tiwifl || 15
Sejauh ini, aku sangat puas dengan kehidupanku; termasuk atas sifat dan kepribadian yang aku miliki. Ini tidak memiliki intensi kesombongan sama sekali, aku mengatakan apa adanya. Tapi biarkan aku jelaskan apa yang aku maksud dengan kalimat tersebut.
Mungkin aku sudah mengatakan berkali-kali aku bukan tipe manusia yang mudah tersulut emosi, aku lebih senang membiarkan beberapa hal terjadi ketimbang memikirkannya sampai kepalaku pening. Bahkan Laila sering kali yang justru mewakili amarahku, padahal aku merasa tak perlu. Mungkin sebagian orang juga bilang aku terlalu pasrah dalam hidup, meski aku selalu membantah bahwa aku tidak sepasrah itu dalam segala hal. Aku baru menemukan pendukungku; yaitu Hans, yang mengerti dan menyebutku dalam fase padat.
Orang juga mungkin akan bilang aku terlalu menerima dan berbakti pada orang tua dengan adanya pernikahan ini, yang mereka tidak tahu, justru aku punya tujuan kuat di balik kepasrahanku. Dibalik; yaudahlah, toh nanti bisa pisah, toh nanti jadi janda juga nggak masalah, dan toh nanti lainnya.
Orang bilang, hidupku juga tenang karena aku tidak suka mencari-cari sesuatu yang kemungkinan besar akan menyakitiku. Aku adalah salah satu dari sekian banyaknya perempuan yang tak pernah menghabiskan malam-malam panjang dengan menjadi agen khusus FBI atas siapa seseorang yang sedang mendekati kita. Pembelaanku adalah, karena aku tak memiliki banyak kesempatan; waktuku sudah habis bersama Danar. Sebelum dan setelah Danar, seolah tidak ada lagi laki-laki mendekat yang membuatku sampai merasa perlu mencari tahu tentangnya hingga ke akar.
Bersama Danar pun, kami tidak pernah bertengkar atas sesuatu yang berlandaskan asumsi. Menggunakan feeling, cocokologi, dan sebagainya. Aku tidak pernah mencari tahu apa yang tidak Danar beri tahu. Aku mempercayainya, begitu pun dia padaku. Jadi, itu kenapa, begitu menerima kalimat pamitnya yang super panjang, aku tidak bertanya kedua kali atau meragukan tujuannya, aku langsung tahu dia serius.
Sakitnya luar biasa.
Sakitnya luar biasa karena pada akhirnya, aku sama kompleksnya dengan perempuan-perempuan lain. Yang bertanya-tanya, apa kurangku, apa yang tidak aku berusaha berikan padanya, apa yang tidak aku berusaha lakukan untuknya, apa yang tidak berusaha aku korbankan untuknya, apa, apa, dan apa. Aku mencari tahu semuanya, semua hal tentangnya di sana hanya agar aku tahu aku harus menerima. Menerima bahwa benar, kehidupannya di sana jauh lebih baik dan aku tidak bisa menemaninya.
Aku menyesap es kopi susu yang tadi aku buat demi bekal misi rahasia ini. Sesuatu yang jarang aku lakukan, dan terakhir melakukannya pun sudah lama, membuatku tidak yakin dengan diri sendiri. Berkali-kali mengubah posisi sila, kaki mana yang berada di bawah sebagai penumpu. Aku menggosok-gosok tangan, tetapi mampuku masih sebatas menatapi laptop di depanku ini.
Aku tahu, ketika melakukannya, aku tidak akan bisa mundur.
Jadi, apakah, besok, lusa, dan seterusnya, hal ini akan menjadi sesuatu yang aku sesali?
Aku menggelengkan kepala, lalu mengucap bismillah dalam hati, meyakinkan diri bahwa ini juga sebagian dari rencana. Aku harus mengenal partner kerja samaku dengan baik. Sebaik-baiknya. Mengenal Hans adalah pilihan yang harus diambil untuk kondisi ini. Ini pasti akan mudah kalau aku memilih jalan pintas dengan bertanya pada Mama, maka dia akan menyodorkan semua bukti hasil analisisnya terhadap Hans. Tapi aku tidak mau, aku mau dengan tanganku sendiri. Sekaligus pembuktian, kalau-kalau ada sesuatu yang dilewatkan Mama-Papa.
Sekali lagi, mereka juga manusia biasa, kan?
Pertama-pertama, aku mengabaikan akun media sosial resmi Hans. Kenapa aku menyebutnya resmi? Karena dia sendiri terbuka dengan akun ini, yang tentu saja isinya sudah lewat kurasi sebaik mungkin. Ini dunianya, bisa juga menjadi dunia profesionalnya.
Untuk mengetahui akar dalam masalah ini, tentu harus lewat jalan ilegal.
Aku mulai mencari di web pemerintah resmi tentang daftar mahasiswa seluruh Indonesia. Jurusan kuliahnya, nama lengkapnya, kapan dia masuk universitas dan apakah dia benar-benar telah menyelesaikan pendidikannya. Dia lolos, aku mengangguk-anggukkan kepala karena dia benar-benar lulusan hukum. Sekarang beralih ke kampusnya, melihat semua media sosial yang kampus itu miliki. Mencari semua komunitas yang ada di dalamnya, melihat satu per satu orang-orang—akun-akun—yang terlibat di sana. Karena seperti orang bilang, dunia ini sempit, jadi, ketika kamu menelusuri satu orang, kamu akan dibawa ke orang yang kamu kenal.
Aku meregangkan tubuh karena mulai pegal. Posisi ini sebentar lagi akan membunuhku. Untuk itu, aku beralih alat, memilih menggunakan tablet agar bisa menjalankan misi dengan posisi tiduran, tengkurap, apa pun. Karena bagian ini ternyata yang paling lama, membosankan, dan butuh ketelitian. Mengaitkan satu tanda dari postingan A dengan tanda lain di postingan B, dari orang C dan sebagainya, tidak pernah mudah.
Senyumku melebar ketika aku menemukan salah satu harta karun meski bukan ini tujuan akhir. Sebuah postingan di Facebook yang nyaris usang ini, yang menampilkan kualitas foto memprihatinkan, juga caption yang lucu kalau dibaca ulang sekarang. Aku menebaknya sebagai salah satu teman lama Hans.
Namanya Veronica Sandra.
Memang nggak ada tentang Hans di postingan itu, isinya adalah foto seluruh badan yang aku asumsikan sebagai Veronica itu sendiri, tetapi aku menemukan satu komentar yang bilang; gokil juga tuh jaket. Di sinilah jawabannya Veronica; minjem punya Hans.
Berangkat dari sana, aku menjelajahi akun Facebook Veronica dan akun lelaki yang komentar tentang jaket itu. Lalu mencari akun Instagram mereka dan tersenyum karena kehidupan mereka terlihat sangat baik, tetapi tak ada indikasi masih saling komunikasi dengan Hans. Tak masalah, aku sudah mendapatkan satu lagi petunjuk dari Veronica, yang saling berbalas komentar dengan perempuan. Mereka tak menyebut secara eksplisit nama Hans, tetapi aku tahu itu Hans dari kata kunci jaket.
Mungkin Hans dulu menjadi supplier jaket untuk teman-temannya, entah dalam hal jual-beli atau pinjam-meminjam. Yang pasti ... aku begitu penasaran dengan akun perempuan yang tak berhasil aku cari akunnya saat ini. Clue-nya terlalu luas, Raisa. Raisa siapa, kepalaku mulai pening. Apakah aku sudah bisa mulai menyimpulkan ini adalah salah satu masa lalu Hans, untuk itu aku yakin Hans masih menyukai lawan jenis?
Ck, terlalu dini untuk sebuah kesimpulan.
"Reva?"
"ALLAHUAKBAR! Mas???" Seolah ketahuan melakukan hal tak terpuji, aku dengan panik duduk dan merangkak menutup laptop kasar, dan meringis karena baru menyadari tadi aku melempar tablet begitu saja. Buru-buru aku meraihnya untuk mengunci layar. Sekarang aku berusaha mengatur napas sambil tersenyum dan menuruni— "Oh My God! Sorry!" Aku kembali terduduk di pinggir kasur dan menarik selimut untuk menutupi dada hingga ke kaki. Aku sungguh tidak tahu dia akan pulang hari ini. Aku mengenakan set piyama dengan celana super pendek meski atasannya panjang. "Kamu ... pulang?"
Dia mengangguk.
"Kenapa nggak bilang?"
"Kenapa?"
"Oh!" Aku tertawa dan menganggukkan kepala. He's right, kenapa juga dia harus pulang? Pertama, ini rumahnya. Kedua, aku bukan istri sungguhannya.
"Selama kamu di rumah, kamu nggak kunci pager, Va?"
"Oya?" Aku berusaha mengingatnya karena merasa sudah aman, tetapi seketika menepuk jidatku. "Ya Allah aku lupaaa, tadi abis buang sampah kayaknya. Sorry, Mas. Enggak akan lagi." Aku mengikuti arah pandangannya yang terlihat sangat serius menatap ... begitu menyadari ke mana arah tujunya, aku meringis. Benar-benar merasa malu karena sudah semena-mena mengganti set sprei dan bedcover dengan warna pink dan aksen mawar-mawar kecil. "Nanti aku ganti, maaf, Mas."
Kepalanya menggeleng. "Bagus kok." Lalu dia berjalan ke meja kerjanya, meletakkan tas tenteng di atas meja dan kopernya di lantai.
Aku hanya sempat melihatnya duduk dengan wajah yang lebih pucat dari biasanya, tetapi aku buru-buru memanfaatkan waktu dengan berjalan ke lemari setelah melilitkan selimut di pinggang. Mencari celana dari atasan ini yang versi panjang, kemudian berlari ke kamar mandi untuk berganti. Keluar kamar mandi, aku berjalan mendekap selimut dan kembali mendekati kasur. Hal pertama yang aku lakukan adalah langsung meraih bantal dan membuka sarungnya. Aku harus mengembalikan warna-warna kesukaan Hans—tidak tahu kesukaannya atau gimana, yang pasti lebih sering navy dan abu-abu.
"Reva."
"Ya, Mas?"
"Nggak usah diganti."
"Ini?"
Kepalanya mengangguk. Dia menatapku sambil memijat keningnya.
"Tapi ini bunga dan warna pink." Aku nyengir.
"Nggak pa-pa."
Aku menyatukan telapak tangan dan menyerongkan badan untuk menatapnya. "Okaaay, thank you. Sebagai gantinya, aku bikinin teh anget, mau? Atau Mas Hans biasanya apa yang diminum kalau pulang malem-malem dari luar kota?"
Dia tak langsung menjawab, menatapku beberapa detik. "Besok-besok, kalau kamu lagi nggak bisa denger apa pun di dalam rumah, jangan lupa kunci pager dan pintu ya, Va?"
Aku mengangguk langsung.
"Di kabinet ada teh peppermint, aku biasanya suka minum itu."
Senyumku lebar. "Aku bikinin! Tunggu di sini. Nggak lama." Setelah melihat dia mengangguk, aku bergegas keluar kamar, bahkan sedikit berlari menuruni tangga untuk ke dapur. Tidak mau terdistraksi apa pun, aku langsung pada tujuan utama dan kembali dengan mug di tangan. Hans mengangkat kepalanya yang tertunduk di atas meja. "Ini, Mas."
"Thank you."
Aku memberinya senyum, tetap berdiri di sebelahnya melihat dia mulai menghirup dan menyeruput teh itu. "Agak lega?"
Hans mengangguk.
"Kepalamu pusing kah, Mas?"
"Sedikit."
"Pusing karena kasus atau pusing fisik? Umm, maksudku." Aku tidak jadi melanjutkan karena sepertinya dia paham, itu kenapa sudut bibirnya terangkat membentuk senyum tipis. Aku ikut tersenyum.
"Fisik," jawabnya pelan.
"Mau aku bantu pijit? Mama kalau masuk angin aku pijit kepala sama pundak tahu, Mas. Pakai minyak-minyakan. Dia nggak modern banget deh. Tapi sembuh."
Hans menolehkan kepala dan kami saling menatap. Aku memberinya senyuman karena merasa canggung tapi aku tidak mungkin membiarkan orang baik, terutama tuan rumah di mana aku tinggal kesakitan tanpa melakukan apa-apa, kan? Lalu aku melihat kepalanya mengangguk. "Tapi kamu nggak pa-pa?"
"Apanya?"
"Tanganmu kena minyak-minyakan dan pegang kepalaku."
Aku tertawa. "Selagi kamu bukan tiba-tiba Raja yang kepalanya haram dipegang dayang biasa kayak aku, jawabannya tentu nggak pa-pa dong, Mas." Aku izin untuk mengambil minyak telon, satu-satunya yang ada di sekitar kami sekarang. Mungkin nanti, aku mulai meminta perminyakan Mama. "Maaf, ya, Mas?" ucapku sebelum menyentuh kepalanya dan mulai menekan jari-jariku. Saat dia memejamkan mata, saat itu lah pikiranku kembali berlalu-lalang tentang apa yang sedang aku lakukan tadi. Mencari tahu apakah lelaki ini penyukai lawan jenis atau sesama jenis.
Pikiranku buyar ketika suaranya kembali terdengar, "Kamu tadi lagi ngerjain apa, Re?"
Ngerjain apa?
Mata-mata?
Aku tertawa dalam hati, tetapi mulutku dengan mulus menjawab, "Abis stalking aktor yang filmnya baru aku tonton, Mas."
Dia tertawa pelan! Aku ikut tertawa. "Siapa namanya?"
"Emangnya kenal?"
"Try me," jawabnya santai.
Hans Iravan, jawabku dalam hati. "Namanya susah, Mas. Pat Pat siapa gitu." Aku tertawa melihat keningnya berkerut. "Sakit, ya, Mas?"
"Bukan, aku lagi mencerna nama aktornya."
Ouch. "Biasalah, Mas. Aktor Thailand, namanya susah."
"Oh kamu suka nonton drama Thailand?"
Aku diam, mulai panik.
"Mbak Raras suka banget sama drama horornya Thailand. Kalian bisa cocok."
Rey, kamu seharusnya ingat salah satu rumus terkenal dunia; menutupi kebohongan dengan membuat kebohongan baru. Seumur hidup, aku bahkan belum pernah menonton drama Thailand. Oh sekali dalam seumur hidup, drama anak remaja perempuan yang tidak cantik naksir dengan kakak kelas primadona.
Cuma itu yang aku tahu dan kalaupun ditanya namanya siapa, aku tidak akan ingat satu pun.
---
jadi Hans suka cewek apa cewek iniiiiii? huft. baca lanjutannya ngebut bisa ke Karya Karsa yaa, Sayaangku, muach!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top