tiwifl || 04

Empat, katanya


"Come and sit with me."

Setelah sekian lama waktu yang kami lalui berdua di dalam rumah ini—rumah Hans, sekarang dan nanti—kami belum berbicara 'semestinya'. Sejak tadi tiba di sini, yang pertama ada di kepalaku adalah ... dia sungguh manusia simpel yang ada di muka bumi ini. Tak ada warna apa pun sebagai aksen selain cream untuk cat tembok, putih bersih untuk kayu-kayu jendela, warna cokelat kayu untuk pintu, dan gorden cokelat tua. Bagaimana dengan sofa? Abu-abu dan cream. Lemari yang tak banyak jumlahnya juga berwarna putih. Aku bahkan tidak melihat adanya tumbuhan satu pun untuk menyegarkan mata dengan warna hijaunya. Atau kamu bertanya bagaimana di dapurnya? Didominasi putih hingga ke warna kabinet, yang berwarna cokelat hanya kursi di meja makan, warna hitam adalah kompor.

Tanganku gatal ingin memberi warna di rumah ini, tapi kalau dipikir ulang, ini bukan milikku dan semuanya hanya akan bersifat sementara.

Anyway, kita kembali ke sofa empuk milik Hans yang sekarang sudah aku dan dia duduki. Kami baru selesai makan malam dengan dia yang melakukan demonstrasi kemampuan memasaknya. Aku memberinya nilai 9/10, mengingat aku tak becus di banyak hal (itu kenapa, aku bingung kenapa Mama dan Papa Amar sangat percaya diri memperkenalkanku pada Hans yang memiliki sejuta value itu).

Namun, sekarang aku sadar, justru karena aku tak sama dengannya, itu akan mempermudah Hans hidup ke depannya. Ada banyak laki-laki kebakaran jenggot ketika melihat perempuan—pasangannya—lebih unggul di beberapa hal dibanding dirinya. Gaji perempuan seolah tak boleh lebih besar, jabatan perempuan jangan sampai lebih tinggi, karena apa kata orang nanti! Lalu, perempuan juga tak boleh penyakitan, karena laki-laki ingin hidup dengan damai dan sejahtera, memiliki keturunan. Kalau memang ada salah satu yang tak bisa memiliki keturunan atau ternyata ada penyakit bawaan, itu seharusnya lelaki. Sebab apa? Sebab perempuan akan dan harus menerima dengan lapang dada, sebagai wujud berbakti kepada suami.

Aku tidak tahu Hans termasuk bagian dari kelompok laki-laki yang aku sebutkan tadi atau bukan. We'll see.

"Can we talk?"

Kepalanya mengangguk.

Aku tidak buru-buru lantas membuka mulut dan mengeluarkan semua yang ada di kepala sebagaimana biasanya sehari-hariku menjadi manusia dengan gelar paling hobi overshare—nominasinya hanya aku dan aku juga yang memilih pemenangnya. Aku justru memutuskan memberi waktu untuk mataku menganalisa lelaki ini, ke sekian kali setelah dia datang di hidupku. Dia bukan tipe laki-laki yang akan menarik perhatianmu di tempat umum atau di segerombolan laki-laki lain. Dia mungkin akan di belakang layar sebagai pendukung pemain utama. Pakaiannya tak membuatmu berbinar kagum, wajahnya tak membuatmu mendadak menyebut nama Tuhan dan diiringi keinginan untuk memiliki.

Tapi yang aku tahu, dia menarik. Tetap menarik entah dalam definisi apa dan siapa lagi selain aku.

Dia tipe yang tak memberiku percikan-percikan api di dalam perut, tak mengenalkan rasanya melilit, tak mengenalkan rasanya memerah dengan rayuan kata-kata juga tatapan professional merayu. Tapi justru karena dia sendirian, di saat orang lain mengerumbuni pemeran utama, maka segala hal tentangnya menjadi terlihat luas dan bebas untuk kamu lihat. Saat itu, barulah kamu akan tersenyum tipis dan mengatakan; he's gentleman.

He's a man.

Mungkin aku akan melakukan revisi besar-besaran di kemudian hari atas paragraf-paragraf panjang yang aku buat khusus untuk laki-laki asing ini. Tak masalah, mari hidup untuk hari ini.

"Reva?"

Aku tersenyum lebar, karena akhirnya dia mulai menyuarakan kebingungannya. Lalu aku memandangi seisi ruangan ini sambil menggoyang-goyangkan tubuh pelan, ruang santai yang tak terlalu besar dengan sofa tidur dan televisi besar di dinding depan kami. "Ngerasa nggak kalau rumahmu butuh sedikit warna?"

Dia ikut melihat sekitar dan tak ada perubahan ekspresi apa pun. Jelas tidak ada, dia sudah tinggal di sini sebelum aku datang. "Menurutmu butuh?" tanyanya, masih belum mengembalikan pandangannya untukku. Sekarang sudah. Dia menambahkan, "Mungkin bukan cuma rumahku, tapi keseluruhan hidupku."

"Oh!" Aku tertawa pelan. Selera humornya lumayan ju—sebentar dulu, dia tidak tertawa? Dia serius mengatakannya? Okay. "Kamu tahu nggak kalau aku suka warna-warna seru? Aku nggak suka yang monochrom, sedih lihatnya. Aku suka pink, blue, sage, yellow. Aku suka sesuatu yang berwarna."

Dia tersenyum. "Aku tahu."

"Dari Mama dan Papa Amar?"

Kepalanya menggeleng.

"Terus dari siapa?"

"Dari kamu sendiri."

"Did I say that?"

"Oh enggak." Matanya terlihat mencari sesu—dia menunjuk handphone-ku, aku paham apa yang dia maksud. "Case hapemu. Case dan hiasan iPad-mu, dan aku sempet lihat juga laptopmu." Dia menunjuk dress yang aku pakai sekarang juga menggunakan sebelah tangan dengan kelima jari terbuka. "Dari pakaian dan aksesoris yang kamu pakai. Dari tasmu."

Aku meringis. "Haruskah aku ngerasa khawatir?"

"Soal apa?"

"Kemampuanmu dalam observasi lawan."

"Lawan?"

"Iya." Aku mengangguk. "Aku bahkan nggak ngeh kalau—"

"Kamu bukan lawanku."

"Right. My bad." Aku tersenyum lebar. "Jadi karena kamu udah paham dan nilainya seratus, kamu tetep nggak masalah kalau tiba-tiba aku beli throw blanket warna atau motif feminin?" tanyaku sembari menepuk-nepuk sofa di sebelah bokongku.

"Kayaknya akan bagus juga buat perspektif lain."

Aku tergelak sambil mengangguk-angguk paham. "Okay, lupakan throw blanket, aku minta kamu duduk di sini bukan buat bahas warna itu, Mas. Aku mau ngobrol serius buat hidupmu juga ke depannya. Aku tadinya nggak mau bahas dan ngaku ini, tapi jadi nggak tega karena kamu keliatan baik banget deh, makanya aku mau kasih info biar kamu nggak kaget."

Wajahnya masih tetap lempeng, hanya kepalanya yang mengangguk-angguk tanda dia menerima dan memberiku waktu untuk menjelaskan tujuan utamaku. Ketika dia bilang bukan hanya rumahnya yang perlu diberi warna, sepertinya dia benar. Mungkin dia juga bisa terkena serangan jantung kalau tahu seberapa parah level overshare-ku ke orang lain.

"Waktu kamu tanya apa yang aku harepin dari pernikahan ini, aku jawab kegagalan. Waktu itu kamu cuma senyum karena pasti anggap ini cuma karena aku belum bisa nerima atau aku yang masih malu-malu atau apa. The thing is ... aku serius, Mas." Ke mana ekspresi terkejutnya mendengar istri baru yang tadi masih ketawa-tiwi membahas warna cover sofa, lalu sekarang membahas kegagalan rumah tangga? "Aku bukan cuma belum bisa nerima, tapi nggak akan nerima. Aku akan buat rumah tangga kita nggak berjalan. Tapi kamu tenang aja, bukan berarti aku jahat ke kamu, no, kamu orang baik aku tahu, aku akan lakuin sebisa mungkin nggak nyakitin kamu. Aku cuma mau buktiin ke Mama-Papa, mereka nggak punya hak ngatur kehidupan orang lain."

Hans mengangguk.

"Aku nggak akan pernah mau melakukan hubungan badan sama kamu. Bukan karena kamu nggak jelek, tapi aku udah bilang, kamu bukan pilihanku, jadi segala hal tentangmu terlihat nggak menarik buatku meski sebagai manusia aku akui kamu menarik. Kira-kira paham nggak kalimatku yang muter-muter ini?"

"Paham."

"Kalau kamu punya perempuan lain, silakan. Kamu bisa atur sendiri kebablasan atau enggaknya. Aku nggak terlalu paham karena aku belum pernah berhubungan badan." Bahkan informasi sevulgar ini pun, belum mampu membuat mata Hans membeliak atau minimal keningnya berkerut. "Beberapa orang emang bisa ngelakuin itu tanpa dasar cinta, ada yang bilang hidup sama orang yang mencintai kita lebih baik. Faktanya, kita dua orang yang sama-sama nggak punya perasaan apa-apa. Ditambah, aku orang yang mau berhubungan fisik sama orang yang aku mau dan cinta. Aku memegang teguh definisi SEX adalah Sacred Energy Exchange. Aku juga nggak mau terikat karena kita berhubungan badan sementara aku tahu hubungan ini temporary. Oh terakhir, aku nggak punya rules apa-apa, yang penting itu tadi. Kamu gimana, Mas?"

Kami saling tatap tanpa mendengar jawabannya, mungkin ada sekitar sepuluh detik. Sebelum akhirnya kepalanya mengangguk dan mengatakan, "Okay."

"Kamu ada rules atau apa gitu?"

"Nggak ada."

"Gimana sama tempat tidur?"

"Kamu mau terpisah atau satu kamar?" tanyanya, tak terlihat atau terdengar kesal.

"Kalau satu kamar, kamu bisa nggak dipercaya?"

"Bisa."

"Okay, untuk sementara satu kamar. Soalnya aku kepikiran orang tua kita yang nanti tiba-tiba ke sini, nginep blah blah. Takut nggak sempet beres-beres barang."

Kepalanya mengangguk.

Aku pikir obrolan kami sudah selesai dengan kesimpulan dia berbeda dari kelompok lelaki yang tadi aku jelaskan di awal. Dia terbuka dan menerima pendapat yang berbeda. Dia menghargai aku. Baru saja aku menyentuh anak tangga pertama untuk naik ke kamar, aku mendengar panggilannya dari sofa tempatnya duduk. Tatapan kami bertemu ketika aku menoleh. "Kenapa, Mas?"

"Aku tetep boleh ngakuin kamu sebagai istri selain di depan orang tua kita?"

Aku tersenyum lebar. "Boleh."

Hans mengangguk.

Mungkin ini yang disebut perang dingin. Tak ada percikan api sama sekali, tak ada asap, tak ada rasa panas. Yang ada hanya ketenangan, persetujuan, kerja sama, padahal tujuannya untuk saling menghancurkan. Tapi tentu saja, niatku tak pernah personal untuk Hans. Aku tidak mungkin gila dengan tanpa alasan membencinya.

Tujuanku jelas sejak awal, aku tidak ingin pernikahan ini dan tidak ingin Mama dan Papa Amar merasa pilihannya yang terbaik.

Bukan mereka yang menjalani pernikahan bersama Hans, tetapi aku.



---

tim Rerey berhasil dalam misi menggagalkan rumah tangganya atau tidaakk? awokwokwowk

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top