tiwifl || 07
Aku buka tipe orang yang mudah tersinggung, bukan juga seseorang yang memiliki kontrol emosi yang buruk. Kalimatku yang barusan ini pun, tak seharusnya dibaca dengan nada narsistik, karena kenyataannya sama sekali tidak.
Aku jelas punya rasa marah dan kecewa dan ketika rasa itu sudah ada di puncak, aku bukan melampiaskannya lewat kata-kata makian, intonasi teriakan, juga gestur menunjuk ke wajah seseorang. Hal paling terakhir yang aku lakukan adalah seperti apa yang aku lakukan pada Mama dan Papa Amar.
Beberapa kali aku mencoba memberi tahu mereka bahwa aku keberatan dengan ide ini. Tak cuma omong kosong seolah-olah seperti gadis remaja yang belum paham dunia, aku mencoba menjelaskan pada mereka kenapa aku tidak mau, kenapa mungkin saja mereka bisa salah, lain sebagainya. Tapi sepertinya, rasa sakit hati Mama akan masa lalunya, juga rasa bersalah Papa Amar mendengar masa lalu Mama, membuat mereka berdua benar-benar tutup mata dan telinga.
Aku tak didengar.
Padahal orang sepertiku, juga masih punya hak untuk didengar dan menghiasi dunia ini dengan sudut pandang penuh cinta kami, kan? Dunia nggak dijamin akan sempurna hanya karena diisi oleh orang-orang berlogika dan berakal sehat dalam segala sisi. Dunia tetap butuh sudut pandang cinta, sudut pandang dari hati, sudut pandang yang penuh perasaan, agar bisa menjalankan perannya sebagai sesuatu yang terbatas, temporary. Karena yang kekal, kita semua jelas tahu, bukan di sini.
Okay, setidaknya semua itu pembelaan dariku sebagai salah satu pemilik sudut pandang tersebut. Aku masih sangat percaya cinta termasuk bagian penting untuk umat manusia. Kehidupan selamanya di bumi ini butuh cinta.
Seharusnya Mama dan Papa Amar bisa menunggu sedikit lagi.
Beberapa kali menoleh ke kanan, aku juga mendapatkan balasan cukup setimpal dari Hans. mungkin bedanya, ketika aku memberinya senyum, dia hanya akan mengangguk kecil dan menarik sudut bibir sedikit. Tipis sekali.
Aku memahami perbedaan manusia, termasuk dalam menyetir. Tak semua orang bisa dan suka mendengar banyak suara atau musik selagi dia harus fokus dengan jalanan, lampu merah, kendaraan di depan yang mungkin saja tiba-tiba memelan, banyak hal yang bisa terjadi di tengah jalan raya. Bahkan mungkin saja untuk sesuatu yang sebelumnya tak pernah kamu bayangkan.
"Besok sore, Mbak Raras mau dateng ke rumah, Va," ucapnya memecah keheningan setelah sekian lama. Kalau aku kira-kira sendiri, mungkin kami sudah setengah perjalanan menuju restoran yang dia pesan. "Mau nitipin Baskara."
"Baskara ini anaknya?"
Kepalanya mengangguk.
Aku sebagai seseorang yang tak memiliki pekerjaan di dalam mobil ini selain bernapas dan memainkan seat belt, memilih sedikit menyerongkan tubuh. Mengurangi kemungkinan akan ada salah dengar dan semacamnya. "Umurnya berapa, Mas?"
Dia terlihat berpikir sejenak, dari samping aku bahkan bisa melihat keningnya berkerut. "Dia SMP." Hans tertawa pelan sekali, lalu menoleh padaku. "Aku lupa SMP kisaran umur berapa. Maaf."
Aku tertawa sambil mengibaskan tangan. "It's okaay! Emang lebih mudah inget level pendidikannya kok daripada umur. Anak-anak sekarang nggak bisa ditebak lewat fisik dan cara pikirnya." Setelah melihat kepalanya angguk-angguk, aku melanjutkan. "Mas Hans ngerasa fisik dan umurku cocok nggak? Waktu awal tau umurku, apa yang Mas pikirin?"
"Cocok," jawabnya pelan dan terdengar yakin. "Kamu keliatan tenang dan berani, karakter yang padet untuk orang-orang di 20's."
"Karakter yang padet?" tanyaku sambil tertawa geli.
"Iya. Ikhlas banget sama hidup juga belum, tapi menggebu banget sama tujuan hidup juga enggak."
"Oh My Goodness!" Aku tertawa sembari menutup mulut, lalu menggeleng-gelengkan kepala karena benar-benar tak menyangka di kepala laki-laki ini banyak kejutan, tetapi entah kenapa dia sering kali memilih menyimpannya sendiri; maksudku, tak banyak omong atau bercerita. Aku, kalau memiliki cara pikir sepertinya, maka mungkin dunia akan tahu. "Mas pernah ada di fase itu juga?"
"20's?"
"Karakter padet."
Kepalanya mengangguk.
"Terus sekarang ada di fase apa?"
"Jalani hidup." Dia menoleh, memberiku senyum. "Udah nggak ada sesuatu yang bikin ..." Hans terlihat belum menemukan kata-kata yang mungkin bisa mewakili apa yang ingin dia katakan. Alih-alih, jari tangan kirinya mengelus dada. "Penasaran sama hidup. Bukan penasaran yang simpel kayak resep makanan, evidences kasus dan semacamnya, tapi dalam hidup."
Aku mengangguk paham. "Tapi bener, aku pernah ngalamin hari-hari yang penuh sama keinginan. I want a new car, a vacation, new clothes, dan semua nggak ada habisnya dan terus ngerasa belum cukup. Sampai aku ngerasa ini kayaknya perlu dievaluasi dan perlu ada perbaikan di diriku sendiri. Aku searching apa pun yang berhubungan dengan keinginan. Nonton video, baca artikel, macem-macem. Terus aku nemu tulisannya Rena Koesler. Tentang desire. Katanya, desire is often associated with a longing and a pursuit that drives your spirit to not forget until you have reached it. Desire will take you places you never thought you would be." Aku tertawa pelan, lalu melanjutkan. "Aku coba nyari desire itu di dalam diriku, apa sih yang aku mau buat hidup ini. Ternyata manusia tuh cuma pengen hidup tenang dan aman."
Dia menoleh lagi, memandangku cukup dalam meski tak bisa lama.
Aku tersenyum sambil mengedikkan bahu. "Kita bisa bilang mau berusaha bisa gapai dan wujudin desire itu, tapi dengan catatan bekalnya banyak dan dalam kondisi hidup yang aman. Ekonomi, mental, fisik. Tapi kayaknya emang nggak ada habisnya, ya, Mas? Masih akan terus cari sesuatu dalam hidup, menurutmu, cuma aku baru tau, ternyata kita bisa berhenti juga. Kayak kamu gini."
"Kamu masih pengen capai sesuatu?"
Aku mengangguk antusias dengan cengiran lebar. "Short term sih soal yang aku ceritain waktu itu. Tentang Mama dan Papa Amar."
"Long term?"
"Masih belum tahu." Aku mengedikkan bahu. "Mungkin aku akan mulai hidup baru dengan segala hal yang beneran baru. Harus cari uang sendiri, karena kayaknya mereka akan marah banget setelah nanti rencanaku terwujud. Selama ini aku nggak ngelakuin apa-apa untuk menghasilkan uang, you know. I don't do anything."
Kepalanya mengangguk.
"Mungkin aku akan gagal menghidupki diriku sendiri, mungkin aku juga sebenernya nggak dikasih jatah untuk dapetin cinta kayak yang aku impikan. Kehidupan romansa kayak yang aku mau. Mungkin aku cuma akan menjalani ... kurang lebih lanjutan dari hidup Mama."
"Level ikhlas yang aku jalani bukan kayak gitu, Va."
"Sorry?"
"Ikhlas, pasrah, dan pesimis sama hidup, itu mirip tapi nggak sama." Dia sepertinya tak berniat menatapku meski singkat. Kedua tangan menggenggam setir kuat-kuar, tatapannya serius ke depan. "Kayak yang aku bilang tadi, kamu keliatan masih ada di fase karakter yang padet, dan itu bagus. Kamu harus imbangi rasa pasrahmu sama rencana-rencanamu buat masa depan, desire, terus cari kalau memang masih ada."
Aku terdiam, memandanginya, kemudian senyum lebarku tak bisa aku tahan. "Bahkan soal cinta, Mas Hans udah nggak punya harapan apa-apa? Katanya, cinta itu juga termasuk kebutuhan manusia lho."
"Gimana itu?"
"Tahu Abraham Maslow nggak?" Setelah melihat dia mengangguk, aku tertawa pelan. "Nah pasti tahu dong teori Hirarki Kebutuhan. Kalau manusia udah bisa menuhi kebutuhan fisiologisnya dan kebutuhan akan keamanan, maka ia akan berusaha memenuhi kebutuhan sosialnya akan cinta dan dimiliki."
"Berarti sesuatu yang masih pengen kamu cari dalam hidup adalah cinta?"
Aku membelalakkan mata, lalu tertawa lebar. Dia menangkap basah aku. "Ketahuan deh."
"Apa cinta menurutmu, Reva?"
"Ummm ... kita setuju dulu nggak kalau definisi cinta setiap orang berbeda?" Ini aku sedang jaga-jaga akan perbedaan pendapat kami kedepannya, supaya tidak ada saling singgung atau menyakiti. "Karena kalau dari situ aja kita nggak sama, pasti nanti berantem."
Dia tertawa pelan. "Aku nggak suka berantem."
"Termasuk di persidangan?"
"Itu bukan berantem."
Aku menggeleng-gelengkan kepala sambil tertawa. "Cinta menurutku ... dan berdasarkan yang aku alami, adalah perasaan yang bahkan bisa cover beberapa kekurangan dalam hidup." Ia sempat menoleh, aku mengartikan tatapannya tadi sebagai ketertarikan untuk mendengarku lebih jauh. "Mungkin bullshit atau terdengar klise, tapi cinta bisa nutupi rasa laper, meski sifatnya temporary. Waktu bareng dia, nggak kerasa laper dan haus, yang dirasa cuma penuh bahagia, pulang ke rumah, baru sadar perut melilit." Aku bersumpah, melihat dia tersenyum lebar, memperlihatkan giginya. "Cinta bisa kasih harapan kecil di tengah kehidupan yang sulit. Seorang ayah akan tetap punya kekuatan mencari nafkah demi anaknya. Seorang suami, tetap punya semangat dan harapan setelah putus kerja, demi menghidupi istri. Cinta juga bisa bikin kita lebih berempati dengan memaklumi banyak hal yang terjadi." Aku mengangguk. "Itu cuma segelintir deskripsiku tentang cinta, Mas."
"Deskripsi yang indah," komentarnya tanpa terdengar meledek. Karena baik wajah dan suaranya serius dan tenang.
"Gimana sama kamu? Definisimu tentang cinta?" Aku menggelengkan kepala. "Kalau memang sekarang nggak punya, seenggaknya dulu deh. Aku mau denger dari senior nih."
Dia menarik sudut bibir. "Kita lihat cinta dari tempat yang berbeda, Va. Aku nggak mau pandanganmu nanti terkontaminasi."
Uh, dia memandang cinta tak seindah aku? Dia termasuk manusia yang hidup dan menganggap dunia dengan logikanya? Aku mengangguk-anggukkan kepala. Tersenyum lebar ketika bilang, "It's okay, perbedaan bikin indah. Aku tetep mau denger."
Mobil kami—mobil Hans sudah sampai di depan lobby restoran, ia mengajakku turun lebih dulu karena mobil harus diambil alih oleh petugas valet. Kakinya yang panjang dengan sangat mudah melangkah hingga sampai di sebelahku, kami disapa salah satu staf dan dibawa ke meja yang sudah direservasi Hans. "Cinta buatku sama kayak cinnamon powder di kopi susu. Ada dan nggak adanya dia nggak kasih perubahan apa pun."
Aku mungkin bukan tipe orang yang mudah tersinggung, bukan juga seseorang yang memiliki kontrol emosi yang buruk, tetapi kalimatnya ini, entah kenapa membuatku benar-benar terdiam. Sesuatu menyentil di ulu hati. Mungkin karena ... dia menggunakan analogi dari sesuatu yang berhubungan denganku, supaya aku tak kesulitan memahami. Tujuannya tercapai, aku memahami sudut pandangnya akan cinta seperti bagaimana dia menilai cinnamon powder yang aku tambahkan pada kopi susu.
---
aduh, Hans, ga kuat aku mah,
mau udahan kalau jadi Rey, takut sakit hati atau jatuh hati?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top