terlihat ragu, aku tetap sedikit tenang. "Ada beberapa hal di sana. Nah pertanyaan ini, kita biarin jadi tetap terbuka, sampai nanti ada perbedaan kondisi, dan siapa tau ada perubahan jawaban—" Aku tidak melanjutkannya lagi, meringis melihat Hans tertawa pelan sambil sebelah tangan menggosok hidungnya.
"I see what you mean," ucapnya sambil mengangguk. "Don't worry. Kita udah mau sampai, Va."
Syukurlah!
---
hai, hai, haii perempuan-perempuan manies kesayanganku! sehat dan bahagia selalu, selamat menyambut bulan Juni (udah tanggal 8 buset)! di KK sudah mau otw bab 47 anyway, muach!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top