tiwifl || 06
"I bought some pyjamas." Aku nyengir, ketika sampai di rumah dan ternyata tak sesuai susunan acara di kepalaku sendiri.
Aku kira Hans akan pulang paling tidak pukul tujuh malam, atau secepat-cepatnya mendekati angka jam 6 sore. Tapi ini bahkan baru pukul 16.37 dan dia sudah duduk di sofa, meski di tangannya ada iPad dan di hadapannya ada tumpukan kertas, hingga ... ada beberapa kertas di atas sofa sebelah pantatnya.
"Aku belum tanya ukuranmu dan aku tadi mau telepon, tapi takut ganggu, jadi—yeah, I lied. Sorry, aku emang nggak rencana beliin kamu, aku cuma ... yeah, kayaknya aku emang perlu pyjamas baru mengingat sekarang kita harus sharing kamar." Aku meringis. "Aku beli yang lengan dan celana panjang, karena aku nggak mau kamu usaha sendirian. If you know what I mean."
Kepalanya mengangguk.
That's it?
Aku masih diam berusaha mencerna reaksinya. Apakah dia marah karena aku tidak membelikannya pakaian tidur baru juga? Atau dia marah karena pulang kerja, sementara aku tidak ada di rumah? Jujur aja, aku belum memahami untuk keduanya ini. Kami justru lupa membahas tentang pulang-kerja. Apakah dia lebih suka melihatku ada atau tak masalah dengan apa pun keadaan di rumah.
Karena meski tidak memikirkan itu, sebetulnya aku nggak terlalu kejam atau tidak tahu diri. Aku sudah merencanakan seperti yang aku bilang tadi. Selesai memastikan rumah ini bersih dan wangi, aku memutuskan untuk keluar, makan, dan belanja pyjamas baru dengan alasan yang sama seperti yang aku jelaskan pada Hans. Aku hanya meleset di bagian jam pulang Hans yang ternyata mungkin tak menentu. Ke depannya, aku akan memilih menghubunginya agar—sebentar, Hans kembali mengangkat kepalanya, menatapku dalam kondisi iPad yang sudah dipangku terbalik.
Dia tersenyum. "Sendirian tadi?"
Aku mengangguk ragu-ragu.
Aku setuju pada pepatah yang bilang manusia adalah makhluk paling kompleks untuk dipahami dan mungkin tidak akan pernah bisa memahami sesama manusia seratus persen. Akan selalu ada bagian yang tidak kita mengerti dan mengejutkan. Tapi mungkin saja, justru itu menariknya dunia.
"Kamu mau aku lihat dan kasih komentar soal baju barumu?"
Eh?
Aku refleks menggeleng dan tersenyum kikuk, kemudian mengibaskan tangan. Mungkin mematungku tadi membuatnya merasa bersalah dan perlu memberikan tanggapan yang lebih lagi, padahal aku juga mematung sedang memikirkan perasaannya dan kemungkinan-kemungkinan buruk. Aku tak bisa menahan tawa geli menyadari betapa lucunya dua manusia asing tinggal di dalam rumah yang sama. Isinya adalah proses menebak seumur hidup—ralat, tidak seumur hidup juga, tetapi selama rencana kami. Eh, rencanaku.
Aku duduk di sebelahnya setelah memindahkan dua tumpukan kertas ke atas meja, lalu aku menatapnya dengan senyuman lebar. "Kayaknya Mas Hans kelihatan lebih punya hal serius buat dilakuin dibanding harus komentarin baju baruku." Cengiranku sudah sangat lebar, dia ikut tersenyum meski hanya 2% dari lebarnya senyumku. "Jadi, terima kasih tapi nggak perlu. Aku tadi cuma ngerasa sedikit ... apa yaaa, let's say bersalah? Takut Mas Hans marah karena pulang kerja aku nggak ada di rumah? Atau marah karena aku nggak beliin baju baru juga dengan alasan nggak hubungin kamu takut ganggu." Wajahnya terlihat sangat serius mendengarkanku, dengan mata yang berkedip—aku baru sadar setelah menatapnya dari dekat kalau kadang-kadang, kedipan matanya begitu cepat, lebih cepat dari aku mengedipkan mata saat normal.
"Aku ... nggak marah," ucapnya bingung. "Aku kelihatan marah?"
"Oh enggak!" Aku tertawa canggung. "Itu cuma asumsiku di kepala. Mungkin ini efek masih ... pelan-pelan harus saling kenal? Karena kita kayak roommate baru di awal kuliah."
Hans tertawa pelan. "Kamu dulu punya roommate?"
"Cuma sebentar, terus aku ngerasa nggak nyaman, jadi pindah sendirian. Gimana sama Mas?"
"Punya, beberapa."
"Oh damn, di luar negeri sih ya kuliahnya?" Aku tertawa ketika melihatnya mengangguk dengan kerutan di hidung. "Kenapa? Takut keliatan sombong, ya?"
"Enggak, kan?"
"Enggak, kok! Kalaupun sombong, kamu emang pantas sombong. Anyway," Aku memperhatikan kertas-kertas itu seolah-olah aku bisa memahami apa isinya, padahal aku tahu tidak akan bahkan dalam setahun ke depan. "Mau aku buatin sesuatu? Bisa buat setelah beres kerjaan Mas Hans, atau sesuatu yang bisa dinikmati selama ngerjain ini."
"Kamu udah makan?"
"Dinner? Belum dong!"
"Aku mau ajak kamu dinner di luar, berkenan kah?"
"Berkenan?" Aku tertawa geli, lalu melambaikan tangan ketika melihatnya bingung mungkin merasa aku sedang mengoloknya. "Bukan, bukan, don't get me wrong. Aku nyaris nggak pernah denger langsung orang bilang 'berkenan'. Biasanya itu textbook nggak sih? Tapi ternyata nggak aneh didenger langsung, telingaku suka. It sounds aesthetic though."
"Aesthetic?"
"Yup."
Dia mengangguk-anggukkan kepala. "It's so popular. The only word describes your life and personality."
"What? Nooo!" Aku tersenyum dan refleks menutup pipiku yang terasa begitu panas. Bukti lain bahwa manusia memang sangat menarik. Bisa merasakan banyak emosi meski dengan orang yang baru kamu temui. Di kasusku dan Hans, beberapa kali aku temui. "Emang lawyer boleh semanis ini?"
Dia diam, menatapku terlihat sangat fokus, lalu mulutnya terbuka. "Nggak ada yang bilang aku manis."
"Terus apa?"
"Diem, kaku, nggak seru, kejam, terlalu serius."
Aku mengangguk sambil terkikik geli. "Itu semua bener, sebagai orang yang baru kenal Mas Hans, tapi karena kita beberapa jam tinggal bareng, aku ingat beberapa kata-katamu manis kok. Jadi, yang ngomong gitu mungkin emang harus tinggal serumah dulu sih."
"Tapi yang komentar itu justru roommate."
"Dang!" Aku terbahak. "No comment!" Aku melihatnya tersenyum meski memang tipis sekali. Begitulah mungkin dia diciptakan, untuk serba irit dalam banyak hal. "Okaaayy, selamat melanjutkan bekerja. Aku bu—wait, jadi tadi mau di ... eh! Dinner di luar, ya?"
Kepalanya mengangguk. "Kamu mau?"
"Mau aja. Kita berdua atau sama kenalannya Mas Hans?"
"Kita berdua. Keberatan kah?"
"Not at all." Aku tersenyum lebar. "Ada request dress code khusus, Mas Hans?"
Kepalanya menggeleng. "Wear what makes you happy."
"That's what we call a gentleman!"
Aku membawa paper bag hasil belanjaku tadi ke kamar, meletakkannya di atas kasur begitu saja, karena aku punya tugas yang lebih penting sekarang. Hans tentu akan siap dalam waktu singkat meski sekarang yang dia lakukan masih berkutat dengan semua kertas tadi. Tetapi aku, sudah bisa dipastikan akan memakan waktu jauh lebih lama. Contoh sederhananya, memilih apa yang akan aku kenakan pun ternyata membingung—tidak juga sih, you can't go wrong with black!
Aku menarik midi black dress dengan tali seluas dua jari. Bawahnya berbentuk payung setinggi lutut bagian dada pas di badan, tidak terlalu ketat, tidak juga kebesaran. I love this one!
Setelah yakin akan mengenakan dress tersebut, aku buru-buru ke kamar mandi. Meyakinkan diri untuk tidak mengambil sisa hari hanya untuk membersihkan diri. Aku harus kejar-kejaran dengan waktu dan mungkin seperti inilah kehidupan bersama laki-laki yang bekerja. Beres mandi, aku memakai skin care dan body care untuk menambah wangi juga pada tubuh, baru setelah itu memakai dress. Sekarang, aku duduk di depan meja rias, sedang mem-blow rambut dan menguncir kuda. Agar hasilnya terkesan cantik dalam ukuran besar, aku pakai hack yang tak sengaja aku temukan di internet. Lalu mengakhirinya dengan memberi pita pink pada ikatan rambutku.
Sisanya, untuk clutch dan heels, aku memilih warna hitam ju— "Hai, Mas! Aku udah siap. Kamu mandi gih."
Dia sempat terdiam di pintu beberapa detik, sebelum akhirnya melangkah masuk dan bertanya, "Kamu nggak pa-pa nungguin aku siap-siap?"
Aku tersenyum lebar. "Nggak pa-pa dong! Emang kayak gini katanya dunia pernikahan, cewek harus siap-siap duluan biar nggak ada perang." Melihat dia tersenyum dan mengangguk, aku melanjutkan tugas terakhir; memakai parfum. Jangan sampai cantikmu tertutup dengan bau badan yang tak sedap.
Membayangkannya pun sudah sangat ngeri.
Aku duduk di pinggir kasur, memaksa diri untuk tidak melihat jam di handphone padahal aku sudah tahu informasi dari jam di dinding. Aku hanya berusaha memberi tahu bahwa ini hanya karena menunggu memang tidak nyaman, bukan karena Hans yang ... aku tidak sanggup lagi. Aku meraih ponsel dan menyalakan layar, kemudian meringis menyadari berapa waktu yang sudah dihabiskan Hans di kamar mandi.
Aku tidak tahu lelaki bisa selama ini membersihkan diri.
Papa Amar hanya butuh hitungan jari, aku yakin.
Itu kenapa aku sangat percaya diri dengan rencana di kepalaku, yang lagi dan lagi, hari ini sudah gagal dua kali. Sepertinya, untuk ke depan, bahkan dalam hal apa pun yang berhubungan dengan Hans, aku tidak boleh berasumsi sendiri berdasarkan pengalaman hidupku.
Karena ternyata, mengenal manusia memang semanarik ini, butuh kreativitas dan waktu yang tak sebentar.
Aku benar-benar belum bisa coba-coba memahami Hans, bukan hanya sebagai lelaki, tetapi bahkan sebagai manusia. Dia sangat kompleks, kami, manusia, sangat kompleks.
Justru yang sekarang perlu dipikirkan adalah, aku dan Hans sepertinya harus belajar management waktu lebih lagi, mengingat kami berdua sama-sama membutuhkan waktu yang tak sebentar di kamar mandi.
Pintu kamar mandi akhirnya terbuka. Aku sudah tak bisa untuk tersenyum karena perubahan ini terlalu dadakan. Dia menatapku, terlihat sedikit bingung, lalu matanya melirik jam di dinding. "Terlalu lama kah?"
You tell me, Sir.
Aku nyengir, tersenyum lebar. "Enggak kok. Aku juga nggak sadar, soalnya sambil scrolling Instagram."
Kepalanya mengangguk.
Hans hanya mengangguk dan berjalan sembari memegangi handuk yang melilit itu, kemudian sekarang berdiri di depan lemari, membelakangiku. Aku baru punya waktu untuk sadar melihat tubuhnya. Ini kali pertama dan beberapa detik tadi tidak terhitung mengingat aku belum sadar.
Well, seperti yang aku bilang, fisiknya memang tidak jelek. Dia hanya ... bukan pilihanku sejak awal.
---
terus pilihanmu sapee, Rey? Vicky Prasetyo?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top