tiwifl || 23

Tidak ada yang berubah setelah apa yang aku dan Hans bicarakan tentang hubungan kami. Kami masih tidur dengan jarak—aku tidak tahu bagaimana menjelaskannya, apakah akan diam dan menerima ketika dia mulai mendekat atau justru aku yang seharusnya memberi izin lewat verbal?

Tapi aku tidak melakukan apa-apa.

Aku yang biasanya tidak mudah merasa terganggu dan menjalani banyak momen dengan biasa saja, tetapi semalam rasanya sulit tidur. Canggung, bingung, dan bertanya-tanya dengan keputusanku sendiri. Kalau sampai aku nanti berubah pikiran lagi dan kembali pada niat awal, aku akan menobatkan diriku menjadi orang paling keji di dunia ini dan aku tidak berhak mendapatkan kebahagiaan juga keadilan di dalam hidup. Kenapa? Pertama, aku menyakiti Mama dan Papa Amar akan berkali-kali. Kedua, Hans sudah menerima semua rencana tidak muliaku sejak awal, lalu dengan anehnya, semalam aku mengubah semuanya dan memohon padanya agar ikut kontribusi lagi, dan dia mengiyakan. Lalu kalau sampai aku kembali mundur, aku tidak yakin aku ini manusia.

Nah, sekarang ini ... aku sedang bengong di dalam kamar, mondar-mandir tetapi belum menemukan keputusan apa pun. Padahal aku punya waktu yang lumayan, mengingat Hans mandi tidak secepat para laki-laki yang aku tahu. Aku sudah berada di depan lemari pakaian, tetapi aku berjalan lagi mendekati ranjang. Sekarang aku menatap lemari itu laki dan menimbang-nimbang apakah ideku ini adalah keputusan yang baik.

Menyiapkan pakaian kerja untuk suami bukan sebuah kesalahan, kan?

Suami?

Ha ha ha!

Aku menoyor kepalaku berkali-kali karena merasa sangat malu pada diriku sendiri. Malu dengan ide menggelikan akibat menjilat ludah sendiri. Bukankah dia sama sekali bukan lelaki pilihanmu, Rey? Ada apa dengan menyiapkan pakaian kerja untuk suami?

Tapi kami sudah berbaikan!

Hans bahkan bilang dia tidak ke mana-mana sejak awal, dia tetap berada di tempatnya, justru aku yang waktu itu ada di ujung, berbicaranya dengannya dari jarak yang sangat jauh dengan suara keras dan mungkin terkadang pesan dari komunikas kami tidak sampai. Apalagi sekarang aku sudah sampai di hadapannya setelah berlari kencang. Jadi, seharusnya, tidak masalah, kan?

Ya!

Aku tahu, kenapa harus menjadi masalah.

Aku menggelengkan kepala, membuang semua keraguan dan ketakutan yang terus menahanku untuk bertindak mulia di dalam pernikahan ini. Itu pasti ulang iblis yang tak suka ketika suami-istri dalam hubungan yang aman. Aku tidak perlu mendengarnya. Kalaupun nanti ternyata akan menjadi masalah, aku akan hadapi nanti. Tapi tunggu dulu, pakaian seperti apa yang dikenakan oleh seorang pengacara yang akan mewakili kliennya di sidang perceraian?

Shit!

Aku berbalik dan sibuk mencari handphone untuk searching sedetik. Seharusnya sama saja, pakaian laki-laki saat formal ya itu-itu aja. Kemeja putih, dasi, celana panjang berbahan kain dengan warna gelap, jas. Jadi aku mencoba keberuntungan dengan mengeluarkan kemeja putih Hans yang digantung rapi berjejer, mengambil celana warna abu tua, lalu jas yang dilindungi cover, kemudian ... di mana dia meletakkan dasi-dasinya? Aku meringis, merasa tidak ada gunanya selama di sini. Aku memang pernah mencuci pakaiannya beberapa kali, tetapi tidak pernah menyusunnya di dalam lemari.

Ya Tuhan, maafkan aku.

Ha! Aku refleks menolehkan kepala ke belakang begitu mendengar suara pintu kamar mandi terbuka. Cengiranku sudah melebar entah semengerikan apa ekspresiku sekarang ini yang seolah sedang kepergok melakukan tindakan tidak senonoh. Hans di sana dengan wajah bingungnya, menutup pintu pelan, lalu berjalan mendekatiku. Dia tidak mengatakan apa-apa, tetapi kepalanya dimiringkan sedikit dan tatapannya terus menatapku. Saking paniknya, aku mengalihkan pandangan dan ... good job, Rey! Kamu malah memandangi handuknya yang melilit pinggang.

Tenang, aku dengan cepat sadar dan kembali menatap matanya. "He, Mas. Udah selesai?" Kalau belum, dia tidak akan berdiri di depanku sekarang ini, Rey. Kamu tahu itu. Otakmu paham itu. Yeah, I know!

Kepalanya mengangguk.

"Ummm, aku ... aku ini nih!" Dengan tawa yang terdengar jelas canggung, aku memperkenalkan pakaiannya yang sudah aku siapkan di atas kasur. "Baju kerjamu. Bener nggak, Mas?"

Dia mendekat, menatap pakaiannya sendiri, kemudian melihatku lagi. "Bener. Thank you, Va."

Aku mengangguk, kelewat antusias. "Tapi dasinya ... aku nggak tahu tempatnya, belum tau. Tadi aku cari-cari di laci lemari nggak ada."

"Di laci lemari yang itu." Dia menunjuk rak putih berisi 5 laci. "Dua bawah barang-barangku, termasuk dasi dan jam tangan. Tiga laci atasnya barang-barangmu."

"Ha!" Aku tertawa, menganggukkan kepala menatap rak itu pedih. Kenapa tadi tidak terpikir untuk melihat di sana? Don't hate me, ini kali pertama, jadi wajar kalau ada kesalahan. Aku akan belajar lebih baik setelah ini. Janji. Oh wow, jangan sekarang dulu! Buru-buru aku membuang muka dan merasa masih kurang, aku berbalik badan ketika melihat Hans mulai memakai kaos dalam dan sudah pasti seterusnya.

Seharusnya tidak perlu sepanik ini, tetapi hanya karena obrolan kami tentang mencoba menjalani hubungan sebagaimana normalnya manusia lain, aku benar-benar merasa seperti kehilangan jati diri. Merasa malu, canggung, bingung bersikap, sementara aku lihat Hans ... dia tidak ada perubahan apa pun. Atau ... dia juga sama di kepalanya? Dia cuma pandai meng-handle-nya?

Entahlah.

"Mas, aku ke bawah dulu buat siapin kamu sarapan, ya?" Tanpa melihat dan menunggu jawabannya, aku langsung melangkah, tetapi ...

"Va, Reva?"

... langkahku yang bahkan belum sampai pintu sudah berhenti, membalikkan badan untuk melihatnya lagi. "Ya, Mas?"

"Kopi aja, boleh?"

"Tentu boleh! Tapi ... kenapa kopi aja?"

"Aku takut nggak keburu waktunya, tapi nanti aku pasti makan." Sudut bibirnya terangkat membentuk senyum tipis, sangat tipis. "Sidangnya mulai jam sembilan."

"Tapi ini ..." Aku melirik jam di dindin. "Masih jam enam?"

Kepala Hans mengangguk. "Lebih baik punya waktu luang daripada buru-buru."

"Ah I see." Aku tersenyum lebar. "Black coffee aja kalau gitu?"

"Yes, please."

Aku mencubit bibirku kencang selama menuruni tangga, karena aku tidak bisa berhenti tersenyum. Apa yang istimewa dari membuatkan Hans kopi hitam? Apa yang istimewa dari kopi hitam? Apa yang istimewa dari aktivitasmu di dapur? Rey, kamu benar-benar tidak terselamatkan. Bagaimana mungkin perasaan manusia bisa berubah sedrastis ini? Mengecam kehadiran seseorang, menjadikannya alat dari strategimu, lalu sekarang tersenyum menggelikan saat membuatkannya sesuatu. Paling parahnya, di momen kamu sedang dimusuhi mamamu.

Mama.

Entah bagaimana nanti aku akan berbaikan dengan Mama.

Mungkin aku akan meminta bantuan Hans lagi—pendapatnya. Aku senang mengajaknya ngobrol, mendengar perspektifnya yang aneh dan seringkali bertolak belakang denganku. Tetapi tentu saja aku tidak boleh egois, aku akan mencari waktu ketika dia sedang longgar, yang jelas tidak hari ini. Aku memang tidak tahu apa yang dirasakan seorang pengacara pada proses perceraian, tetapi apa pun itu, bekerja tidaklah mudah.

Seseorang yang tidak bekerja sedang berusaha memberi pendapat, aku tahu.

"Mas." Senyumku lebar, menghidangkan mug kopi untuknya. "Kamu yakin nggak mau roti atau apa gitu buat nemenin kopimu?"

Kepalanya menggeleng. "Ini aja cukup. Makasih, Va."

Aku mengangguk.

Diam melihat dia sibuk menyusun beberapa dokumen, memasukkannya ke dalam tas dokumen, lalu menyeruput kopinya. Tak perlu waktu lama, dia sudah selesai dan berdiri untuk bersiap-siap. Tas yang aku asumsikan berisi laptop juga sudah dia tenteng, lalu aku berinisiatif membantunya membawa tas dokumen dan ikut berjalan ke garasi. Setelah semua aman, dia berdiri di depanku. "Terima kasih, ya. Aku berangkat dulu."

Aku mengangguk dan membalas senyumnya. "Hati-hati, Mas."

Dia tersenyum. Entah sadar atau tidak, tangannya terulur dan mengelus kepalaku, kemudian dia masuk ke dalam mobil. Sampai akhirnya mobil Hans sudah tak terlihat, aku masih terpaku di tempat sambil memegangi sisi kepalaku. Aku menelan ludah menyadari ini mungkin adalah sentuhan pertama kami selain pelukan kasihan di momen-momen dukaku beberapa waktu lalu. Elusan kepala ini dilakukan tanpa ada cerita sedih. Aku menggigit bibir karena merasa sudah muak dengan tingkahku sendiri sejak tadi pagi.

Rerey, what's wrong with you?

Ini jelas bukan jatuh cinta tapi sama menggelikannya. 



---

kemarin salah namain judul hahaha, ini baru bener bab 23 yaaa sayangkuu

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top