tiwifl || 25

Ini jelas bukan kali pertama aku melihat Hans menghabiskan dan—terlihat, di mataku—menikmati hasil masakanku, tetapi ini kali pertama aku mempunyai pemikiran seperti ini. Pemikiran aneh yang malah cenderung seperti orang yang hidupnya penuh dengan kontradiksi. Bilang A, tetapi melakukan B. mempercayai C, tetapi tindakannya mencerminkan D, dan begitu seterusnya. Jujur saja, kalau dipikir ulang berkali-kali, aku malu pada Hans, pada diriku sendiri. Bagaimana bisa, manusia berubah haluan secepat itu tanpa alasan yang masuk akal?

Tidak masuk akal?

I don't think so, semua perasaan Mama, semua kata-kata yang Mama ucapkan, benar-benar membuatku demam dan aku yakin itu sangat masuk akal untuk membuatku berubah haluan. Menjadi memikirkan ulang apa arti dari pernikahan ini. Menjadi mulai mencari alasan untuk menerima ini dengan mengingat kebaikan dan kehebatan Hans yang memang nyatanya lebih banyak dibanding kekurangannya.

"Reva?"

"Ya?" Aku tersenyum lebar, mengobati rasa canggung karena ketahuan sedang melamun. Berikutnya aku menyeruput minuman hangat setelah menyisihkan dried rose yang aku seduh ini. Aku melirik peppermint tea milik Hans yang gelasnya dia genggam dengan kedua tangan, sepertinya masih ada separuh mug. "Kenapa, Mas?"

"Kamu mau ngomong sesuatu kah?"

Aku meringis, lalu tertawa pelan. Ternyata bukan hanya jago oversharing, aku pun sangat mudah terbaca oleh orang lain. Apa yang sedang aku lakukan, aku rasakan, dan apa pun. Ini mengerikan. "Yes," jawabku jujur.

"Silakan, Va."

"Ini soal ... Mama." Aku menunduk memandangi gelas minumanku, menyentuh pinggirannya dengan jari. "Aku ... mau minta bantuan, lagi. I'm so sorry."

"Sorry for what?"

Aku mengangkat kepala dan menatapnya lagi. Melirik gelasnya sudah berpindah ke atas meja, dan sekarang dia memangku tangannya dan sedikit mencondongkan tubuhnya, menatapku. "Karena ... manfaatin kamu? Aku ngerasa aku jahat banget, bilang kamu bukan pilihanku dan di waktu bersamaan, aku libatin kamu di segala hal. Tapi aku janji, aku akan tebus semuanya, kamu boleh minta apa pun ke aku atau mau aku lakuin sesuatu buat kamu, aku akan—" Aku terdiam. Hans juga juga tidak mengatakan apa pun. "Aku akan turuti, Mas."

Kepalanya mengangguk. "Obrolan terakhir kita masih berlaku kah?"

"Yang mana?"

"Ajakanmu soal pernikahan ini supaya jadi pernikahan sesungguhnya."

Tentu saja aku mengangguk.

"Kalau gitu aku dan kamu beneran pasangan suami-istri?"

"Y-ya," jawabku ragu. Bukan ragu akan apa maksud dari pertanyaannya dan apa jawabanku, tetapi lebih ke ... aku tidak tahu apa yang sebenarnya ingin dia sampaikan.

"Menurutmu suami-istri itu gimana, Va?"

"Umm ..." Aku menutup kembali bibirku dan menatapnya dalam diam. Mencoba mencerna maksudnya supaya aku tidak salah menjawab atau tidak paham arus. Tetapi aku tidak memahami apa pun dan aku bertaruh dengan apa pun nanti sikapnya setelah ini. "Aku nggak paham maksudmu gimana, Mas."

Dia tersenyum? "Karena yang aku tahu, pernikahan itu nggak pernah menjanjikan suka tanpa duka, Re. Pernikahan itu juga kehidupan yang jelas isinya beragam. Justru dengan pernikahan, artinya kita bangun satu ruang bareng seseorang untuk jalani kehidupan itu sendiri. Ruang yang bikin kita nyaman untuk terbuka, ruang yang jadi tempat kita nyiapin bekal atau bahkan evaluasi tindakan kalau-kalau ada yang salah. Apa yang dilakuin sama partner selama jalani projek? Saling supports satu sama lain in many ways. Yang satu kurang perform, satunya berusaha cover. Nggak ada istilah satu manfaatin satunya, kan?"

Aku benar-benar tidak mampu bereaksi dengan kata-kata. Terkesima dengan mulut terbuka. Menatapnya dengan perasaan campur aduk. Kalau biasanya, kalimat 'baiknya' itu berdampak menyakitkan tanpa aku merasa perlu sakit, kali ini dengan cara yang sama, hanya beda rasa. Dadaku seperti baru saja dipenuhi energi baik untuk menjalani hari.

Lalu sekarang senyumku muncul, sepertinya aku sudah tahu bagaimana membuatnya bisa berbicara dan berekspresi banyak.

"Jadi kamu mau minta tolong apa soal Mama?"

"Aku belum pernah berantem sehebat ini sama Mama. Kita sering berantem tapi hal-hal sepele di rumah. Yang kali ini sampai bikin aku sakit." Aku tertawa miris sambil menggeleng-gelengkan kepala, Hans juga tersenyum geli. "Dan sekarang aku nggak tahu gimana cara baikan sama Mama. Aku harus ngomong apa, aku nggak punya pembelaan, Mas."

"Mungkin memang nggak ada dan nggak perlu?" Entah itu jawaban atau pertanyaan untukku. Kami saling tatap tanpa ucap, hingga 3 detik berikutnya dia kembali membuka mulut. "Kamu nggak harus punya pembelaan untuk setiap masalah, Va. Menurutku." Dia menambahkan sambil meringis, tentu saja aku paham.

Aku hanya tertawa pelan.

"Karena kadang ... kita cuma perlu mengaku? Kita jelasin kenapa kita lakuin itu, kita jelasin perasaan kita, terus kita minta maaf dan usaha gimana caranya dia bisa menerima dan mau maafin."

"Tapi menurutmu aku jahat banget ke Mama, ya, Mas?"

Hans tidak mengangguk atau menggeleng, dia menjawab dengan kata-kata. "Posisimu dan Mama itu, kan, nggak sama, Re. Jadi dampak yang dialami juga pasti beda. Nggak bisa bilang kamu jahat ke Mama, begitu pun sebaliknya, kita nggak bisa simpulin Mama jahat ke kamu. Yang Mama lakuin mungkin sedikit nggak adil buat kamu sebagai anak. Jahat baiknya seorang ayah, kamu pasti tetep penguin ketemu dia, kenal dia, cari tahu alasannya, and so on. Tapi Mama ... dia punya alasan masuk akal kenapa dia lakuin ini, salah satunya berharap kamu nggak sakit hati dengan kemungkinan kehadiranmu ditolak sama ayahmu, kedua kali."

Aku menundukkan kepala dan mengembungkan pipi karena sudah siap menangis mendengar semua itu. Hans benar. Mama benar. Tetapi aku beruntung karena Papa tidak menolak kehadiranku seperti saat aku ada di kandungan Mama. Papa menerimaku dengan sangat baik dan membawa begitu banyak penyesalan. Tetapi kebaikan dan kehangatan Papa Aji tidak seharusnya menjadi alasan aku menyakiti Mama dan Papa Amar yang mengerahkan segala hal untuk membahagiakanku.

"Aku ... aku takut Mama nggak mau maafin aku lagi, Mas."

"Kita nggak tahu kalau kita nggak coba?" Tangannya pada akhirnya meraih tanganku, aku tiba-tiba merasa sangat lega, seolah sampai pada sesuatu yang aku harapkan. Ya Tuhan, Rey, kamu benar-benar mengerikan. "Mungkin nggak berhasil satu kali, dua kali, beberapa kali, tapi orang bilang, nggak ada istilah mantan anak dan mantan ibu, Va. Kasih sayang kalian akan bikin kalian berdua baikan, eventually."

Aku mengangguk-anggukkan kepala. "Lagipula, dimaafin sekarang atau seribu tahun lagi, aku tetap harus usaha, kan, ya, Mas?" Dia tidak merespon, tentu saja itu pertanyaan aneh. "Sekarang aku juga bingung gimana aku harus bersikap ke Papa Aji. Gimana kalau ternyata syarat Mama maafin aku nantinya adalah dengan jauhin Papa Aji?"

"Karena itu hipotesis, kita masih punya waktu, Va. Kalaupun kesimpulan itu bener, nanti kita cari solusi gimana baiknya tentang Papa Aji."

"Kamu ..." Aku ragu akan mengatakan ini, tetapi aku tahu aku sangat membutuhkan ini. "Kamu mau nemenin aku, Mas?"

Kepalanya mengangguk.

Aku tersenyum lebar dan begitu saja sudah mendekatkan diri untuk memeluk Hans. Saat sadar, aku meregangkan jari-jariku dari punggungnya dan terdiam sambil menelan ludah, menunggu respon Hans. Apakah dia akan menganggapku aneh dan ilfeel? Tetapi pada akhirnya senyumku muncul di dadanya, saat aku merasakan tangannya melingkari tubuhku juga. Bahkan tidak tahu malunya, aku merasa ini seperti lampu hijau dan dorongan agar aku bisa melakukan lebih. Sekarang aku menarik kepalaku sedikit, menatapnya sambil tersenyum, kemudian dengan cepat aku mengecup rahangnya sebelum aku sadar ke realita. Mungkin aku memang serakah karena dengan bodohnya berharap yang lain dan itu darinya, tetapi kenyataan yang aku terima adalah Hans tersenyum dan tangannya mengelus pipiku.

Itu saja.

Itu saja?

Bukan kah kalau mengingat bagaimana Hans, itu sudah melebihi dari apa yang biasa? Ini bukan karena maumu yang terlalu banyak, kan, Rey? Hanya karena kamu berubah haluan, mengatakan pada Hans kamu mau mencoba, lalu kamu berharap banyak hal.

Get well soon, Rerey.

Musuh terbesar memang adalah diriku sendiri.



---

hai, haiii! di KK sudah sampai bab 45 yawww!

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top