tiwifl || 08
"Hai!" Aku menyalami tamu besar kami hari ini, yaitu keluarga dari Hans. Aku sudah menduga ini, jadi tak merasa kesal atau apa, karena aku juga yakin, bukan hanya keluarga Hans. Setelah ini, esok atau lusa, mungkin Mama dan Papa Amar yang tiba-tiba mengabari juga mau inspeksi ke sini. Beginilah kehidupan pernikahan yang direncanakan orang tua di mayoritas Indonesia. "Aku Rerey."
"Lho, Rerey atau Reva?" tanya perempuan berhijab ala-ala perempuan Melayu—maksudku di sini adalah seperti hijab-hijab yang dikenakan oleh perempuan-perempuan di Malaysia yang—dengan senyuman ramahnya.
"Oh!" Aku tertawa pelan. "Both are correct, Mbak Raras bisa panggil aku apa aja." Aku menoleh pada Hans. "Mau panggil Rerey boleh, mau panggil Reva kayak Mas Hans juga boleh."
Dia menyentuh lenganku lembut sambil menggelengkan kepala. "Bercanda, dua-duanya bagus dan cantik. Tapi menurutku lebih imut dipanggil Rerey, lebih cocok juga sama wajahmu."
"Oya?" tanyaku antusias, penasaran mendengar pendapatnya sembari kami berjalan ke dalam rumah.
"Tapi Reva juga bikin kamu kelihatan dewasa."
"That's so sweet." Aku tertawa pelan. Kalau boleh menilai terlalu dini, aku mungkin setuju dengan Mama dan Papa Amar ketika mengatakan kakak iparku adalah idaman adik-adik ipar di luaran sana. Mbak Raras terlihat ramah, lembut, juga cantik sekali. "Silakan duduk, Mbak, Bagas. Aku ambilin minum dulu."
"Belum jadi hire Mbak kalian berdua?" tanyanya sebelum mendaratkan bokong di sofa.
Aku melirik Hans yang masih terdiam sejak tadi, tapi sekarang sudah duduk rapat dengan Bagas, tangannya bahkan berada di paha remaja itu. Daripada membuatnya kebingungan menjawab kakaknya sendiri, mungkin sudah saatnya aku berperan sebagai istrinya. "Aku yang minta sama Mas Hans untuk nggak pakai Mbak di rumah." Aku meringis, kebingungan menatap adik-kakak itu. "Is it okay? Atau ada aturan keluarga yang—"
"Oh enggak, enggak. Rey, aturan keluarga apa soal ART, nggak ada, Sayang." Mbak Raras tertawa pelan. "Mbak cuma takutnya Hans bermasalah dan kamu kecapekan di rumah, karena Mbak tahu pekerjaan rumah itu nggak terlihat tapi capeknya bukan main. Masya Allah, capeknya, apalagi kalau punya toddler."
"Berarti sekarang momen paling beratnya Mbak Raras udah terlewati?"
Dia mengangguk sambil tertawa, melirik anak semata wayangnya. "Betul, udah lebih lega, tentu dengan masalah yang beda." Kalimatnya membuatku tersenyum dan kali ini benar-benar izin untuk ke belakang, mengambil sesuatu yang bisa dinikmati mereka. Setelah menghidangkannya, aku kembali duduk di ... sebelah Mbak Raras karena dia yang meminta. "Kamu beneran nggak pa-pa urus rumah sendirian?"
Aku tersenyum lebar, mengangguk antusias. "Aku suka di rumah, aku suka ngelakuin hal-hal yang ada di rumah. Beres-beres, masak, cuci baju, jemur, cuma ... setrika sih yang lumayan butuh mood. Tapi gampang kok handle-nya."
"Biasanya perempuan muda zaman sekarang lebih suka produktif di luar. Makanya tadi Mbak kaget, takutnya kamu capek."
"Nggak pa-a, Mbak, aku udah diskusi sama Mas Hans kok. Karena aku nggak cari uang, jadi aku mau ambil bagian di rumah."
"Udah cantik, hebat lagi." Senyumannya lebar dan manis sekali, dia juga sepertinya senang memberi sentuhan lembut. "Aku titip Bagas, ya, Rey? Kalau dia keliru, aku akan seneng kamu mau tegur dia. Main game kelamaan, atau nggak nurut sama Omnya dan kamu, tegur aja, okay? Mbak udah sering bilangin Hans kayak gini, tapi yang dia tau selagi bumi nggak hancur ya kenapa harus ditegur."
Aku tertawa melihat betapa lelahnya Mbak Raras akan diam dan santainya Hans. Aku mungkin karena baru, jadi belum merasa sefrustasi itu akan sikap Hans. Semoga jangan, semoga kami sudah berpisah sebelum perasaan lelahku tiba. Supaya aku dan dia sama-sama tidak saling terluka dan membenci.
Kami ngobrol cukup lama dan aku benar-benar sudah berhasil menyukai kakak iparku. Paling tidak, hidup dalam rencana yang tak lama ini tak begitu sulit, karena orang-orangnya pun sangat baik. Justru aku mulai khawatir, seberapa banyak nanti hati manusia tulus yang aku sakiti hanya karena keegoisan Mama dan Papa Amar.
Selepas pulangnya Mbak Raras—oh aku tadi sempat memberinya kue buatanku dan diterima dengan suka cita untuk dibawa pulang—, aku membantu Bagas untuk ke kamarnya, lalu membuat makan malam untuk kami bertiga. Menurutku, Bagas jauh lebih aktif diajak ngobrol ketimbang Hans. Remaja itu tidak hemat kata-kata dan ekspresi, kalimat-kalimatnya juga lucu, tidak melulu menunggu aku yang duluan. Kesimpulannya, aku sepertinya tak akan keberatan Bagas menginap di sini beberapa hari. Justru kalaupun mau tinggal di sini, aku akan suka karena punya teman ngobrol.
"Mbak Raras tuh kerjanya apa, Mas?" tanyaku ketika kami sudah masuk ke kamar. Aku sudah siap dengan pakaian tidur, sementara Hans masih dengan kertas-kertas dan laptop menyala—meski sudah mengenakan pakaian santai juga yang akan dia pakai untuk tidur.
"Dia auditor."
Aku ber-O-ria sambil mengangguk-anggukkan kepala. "Berarti dia emang sering keluar kota gini, ya? Maksudku ini bukan pertama kali?"
Kepalanya mengangguk.
"Kalau suaminya?"
"Pengacara."
"Oh, sama kayak kamu, Mas. Ini kebetulan dua-duanya dinas ke luar kota berarti?"
"Betul."
"Sebelumnya pernah bareng gini perginya atau gimana? Kalau iya, Bagas dititipin ke mana?"
"Di sini, sama aku."
Aku mengangguk-anggukkan kepala. "Tadi Bagas bilang dia malu dititipin tau, Mas." Kepalanya terangkat, Hans menatapku lekat-lekat. Aku tertawa pelan. "Katanya, dia ngerasa udah gede, badan dia udah gede. Tapi aku paham sih perasaan Mbak Raras, pasti tetep khawatir anaknya di rumah sendiri. Mana ART mereka, kan, pulang-pergi."
"Dia masih kecil," ucapnya pelan.
Aku tergelak. "Di mata kalian emang masih kecil, makanya dia bete katanya. Aku suka deh, Mas, sama Mbak Raras. Belum pernah ngobrol deket dan lama, tadi aku kagum banget. Dia kelihatan pinter, baik, ramah, dan pasti istri dan ibu yang hebat kalau di rumah."
Hans mengangguk sambil tersenyum tipis. "Iya."
"Kamu pasti bangga banget punya Kakak kayak dia?"
Kepalanya mengangguk lagi.
"Aku selalu iri sama orang yang punya kakak atau adik. Aku pengen rasanya bisa ngasih kasih sayang ke adik atau nerima kasih sayang dari kayak. Tapi, dari kecil aku ... sendirian. Aku tahu ada masalah sama Mama dan Papa Amar yang bikin mereka nggak bisa punya anak, tapi karena aku nggak mau buat mereka makin sedih dan nyalahin diri sendiri, aku selalu bilang aku juga nggak mau punya adik atau kakak." Aku tertawa pelan, sebetulnya kalau dipikir-pikir hidupku terlalu penuh kebohongan. "Papa Aji punya anak sih, tapi karena ketemunya udah gede dan jarang, aku cuma basa-basi aja, tetep beda ya sama yang besar bareng."
"Kamu bisa temenan sama Bagas."
Aku melongo, kemudian terbahak-bahak. Ditambah melihat keningnya berkerut karena sepertinya dia memang tidak sedang meledek atau bercanda. Dia sungguh-sungguh menyarankan agar aku berteman dengan keponakannya yang baru kelas 1 SMP, sementara aku sudah menyandang gelar istri.
Meski istri sementara.
"Kenapa?" tanyanya.
Aku menggeleng. "Nggak pa-pa. Ide yang baik, nanti aku temenan sama Bagas. Aku jadi Kakaknya dia boleh, Mas?"
"Boleh."
"Dia panggil aku 'Kakak' dan panggil kamu 'Om' nggak masalah?"
Kepalanya mengangguk.
Ya Tuhan, bagaimana kehidupan laki-laki ini selama ini? Aku merasa prihatin karena sepertinya hidupnya benar-benar datar? Atau justru kehidupan yang dia jalani inilah yang aku idamkan selama ini dan aku sebut sebagai ketenangan? Dia tak terlihat mudah terusik dengan sesuatu. Pikirannya tenang dan tidak banyak menebak atau berburuk sangka. Semuanya dia jalani seolah-olah sudah ikhlas memang begitulah seharusnya.
"Va," panggilnya pelan sambil menatapku.
Aku menggelengkan kepala. "Ya?"
"Kamu belum ngantuk, ya?"
"Kenapa, Mas? Kamu perlu sesuatu?"
Dia menggeleng. "Aku ganggu kamu kah? Kamu mau tidur?"
"Enggak ..."
"Aku boleh kerja dulu?"
"OH!" Aku memasang wajah bersalah sebesar-besarnya dan mengatupkan tangan di dada. "Mas Hans, maaaffff, aku malah gangguin kamu." Aku memukul kepalaku sendiri. "Ya Allah, yaudah lanjutin. Maaf, ya, Mas ..."
Wajahnya bingung, dia menggeleng. "It's okay, bukan ganggu, aku pikir ... ceritamu udah selesai?"
"Sorry?"
"Kalau kamu masih mau ngobrol nggak pa-pa, aku bisa kasih waktu sedikit lagi."
Aku melongo.
Jadi harusnya aku pamit undur diri dan menarik selimut sembari melihatnya fokus dengan kaca matanya itu, atau aku tetap di sini dan mengeluarkan seribu kata-kata sepertinya aku biasanya? Dia mau aku pilih yang mana?
Tapi tentu saja aku cari aman dan tidak mau membuat orang lain kehilangan pekerjaan, maka aku pamit undur diri dan memberinya segelas coklat panas sebagai permintaan maaf. Walaupun dia tak terlihat marah atau apa, tetapi aku tetap merasa konyol atas diriku sendiri.
Mungkin ide Hans ada benarnya, aku bisa berteman dengan Bagas mulai dari sekarang.
Atau ... dimulai dari malam ini dengan menanyakan dia sudah tidur atau belum? Kami bisa ngobrol, diskusi tentang sesuatu atau main game online bersama meski fisik terpisah.
Aku menggeleng pelan, sepertinya itu terlalu buru-buru.
Menarik selimut sampai ke leher dan memejamkan mata adalah pilihan terbaik malam ini. Setelah aku memberanikan diri memanggil Hans sampai dia menatapku dan mengatakan, "Aku tidur duluan ya, Mas, good night."
Tentu saja dia hanya mengangguk.
---
yang mau baca duluan bisa ke Karya Karsa yaaa, pake ekspedisi Express ngeeng
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top