tiwifl || 21
Aku yang sedang menyedot debu atau apa pun kotoran yang ada di atas karpet ruang keluarga seketika mematikan mesin vacuum, karena merasa seperti ada yang memanggil dan benar saja, bel berbunyi tidak sabaran. Siapa tamu yang tidak sopan itu? Bahkan belum sempat melangkah, aku sudah keburu melihat Hans melangkah lebar dari arah dapur, menatapku penuh tanya.
Aku mengedikkan bahu, semoga menjawab pertanyaannya karena aku pun sama tidak tahunya. "Oh astagfirullah, aku tadi lupa kunci pager deh, abis beli lontong sayur tadi." Memang seharusnya, yang keluar pagar untuk membeli sarapan atau apa pun hanya Hans. Dia sepertinya tidak pelupa sepertinya.
Hans hanya tersenyum simpul, lalu mengangguk dan berjalan ke arah depan.
Meletakkan mesin vacuum bersandar di sofa, aku berjalan, mengintil di belakang Hans.
"Revandara Pramesti!"
Jantungku rasanya sudah terbang ke udara mendengar teriakan itu. Mama, dengan ekspresi penuh marah menggeser tubuh Hans dengan kasar dan dia mendekatiku, berdiri di depanku. Tidak pernah ada kabar baik ketika dia menyebut nama lengkapku alih-alih nama panggilan yang dia sendiri berikan padaku. Ditambah intonasi dan ekspresinya. Apa yang sudah aku perbuat yang membuatnya—
Aku sempat melihat Hans menutup pintu rumah dan mengatakan "Ma, kita du—"
Tangan Mama terangkat seolah meminta Hans untuk menutup rapat-rapat sementara tatapannya tak berpaling sama sekali dariku. Aku tahu, hubunganku dan Mama baik, tetapi bukan berarti aku tidak memiliki momen seperti ini, ketika kedua kakiku di atas lantai sudah mulai bergetar dan sesungguhnya pikiranku sudah tidak sadar seratus persen.
"Kamu bales dendam sama Mama? Hm? Kayak gini kamu bales Mama? Nggak kerasa ya memangnya kalau Mama tuh sayang sama kamu? Kamu bisa mikir gitu kalau Mama ngelakuin ini buat nyiksa kamu? Jadi kamu bales dengan cara yang sangat nyakitin kayak gini?"
Dia tahu?
Mama tahu hubunganku dengan Hans? Dari mana? Dari siapa?
Aku melirik Hans dengan ekor mata, tetapi lelaki itu untuk kali pertama aku menyadari ekspresinya tak tenang. Dia terlihat gelisah dengan jakunnya yang bergerak, ia menelan ludah ketakutan juga kah? Bibirnya terbuka, bergerak tidak jelas lalu tertutup lagi, dia menatapku, beralih ke Mama, kemudi—
"Lihat Mama!"
Tentu saja Mama mendapatkan apa yang dia mau, karena tubuhku dengan refleks menuruti apa pun yang dia katakan. Aku menatapnya, meski tak tahu harus mengatakan apa.
"Ma, ini bukan sepenuhnya salah Reva, aku juga terlibat di sini, jadi kita bicarain ini bertiga. Hans bisa bantu jelas—"
"Oh jadi kamu juga udah kenalan sama laki-laki itu? Diem-diem?"
Laki-laki?
Laki-laki siapa?
"M-Ma," lirihku tercekat. Aku berusaha membersihkan tenggorokan dan berharap suaraku bisa kembali normal. "Aku, maksudnya, Mama—" Sial, aku tidak menemukan kata-kata apa pun untuk diucapkan. Aku tidak mau gegabah mengucapan kata random dan itu nanti menyerang aku dan Hans. Aku tidak boleh egois, aku harus memikirkan dampak untuk Hans juga.
Dengan kasar dan terlihat tidak sabaran, Mama mengeluarkan sesuatu dari dalam tasnya dan melemparnya bengis ke lantai. Sebuah lembaran—aku tidak yakin. "Itu apa? Itu apa?!"
Dengan tangan bergetar, aku membungkukkan badan dan mengambil kertas tebal ... undangan? Aku membukanya dengan perasaan takut. Undangan apa atau siapa yang berhasil membuat Mama sedemikian marahnya padaku? Begitu melihat isi—bahkan tidak perlu membaca tulisannya, hanya perlu melihat potret berukuran kecil ini saja sudah menjelaskan semuanya. Foto Papa Aji, Mama Hawa, dan Bryan. Lalu undangan untuk hadir saat dia akan main bola di sekolahnya ini ditulis tangan yang masih belum terlalu rapi, Bryan kelas 5 SD, menurutku dia masih bayi, jadi aku selalu memaklumi tulisannya.
Pertanyaannya, siapa yang mengirim ini ke rumahku? Tidak mungkin Papa Aji atau Mama Hawa, mereka tidak pernah melakukan tindakan ceroboh ini. Kami bertemu di rumahnya atau janjian di tempat lain. Mereka tahu persis harus bagaimana. Tapi kalaupun ini Bryan sendiri yang mengirim, dari mana dia tahu alamatku dan bagaimana caranya dia meng—
"Sejak kapan kamu ketemu sama dia, Rey?" lirih Mama terdengar menyakitkan. Aku tahu dia begitu terluka, karenaku. "Sejak kapan kamu nusuk Mama kayak gini, Rey? Kenapa? Kenapa?" Kedua mata Mama sudah memerah, mungkin karena amarah juga air matanya. Dia mundur ketika aku bergerak ingin memeluknya. "Apa yang Mama lakuin dan itu nyakitin kamu banget, Rey? Berusaha kasih kehidupan dan masa depan yang baik buat kamu dengan cara ngenalin ke Hans? Kamu ternyata masih belum nerima itu? Ternyata iyamu kemarin bohong dan ini balasannya? Gimana bisa kamu ... gimana bisa kamu lakuin ini padahal kamu tahu. Kamu tau sampai mati Mama nggak akan maafin orang itu. Sampai mati rasa sakit Mama ke dia dan keluarganya nggak akan pernah sembuh. Kenapa, Rey?"
"M-Ma ...." Suaraku benar-benar tercekat, aku bahkan tidak bisa mengatakan apa pun karena sungguh tidak menyangka kejadian ini akan terjadi. Aku tahu, semua pasti ketahuan, tetapi aku tidak menyangka semuanya akan muncul hari ini.
"Apa yang kurang dari kasih sayang Mama dan Papa Amar, Rey? Apa yang kami nggak kasih dan lakuin ke kamu sampai kamu ngerasa perlu itu dari laki-laki yang bahkan nggak mau kamu hadir di dunia? Apa yang kamu pikirin, Rey?"
Aku tak bisa menahan isak tangis lagi. Hanya mampu menunduk sambil menganggukkan kepala. Apa pun yang Mama katakan sekarang benar. Dia berhak marah dan semua yang dia katakan juga fakta.
Aku yang bodoh dan tidak pernah berpikir panjang, tidak memikirkan perasaan Mama, tidak berusaha menjadikan aku di posisinya. Aku berat sebelah. Hanya berusaha memahami Papa Aji dengan semua ceritanya dan kondisi hidupnya. Aku memaklumi dan memahami kenapa Papa Aji melakukan itu, tetapi aku tidak memikirkan Mama dan Papa Amar. jadi, kalaupun sekarang Mama akan menghajarku, aku akan menerimanya.
Aku akan menerima semua konsekuensi dari perbuatanku sendiri.
Hans ada di sebelahku, aku merasakan sentuhan tangannya di lenganku, dan begitu saja, rasanya tubuhku kehilangan tulang. Aku berharap Hans cukup kuat untuk menahanku tetap berdiri. Aku meminta bantuannya di dalam hati, berharap Tuhan mau membantuku kali ini dengan memberi pikiran itu ke dalam hati Hans. "Ma, kita obrolin dengan duduk di—"
"Kamu kalau mau duduk, duduk sendiri, Hans. Sana." Mendengar kalimat menyakitkan itu, aku langsung memejamkan mata. Ingin sekali meminta Hans untuk diam demi keselamatannya, tetapi nyatanya aku menjadi manusia paling bodoh yang tak bisa menggunakan organ tubuh sesuai fungsinya. "Nggak perlu dibelain segitunya, dia juga nggak mau kamu, kok."
Mataku membeliak.
"Ya, kan?" Mama menatapku. "Bener, kan?" tawannya muncul, jelas bukan jenis tawa kebahagiaan. "Kamu bangga banget dong, Rey, selama ini lihat Mama kayak orang bodoh yang percaya banget kalau anak semata wayangnya ini sayang dia luar biasa. Ternyata di belakang kayak gini. Kamu ngetawain Mama, ya? Laki-laki itu bilang apa? Minta kamu ninggalin Mama yang suka marah dan egois dan minta kamu ikut dia? Ikut dia sama istri barunya yang muda, yang mungkin akan lebih bisa memahami kamu? Kamu juga punya adik di sana, sesuatu yang nggak akan pernah bisa Mama dan Papa Amar kasih ke kamu."
Aku menggelengkan kepala.
Menyandarkan tubuhku, terutama kepala di dada Hans. Laki-laki ini mengusap lembut pipi dan mataku, tangisku makin pecah karena aku merasa benar-benar jahat terhadap dua manusia yang ada bersamaku sekarang. Aku menyakiti semua orang.
"Kamu egois, Rey," ucap Mama pelan sambil mengusap pipinya. "Waktu kamu hancur karena Danar, kamu minta Mama paham, minta semua orang paham kalau nggak selalu obat patah hati itu dengan cara kelihatan bahagia. Kamu mau dikasih waktu sebanyak apa pun buat berduka, buat nikmatin sakitmu, buat terbiasa sama sakitmu, kamu bilang kamu nggak mampu kalau diminta maafin Danar dan move on. Kamu bilang move on bukan target dan itu harusnya berjalan natural. Bahkan meski udah move on bukan berarti harus udah maafin. Terus apa yang Mama dan Papa Amar lakuin? Kami berusaha nerima semuanya. Nemenin dukamu, memahami sakitmu, ada di momen terburukmu, nggak pernah minta kamu cepet move on. Sampai akhirnya kamu sendiri yang mulai cerita tentang beberapa cowok yang coba deketin dan kamu nggak srek karena a b c d. Kami artiin itu sebagai pintu hatimu yang terbuka lagi. Dan sebagai orang tua yang kebetulan paham rasanya sakit hati karena pria, Mama mau bantu, dengan ngenalin kamu ke Hans." Tangisnya pecah, begitu pun aku. Hanya merasakan genggaman Hans di lenganku yang menguat. "Apa Mama dan Papa Amar paksa kamu nikah saat itu juga? Enggak, kan, Rey? Kami bilang kamu boleh ambil waktu sebanyak apa pun, tapi kamu yang bilang sekarang atau nanti sama aja. Kamu yang minta nikah sekarang."
Ya, karena kepalaku yang bodoh ini menganggap lebih cepat dijalani, akan lebih cepat juga berakhir. Sekarang atau nanti, akan tetap terjadi pernikahanku dan Hans. Jadi aku berpikir, sekarang atau nanti akan sama-sama berakhir juga hubunganku dengan Hans.
"Sekarang Mama tanya, kamu udah maafin dan lupain apa yang Danar lakuin ke kamu?"
Aku tidak menjawab. Tidak berani menjawab.
"Kamu yang selalu bilang kita nggak akan pernah bisa maafin sesuatu yang nggak bisa kita lupain. Kamu nggak pernah lupa gimana Danar nyakitin itu, itu kenapa kamu juga nggak pernah bisa maafin dia, kan, Rey?"
Betapa munafiknya aku sebagai seorang anak dan seorang manusia.
"Berkaca dari pengalamanmu sendiri, harusnya kamu tahu gimana perasaan Mama sekarang. Dan orang itu kamu, anak Mama, orang yang paling Mama sayang. Yang Mama kira kita bisa ngobrolin apa pun. Ternyata bagian sepenting ini kamu lakuin di belakang Mama. Padahal Mama dan Papa Amar udah tawarin berkali-kali kalau kamu mau ketemu laki-laki itu, bareng kamu berdua." Mama mengembuskan napas kencang, memasang senyum yang melihatnya pun aku merasa sakit. "Mama tahu ini nggak mudah buatmu, ada dua sosok Papa, tapi kamu juga jangan lupa, Rey, tolong pahami kalau Mama juga belum pengalaman jadi seorang ibu. Ini pertama kali Mama hidup dan jadi ibu. Pasti ada banyak kesalahan yang Mama lakuin, tapi tolong ngingetinnya jangan sejahat ini, Rey."
Begitu tubuh Mama sudah tidak terlihat lagi, aku sudah tak memiliki sedikit pun tenaga untuk berdiri. Aku tak mengapa kalaupun harus terduduk di lantai, tetapi Hans menahanku, dia membantuku dengan cara menggendong dan mendudukkanku di sofa.
"M-Mas," lirihku sambil mendongak untuk melihat wajahnya. Dia ... barusan mengelap matanya juga. Apakah dia ikut merasa sedih? Aku merapatkan tubuh dan memeluknya erat, menempelkan pipiku di dadanya.
Hans tidak mengatakan apa-apa dan kali ini aku sangat bersyukur akan hal itu, yang dia lakukan adalah balas memeluk, mengelus punggungku lembut.
---
hai haiii! selamat menyambut weekend!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top