tiwifl || 20

Makan siang kami berjalan dengan lancar. Tak ada drama seperti yang bayangan mengerikan di kepalaku sebelumnya. Apa yang ada di pikiran sebelum ini benar-benar sebuah kesalahpahaman. Aura bukan anak Hans. Maya bukan pasangan Hans. Mereka klein yang menjadi kerabat dekat. Aura mendapatkan sosok ayah pada diri Hans—sejujurnya, bagian ini sedikit menggelitik. Apalagi ketika Hans bilang Aura sudah ada di fase dengan banyaknya pengetahuan termasuk tentang dua orang dewasa yang menjalin hubungan. Tidak mustahil, kalau nanti dia meminta Hans menikahi mamanya.

Aku rasa Hans tidak ada alasan menolak, mengingat hubungan kami juga akan berakhir. Sementara dirinya juga bukan pemujaa cinta sepertiku. Jadi, menikahi Maya tidak akan menyakitinya. Justru dia akan senang karena akan semakin lebih dekat dengan Aura.

Siapa sangka, orang yang kemarin mengklaim dirinya tidak suka menyakiti diri sendiri dengan overthinking menyakitkan, justru sekarang sedang sangat tekun menyusun naskah tragis untuk kehidupannya.

Aku, Rerey, Revandara Pramesti, sepertinya sedang tidak baik-baik aja.

Seolah sedang terkena serangan dari strategiku sendiri.

"Kamu nggak balik kerja lagi, Mas?"

Aku akhirnya membuka mulut lebih dulu, karena siapa lagi yang akan melakukannya, membuka obrolan di antara kami? Hans sama sekali tidak bisa aku tebak, jadi aku tidak berani juga mengasumsikan dia akan melakukan ini dan itu. Sekarang mobil sudah di garasi, itu kenapa aku bertanya, karena kalau dia akan keluar lagi, harusnya dia berhenti sampai di driveway saja.

"Aku kerja nanti malem." Hans menatapku tanpa terlihat bergerak untuk melepas sabuk pengamannya. "Kamu butuh sesuatu?"

Aku menatapnya bingung. "Maksudnya?"

"Aku nanti lumayan nggak bisa diganggu." Dia meringis, aku tertawa melihatnya. "Berurusan sama penasehat hukum lawan selalu challenging." Profesimu saja sudah challenging, dengan semua hal di dalamnya. Bahkan menurutku, Mas, menjadi kamu pun pasti challenging. "Jadi kalau kamu butuh aku dulu, aku bisa atur jam?" ucapnya terdengar tak yakin.

Dia baik sekali, bahkan meski hubungan kami tak jelas, dia masih memperhatikanku. Mungkin memang bukan sebagai istrinya, tetapi dia benar-benar menghargaiku sebagai manusia. Kenapa bukan lelaki ini yang kamu pilih, Rey? Kenapa bukan dia yang menjadi alasanmu memuja cinta? Ini jauh lebih sepadan dibanding Danar yang jelas-jelas memberi luka besar. Membawamu terbang tetapi menjatuhkanmu di bagian bumi paling mengerikan, dengan sengaja.

Aku menggelengkan kepala setelah berhasil sadar kembali ke realita. "Sebenernya ... aku penasaran sama apa yang tadi Mbak Maya bilang sih, Mas." Aku nyengir sambil berusaha menganalisa responnya. Apakah dia menerima ini atau defensif? "Anyway, nggak pa-pa nggak usah. Kamu silakan kerja aja, Mas, aku mau ... nonton?" Aku meringis, betapa kontrasnya aktivitas kami.

"Penasaran yang Mbak Maya bilang? Yang mana?"

Aku mengibaskan tangan. "Enggak, nggak usah. Itu bisa kapan-kapan kok. Pekerjaanmu lebih—"

"Gimana kalau kita keluar dari mobil dulu?"

Kami sama-sama tertawa.

Benar.

"Va, kamu mau mandi?"

"Sorry?"

"Mau mandi?"

Aku bengong menatapnya, berusaha mencerna pertanyaannya. Apa maksud dari pertanyaannya itu? Dia mengajakku mandi bersama atau gimana? Ya Tuhan, Rey, setelah lunch, sepertinya kamu belum sepenuhnya menjadi dirimu sendiri lagi. Ada yang hilang atau mungkin tertinggal di restoran itu.

"Kalau kamu mau mandi sekarang, aku mandi di kamar lain."

"Oh!" Aku tertawa canggung. Bodoh, bodoh sekali, Rey! Rasanya tak cukup merutuki diri sendiri di dalam hati. Bisa-bisanya aku berpikir hal-hal yang tidak senonoh? Mana mungkin, seorang Hans aku tuduh melakukan tindakan tidak bermoral seperti apa yang aku bayangkan. "Ya ampun, aku nge-blank," ucapku masih berusaha tertawa. "Kamu mandi aja duluan, Mas, aku mau ke dapur dulu. Mau bikin iced chocolate, kamu mau?"

Kepalanya mengangguk. "Boleh, terima kasih ya."

"Anytime."

Setelah meletakkan tas di atas kasur—membawa handphone bersamaku tentu saja, aku berjalan cepat-cepat meninggalkan kamar, menuruni tangga untuk segera sampai di dapur. Begitu sudah di tujuan, aku menyangga tubuh di kitchen island table dan mengatur napas di sana. Memukuli kepalaku sendiri meski pelan, tetapi aku tahu aku sangat bodoh hari ini. Apa yang membuatmu begini, Rey? Karena kebaikan Hans dengan kata-kata mengguncang duniamu di perjalanan menuju restoran tadi? Perhatiannya? Apakah selama ini kamu kurang perhatian sehingga membuatmu sebegini fakirnya? Atau sungguh karena kalimat Mbak Maya yang bilang kalau Hans ingin anak kembar?

Anak?

Kembar?

Dia bahkan bilang dia tidak akan menikah lagi karena mungkin semua perempuan memandangnya kejam sepertiku. Dia bahkan menganggap cinta tak sepenting itu. Dia bahkan ... dia tak terlihat seperti seorang lelaki yang memimpikan keluarga kecil harmonis dengan istri dan anaknya. Dia terlihat ... bukan tipe lelaki romantis seperti yang ada di media sosial ... dan dia menginginkan anak kembar?

Aku menggelengkan kepala, lalu mulai bergerak untuk membuang iced chocolate dengan banyak sekali es batu. Semoga mampu mendinginkan isi kepalaku dan membuat tenang. Untuk Hans, belajar dari pengalaman, aku akan membuatkannya nanti kalau tidak mau esnya mencair sempurna bahkan sebelum dia keluar dari kamar mandi. Aku baru tahu laki-laki bisa mandi sangat lama. Papa Amar seingat aku tidak mandi selama itu. Danar juga—persetan, siapa Danar, Rey? Makhluk mana yang dengan entengnya kamu ingat dan sebut?

Dia sudah menghilang, mungkin wafat akan lebih baik.

Ya Tuhan, maaf, jahat sekali tetapi memaafkan memang tidak pernah mudah. Apa yang dia lakukan begitu sakit, sakit sekali.

Aku duduk, masih di dapur, menikmati minuman buatanku, dan jariku sudah berselancar membuka aplikasi musik, memutar lagu yang waktu itu tak sengaja aku temukan, lalu aku begitu menyukainya. Tidak, suka tidak selalu berdampak positif. Seperti hubunganku dan lagu ini; tragis.

It's been a couple months

That's just about enough time

For me to stop crying when I look at all the pictures

Now I kinda smile, I haven't felt that in a while

It's late, I hear the door

Bell ringing, and it's pouring

I open up that door, see your brown eyes at the entrance

You just wanna talk, and I can't turn away a wet dog

But please, don't ruin this for me

Please, don't make it harder than it already is

I'm trying to get over this

I wish that you would stay in my memories

But you show up today just to ruin things

I wanna put you in the past 'cause I'm traumatized

But you're not letting me do that, 'cause tonight

You're all drunk in my kitchen, curled in the fetal position

Too busy playing the victim to be listening to me when I say

"I wish that you would stay in my memories"

In my memories, stay in my memories

Now I can't say, "Goodbye"

If you'll stay here the whole night

You see, it's hard to find an end to something that you keep beginning

Over, and over again

I promise that the ending always stays the same

So there's no good reason in make-believing

That we could ever exist again

I can't be your friend, can't be your lover

Can't be the reason we hold back each other from falling in love

With somebody other than me

Aku berharap apa yang terjadi di lagu ini tidak terjadi padaku secara harfiah. Danar mungkin kembali tetapi hanya sebatas di kepala, aku tidak bisa membayangkan ketika nanti wujud manusianya tiba-tiba ada di depan pintu rumahku, lalu aku menatap mata indahnya itu. Aku tidak tahu bagaimana harus menghadapi rasa benciku padanya ketika melihat matanya langsung.

Membayangkannya pun rasanya sudah ti—

"Reva, are you okay?"

"Allahu Akbar!" Aku menyentuh dada, menoleh ke samping dan menemukan Hans berdiri di sebelahku dalam kondisi sangat harum dan terlihat segar. Aku buru-buru mematikan lagu, kemudian nyengir. "Bentar, iced chocolate-mu tinggal aku pindahin ke mug dan kasih es batu kok, Mas." Aku turun dari kursi dan bergerak cepat untuk menghidangkan minuman pada Hans. "Silakan."

"Thank you," lirihnya sembari memberiku senyum, lalu memasukkan sedotan ke mulutnya. Aku melihat dia sudah menelan, kemudian sekarang membuka mulutnya. "Tadi lagunya kayaknya galau, you okay?"

Aku tertawa. "Itu cuma ... kamu tahu, kan, ada orang yang seneng menggalaukan diri? Suka lagu galau padahal hidupnya nggak galau."

"Ohya?"

"Ya!"

"Kenapa kok malah mau galau?"

"I don't know, kayak ... seneng aja gitu lupin lewat lagu?"

"Luapin?"

"Maksudnya ... lebih enak diterima telinga aja sih, Mas, lagu galau."

Kepalanya mengangguk-angguk pelan.

"Gimana? Chocolate-nya enak?"

"Enak."

"Nggak enek atau kemanisan?"

"Pas."

Aku tersenyum lebar, menganggukkan kepala. Kemudian memainkan sedotan dengan jariku sambil memandangi es batu milikku yang sudah tak terlihat lagi di dalam gelas. Mungkin kalau aku minum sekarang, rasanya pun sudah berubah karena ada tambahan air dari es batunya. Tapi tak masalah, pada akhirnya aku tetap meminumnya.

"Kamu tadi penasaran apa, Va?"

Aku refleks menoleh. Menyadari bahwa posisi duduk Hans adalah sepenuhnya menghadapku, aku jadi merasa kurang sopan dan buru-buru mengubah posisi kursi untuk bisa menghadapnya. Tersenyum lebar, aku menggelengkan kepala. "Nggak jadi, Mas. Kamu katanya mau kerja?"

"Nanti malem aja biar lebih fokus."

"Karena sepi, ya?" Aku meringis. "Aku berisik banget, ya, Mas?"

"Bukan, aku memang lebih bisa fokus kerja kalau malam. Kamu justru bikin rumah ini keliatan ada nyawanya." Stop there, Hans ... jangan dilanjutkan lagi karena kita berdua sama-sama tidak pernah tahu badai apa yang akan menghampiri.

Aku tertawa pelan. "Kamu beneran sesuka itu sama anak kecil, ya?"

"Kenapa?" Dia ikutan tertawa, lebih pelan dari tawaku. Bukan tertawa sepertinya, dia hanya tersenyum yang menampilkan gigi.

"Tadi Mbak Maya sempet tanya soal program, bayi karena kamu suka anak kecil dan pengen punya anak kembar." Aku mengibaskan tangan. "Bukan gimana-gimana, aku cuma ngerasa ... lucu karena aku inget kamu bilang cinta itu ada dan nggak adanya nggak kasih pengaruh apa pun di dalam hidupmu. Tapi ternyata kamu mau punya anak kembar. Menurutku itu kayak ... dua hal yang berseberangan?"

"Karena?"

"Karena ... kalau kita pengen punya anak, artinya kita punya bayangan masa depan keluarga yang manis. Anak kembar itu impian yang manis. Jadi gimana bisa kita punya impian seindah itu kalau kita aja anggap cinta sepele? Nggak mungkin, kan, kita wujudkan impian manis itu dengan milih sembarangan orang, cap cip cup?"

Kali ini, Hans tertawa pelan. "Betul." Kepalanya mengangguk. "Tapi kayaknya kamu salah paham."

"Salah paham?"

"Aku bilang cinta kayak cinnamon powder di kopi susu waktu itu, ya? Ada dan nggak adanya nggak ngaruh dalam hidup. Gitu?"

Aku mengangguk.

"Tapi aku nggak bilang kalau nggak ada kesempatan buat aku jadi suka sama cinnamon powder keesokan hari, bulan depan, tahun depan." Sudut bibirnya terangkat, aku menatapnya ngeri karena tak siap dengan apa pun kata-kata selanjutnya. Dari yang sudah-sudah, dia bisa aja menghunuskan pedang ke dadaku lagi. "Jadi itu berhubungan sama impian punya anak kembar. Itu bukan jenis impian yang aku mau dan tahu gimana cara achieve-nya, Re. Setuju sama yang kamu bilang, anak kembar bisa hadir kalau aku nemuin ibunya dulu, yang aku cinta dan cinta aku. Itu kenapa aku masukkin dua hal ini bukan ke dalam impian hidup yang aku susun strategi buat sampai sana. Let's say ... untuk dua hal itu, aku minta tolong Tuhan yang bantu. Kalaupun ada ternyata cinta buatku kayak yang kamu banggain, alhamdulillah, kalau nggak ada, nggak masalah."

"Tapi bukannya cinta dan pasangan itu nggak bisa selalu ditunggu, Mas? Kita harus gerak buat bikin dan jemput dia?"

Dia mengangguk lagi. "Sama halnya dengan ... cinta dan pasangan nggak selalu berhasil setelah kita bikin dan jemput. Karena kita nggak tahu pasti cinta dan pasangan yang kita maksud ini memang untuk kita. Kayak kita sekarang ini aja, Va. Aku coba dan aku jemput, tapi nyatanya memang bukan buat aku, kan?"

Harusnya kamu menyimpan rasa penasaranmu itu untuk dirimu sendiri, Rey. Kamu tidak pernah belajar dari pengalaman. Sepertinya, tusukan dari kata-kata Hans itu menyakitkan dan membuatmu ketagihan juga, ya?

Bodoh.



---

hai, aku lagi nggak enak badan, jadi update di wattpad dulu, lanjutannya di KK dan cerita di nihbuatjajan nanti doloe yaaww. jaga kesehatan musim batuk-pilek, huft! tapi masih hidup, alhamdulillah!

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top