tiwifl || 24
Creamy Garlic Chicken.
Satu-satunya menu yang terpikirkan di kepalaku untuk dinner bersama Hans. Tentang menu makanan ini, menurutku adalah hal unik ketika kita kadang kala hanya mampu mengingat satu menu meski berusaha untuk mencari pembanding lain. Jadi, aku menyebutnya jodoh. Menu yang terpikir saat itu, aku biasanya akan benar-benar mewujudkannya. Beda cerita kalau memang ada kendala satu dan lain hal.
Aku memikirkan itu ketika tadi dia mengabari akan sampai di rumah sekitar pukul 18.00 - 19.00. Waktu yang ideal untuk makan malam dan mempersiapkannya. Tetapi aku tahu itu bukan waktu yang nyaman untuk dia yang di jalan. Karena dia pasti harus minggir mencari masjid untuk ibadah sholat maghrib mengingat waktunya sangat singkat dan aku yakin tidak akan keburu kalau menunggu melakukannya di rumah.
Aku meringis setelah membuka freezer dan hanya menemukan daging ayam bagian dada. Padahal, yang tadi aku bayangkan adalah paha, demi bisa merasakan daging yang lebih empuk. Tidak masalah, aku bisa membuatnya dengan beberapa potongan dada ini. Sekarang, aku akan memarinasi daging ini dulu, meninggalkannya sekitar satu jam—kalau kamu melakukannya lebih atau kurang dari waktu tersebut, jangan ribut, bebas menjalankan preferensi masing-masing—baru nanti akan membuat cream sauce-nya.
Aku memastikan bayam sebagai sayuran juga penghias ada, kemudian oregano dan parsley ... oh ya Tuhan, aku melupakan cooking cream! Bagian terpenting! Napasku lolos lega ketika melihat bahan itu ada lemari. Aku sendiri tidak merasa pernah belanja ini, jadi pasti Hans yang membelinya. Senyumku refleks muncul menyadari bahwa lelaki itu benar-benar tak terduga. Dia tidak berbohong ketika mengatakan bisa melakukan segalanya di dalam rumah, tanpa perlu merasa apakah ini tugas seorang perempuan atau tugas laki-laki.
Mungkin hal-hal baik ini adalah hal mendasar yang tak perlu aku glorifikasi, tetap saja, aku masih boleh mengaguminya, kan? Seharusnya juga, aku bisa menilai semua kebaikan Hans ini dan menimbang untuk mulai menghargainya sebagai suami, bukan malah ignorant dengan tetap pada pendirian bahwa Hans bukan lelaki yang aku pilih.
Padahal kalau dipikir-pikir, dia sangat menarik, baik secara fisik maupun karakternya. Tubuhnya wangi dan rapi. Emosinya terlihat stabil. Dia juga sangat sopan meski tak selalu membalas ceritaku dengan sama banyak kata. Setiap dipanggil, yang menoleh bukan hanya kepalanya, tetapi seluruh tubuhnya menghadapku. Benar-benar merasa dihargai.
Baiklah, sekarang aku akan menunggu waktu untuk mulai memasak dengan menonton series. Aku punya banyak sekali daftar judul untuk ditonton, tetapi terkadang yang tidak ada malah mood menontonnya. Giliran semangat bukan main mau terhanyut dalam alur drama, tidak menemukan satu pun judul yang menarik. Manusia memang serba salah setiap tarikan napasnya.
Sungguh aneh.
Yang tak kalah aneh adalah sikapku kali ini, hari ini. Berkali-kali aku meyakinkan diri—menurutku bukan denial, karena memang beginilah yang aku rasakan—bahwa Hans bukan pilihanku, jadi seharusnya perubahan rencana menjadi lebih manusiawi tidak perlu membuatku seperti ini. Aku pernah jatuh cinta tentu saja, dan aku tahu ini bukan seperti itu. Perasaanku setiap berada di dekat Hans, memikirkan Hans, bahkan setelah kami berbaikan sangat berbeda dengan perasaanku saat penuh cinta pada D-things. Aku tidak mau menyebut nama lelaki itu.
Tapi tindakanku agak mirip, karena aku pernah mengalami ini, ketika tahu aku akan bertemunya di pukul tertentu setelah sekian lama LDR, aku tidak pernah tenang melakukan apa pun. Bahkan untuk hal-hal yang aku sangat suka lakukan dan biasanya membuatku tidak ingat waktu; salah satunya menonton series. Tapi bukannya terhanyut dalam alur, aku malah berkali-kali melihat jam dan bertanya-tanya dalam hati; sekarang kah saatnya bersiap-siap?
Sekarang aku mengalaminya.
Ouch.
Aku butuh distraksi yang lebih dari ini.
Setelah mematikan layar tablet, aku langsung mengibaskan selimut, dan menuruni kasur. Kemudian keluar kamar untuk ruangan di bawah. Aku akan menyalakan vacuum dan membersihkan beberapa ruangan, tergantung kemampuanku nanti. Suara dari benda ini dan fokus pada apa yang aku bersihkan paling tidak membuatku lupa untuk melirik-lirik jam dinding. Setelah selesai dengan alat ini, aku menyalakan air purifier dan tak lupa juga pewangi ruangan.
Mungkin besok giliran kamarku, tetapi sekarang aku mau pindah ke halaman depan untuk melihat tanaman-tanaman yang tak terlalu banyak itu. Memastikan tidak ada daun yang busuk atau kering, mereka mendapat asupan yang baik, membuang rumput yang tak diharapkan.
Setelah selesai, aku akhirnya membersihkan tangan dan bersiap di dapur sesuai waktu yang sudah aku perkirakan. Aku memulai dengan mengupas bawang putih dan mencacahnya kecil-kecil, kemudian menyiapkan beberapa bumbu lain. Setelah itu, aku memasak dada ayam yang sudah aku marinasi tadi menggunakan unsalted butter, ini agak krusial karena takut tidak matang sampai ke dalam. Untuk itu, biasanya aku menyalakan api sangat kecil, tidak masalah membutuh waktu sedikit lama. Sekarang tinggal menumis bawang putih dan memasukkan perbumbuan, kemudian cooking cream secukupnya, setelah dia sedikit mendidih, aku menyemplungkan bayam yang sudah aku bersihkan, dan terakhir adalah pemeran utamanya; ayam yang sudah aku masak tadi.
Aku tersenyum sendiri melihat makanan ini karena rasanya luar biasa. Kini aku beralih ke karbohidratnya, yaitu kentang. Karena aku hanya punya stok baby potato, maka aku hanya akan membelahnya menjadi dua bagian. Kemudian mencucinya, aku beri sedikit garam, lada, dan bubuk parsley, lalu aku masukkan ke dalam airfryer. Untuk Hans, aku nanti akan menambahkan roti, mengingat dia makannya lebih banyak dariku, tetapi nanti ketika kami sudah siap makan. Untuk sekarang seperti ini dulu.
Terakhir sebelum aku membersihkan diri, aku membuat jus jeruk untuk kami berdua dan memasukkannya ke dalam kulkas.
Aku harus mandi dan wangi.
Melakukan ibadah wajibku, baru kembali turun ke dapur. Namun, belum sempat sampai di dapur, aku mendengar pagar dibuk, dan dengan semangat membara, aku berjalan cepat ke depan. Benar saja, Hans sedang berdiri memegang pagar, lalu tersenyum padaku, sebelum dia kembali ke dalam mobil dan membawanya masuk langsung ke garasi. Tetapi kemudian aku tertegun melihat dia berjalan ke arahku tidak sendiri, ada seorang perempuan bersamanya yang tersenyum ramah.
Aku membalas senyumannya.
"Masuk dulu, Mbak?" tanya Hans pada perempuan itu.
"Oh di sini aja nggak pa-pa, Mas Hans."
Hans mengangguk. Dia menatapku. "Ini klienku, Va, akta cerainya ketinggalan di rumah, jadi tadi sekalian ke sini buat ambil."
"Oh okay." Aku tersenyum. "Tadi harusnya kabarin aku aja, Mas, aku bisa kirim ke kantormu."
"Iya tadi soalnya saya sekalian lagi ada di area deket kantor Mas Hans, Mbak." Klien Hans yang menjawab dengan senyum. "Makanya tadi saya telepon Mas Hans, ternyata ketinggalan, jadi saya bilang nggak pa-pa saya ambil sekalian aja, daripada kalian repot kirim-kirim, kan."
Hans mengangguk, kemudian pamit untuk masuk ke dalam.
"Ke dalam aja, yuk, Mbak, aku bikinin minum?"
"Oh nggak usah, Mbak, terima kasih banyak. Aku beneran harus pergi lagi. Ini udah pesen taksi juga kok."
Aku mengangguk dan tersenyum. "Okay."
"By the way, pengantin baru, ya?" tanyanya dengan senyum menggoda.
Aku tertawa pelan. "Bisa dibilang begitu."
"Soalnya terakhir saya ke sini Mas Hans masih sendiri. Tapi cuma dua kali juga deh saya ke sini selama proses perceraian. Dia nggak nyaman kalau soal kerjaan di area pribadi kayaknya, kalau nggak kepepet banget atau kayak gini ... udah akhir kerja sama."
Aku tertawa lagi. "Pendiam dia, ya? Kalau soal kerjaannya gimana, Mbak? Diem juga kah?"
"Kayaknya kalau kerjaan pengacara mah nggak diem." Dia tergelak. "Cuma emang ngomongnya kalau waktu perlu aja, beneran profesional, dan justru saya seneng sih, dia beneran menghargai privasi saya, nggak semena-mena minta klien terbuka dengan embel-embel untuk kebutuhan sidang."
"Emang ada, Mbak?"
"Adaaa!"
Aku mengangguk-anggukkan kepala. Tentu ada, setiap manusia memiliki celah kekurangan dan kadang itu tidak pandang profesi.
"Nah itu dia." Klien Hans berdiri dan menerima amplop yang diberikan Hans. "Sekali lagi terima kasih banyak ya, Mas Hans. Saya minta maaf banyak repotin." Saat dia tertawa, aku ikut tertawa dalam hati. Tentu banyak merepotkan, itu kenapa dia hire Hans sebagai pengacaranya, kan?
Kami—aku dan Hans—melambaikan tangan pada perempuan yang tak sempat aku tanya namanya, sebelum akhirnya dia masuk ke dalam taksi dan menghilang. Sekarang aku menatap Hans dan tersenyum lebar. "Mau mandi dulu atau langsung dinner?"
Hans menatapku dari atas ke bawah, kemudian tersenyum simpul dan mengangguk. Mungkin dia menyadari hanya dirinya yang belum mandi di sini. "Aku mandi dulu. Kamu udah masak buat dinner kah?"
Aku mengibaskan rambut sambil tersenyum lebar. "Kamu pasti akan suka."
Memandangi beberapa detik entah apa yang dia pikirkan. Tidak ada kerutan dahi, alis menyatu atau sudut bibir terangkat. Atau aku salah ucap dan gestur? Apakah dia—tangannya mengelus kepalaku seperti tadi pagi! Kemudian turun ke bawah, dia mengelus lenganku sebelum akhirnya mengangguk dan tersenyum. "Tunggu sebentar, ya, aku mandi dulu."
Aku mengangguk.
Lalu menggelengkan kepala.
Tidak sebentar juga, Mas, mandimu lumayan lama.
"Dan terima kasih udah disambut dengan indah lengkap dengan dinner yang udah siap."
"Indah?"
Dia mengangguk, tetapi tidak menjawab atau menjelaskan maksud dari indahnya barusan. Malah melangkah melebar meninggalkanku menebak-nebak sendiri. Dia, kan, belum lihat tampilan makananku, tidak mungkin dia bisa menyebutnya indah. Aku melirik diriku sendiri yang memakai ivory dress di bawah lutut dengan motif bunga ukuran kecil dan beberapa. Apakah dia memuji dress-ku indah?
Aku mengedipkan mata berkali-kali agar segera sadar, juga bergidik ngeri pada pemikiranku sendiri.
Masih terlalu sore untuk membuat fake scenario di kepalamu itu, Rey.
---
hai, haiiii! di KK babnya sudah sampai 42 yaaa! isinya sama, cuma soal mana yang lebih cepet ajaahhh, muach! met libur dan istirahat sayang-sayangku! selamat hari waisak buat yang merayakan!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top