tiwifl || 02

Dua, katanya


"Gimana, Mbak, rasanya makeup-in orang dadakan?"

"Oh! Udah biasa kok, Kak, alhamdulillah, insha Allah, selalu bisa kasih yang terbaik. Kita nggak pernah tahu urusan orang, kan, yaaa, jadi kita berusaha nggak yang serang mereka kenapa harus pesen dadakan blah blah blah. Kalau kita memang kosong, kita terima, kalau nggak, biasanya saya kasih rekomendasi teman yang menurut saya terbaik juga."

Aku tersenyum lebar. "Nggak curiga kalau pesenan makeup dadakan berarti ada something fishy di sana?"

Wajahnya terlihat ragu-ragu, benar-benar tersenyum kikuk sambil tangannya yang nggak cuma lentik, tapi terampil itu memoles entah apa pun di wajahku. Aku masih menunggu jawabannya, tapi sepertinya dia stunned to speak, mungkin memang harus aku yang membantu karena aku juga yang memulai. Dia jelas tidak mau terlihat ikut campur dan tidak profesional ke aku, kliennya.

"Pernah makeup-in orang yang dijodohin nggak, Mbak?"

"Ummm, saya nggak tanya sih, Kak," jawabnya dengan tawa canggung. "Motif pernikahan itu menurut saya sakral dan privacy, jadi saya berusaha untuk hal-hal itu. Tapi sejauh ini, pengantin yang saya makeup selalu happy, alhamdulillah. Kayak Kakak gini, aura kebahagiaannya terpancar. Mungkin ada yang pendiam, seperlunya, gitu sih."

Aku mengangguk-anggukkan kepala. "Aura kebahagiaan ya. Berarti, aura tuh bisa dibikin ya, Mbak? Nggak sepenuhnya natural atau bawaan diri gitu?"

"Sorry, Kak?"

"Soalnya aku nggak ngerasa aku happy as a bride sih."

Hening.

Bahkan aku bersumpah melihat MUA di sebelahku ini refleks menoleh ke teman—asistennya, ya? Aku kurang paham juga bagaimana detail pekerjaan MUA dan perintilannya.

Yang aku tahu, demi menyelamatkan mereka dari kerja jantung yang menggila, aku berusaha menjelaskan. "Anyway, aku bukan berarti mau marah-marah nih ke Mbak-Mbak sekalian. No, nggak pa-pa kalau mau bikin konten, I'm happy to help. Aku cuma penasaran aja tadi, soalnya ini serba dadakan. Aku juga tadinya nggak mau sih dinikahin, ngerasa kayak nggak punya kapabilitas as a human being." Aku tertawa pelan, lalu memejamkan mata ketika MUA meminta izin untuk mengoleskan eye shadow. "Tapi setelah dipikir-pikir, yaudahlah, toh nggak punya pacar juga dan nggak ada tanda-tanda ada yang mau nikahin lewat jalurku sendiri. Kalau ini nanti nggak berhasil, yaudah, apa bedanya sama patah hati lainnya. Soal status jadi janda, yaaa apa sih arti status? Ini juga itung-itung berbakti sama orang tua, kata mereka sih gitu. Orang tua selalu tahu apa yang terbaik untuk anaknya."

"Kak, are you okay?" Aktivitas kami terhenti selain saling tatap. "Kalau Kakak butuh bantuan, kita bisa batalin ini dan—"

"No no no." Aku menggeleng sambil tertawa. "Mbak lanjutin aja. Ini aku cuma cerita, just in case Mbak belum pernah nemu yang kayak gini. Ternyata ini beneran ada di dunia nyata gitu lho. Bukan cuma simulasi fiksi. Agak serem, ya? Tapi yaudah."

"Tapi mungkin pilihannya orang tua Kakak yang terbaik, Kak?"

"We'll see." Aku mengedikkan bahu. Lalu mencari foto Hans dari galeri yang pernah dikirim Mama. "Ini orangnya. Menurut Mbak, ada aura kebahagiaan gitu juga nggak?"

Mbak MUA tertawa. "Ganteng kok, Kak."

"Yes, he is." Aku tersenyum lebar. "Semoga beneran kata orang deh, kalau kita good looking, setengah masalah hidup selesai. Semoga kalaupun nanti di depan ada masalah-masalah, bisa beres sama kegantengannya. At least, aku beresin sisanya pakai akal sehat."

"Tapi aku punya temen, Kak." Kali ini, asisten atau apa pun itu namanya, yang sejak tadi hanya diam, akhirnya bersuara juga. "Dia dijodohin sama orang tuanya juga, dan alhamdulillah mereka happy. Sekarang udah punya dua anak. Katanya sih, cinta dalam rumah tangga itu cuma sepuluh persen, sembilan puluh lainnya isinya akal sehat itu semua, kayak yang Kakak maksud. Kita doain, semoga rumah tangga Kakak nanti juga bisa berjalan baik dan membahagiakan."

"Ya Allah, aamiiin!" Aku tersenyum lebar. "Kalian baik bangeett. Tapi yang aku pikirin justru, gimana sama malam pertamanya?" Kami semua tertawa. Kalau hasil dugaan kasarku sih, kami bertiga di dalam kamarku ini belum ada yang menikah. Mereka juga terlihat sangat muda kok. "Apa orang yang dijodohin tuh langsung mau disentuh? Atau tunggu minimal nyaman dan suka dulu? Temen Mbak gimana?"

Dia meringis. "Aduh yang itu saya nggak tanya."

Aku tertawa. "Karena privacy, ya?"

Dia mengangguk.

Well, I want to make it clear, aku memang bukan golongan orang yang bisa menyimpan segala hal untukku dan hidupku. Maksudku, kalau ada lomba kategori orang paling overshare di bumi ini, I am the winner. Beberapa artikel ilmu pengetahuan psikologi, kalau kamu mencari informasi kenapa kita overshare blah blah blah, mostly bilangnya karena kita butuh attention and validations from other people. May be I am, tapi kalau aku sendiri tidak merasa demikian.

Karena aku tidak berharap bagaimana mereka harus bereaksi akan ceritaku. Seperti tadi Mbak MUA, aku tidak marah atau apa, aku memang senang bercerita. Beberapa orang mungkin menganggapku mengganggu karena talking too much, tapi aku tetap tenang selagi aku merasa aku tidak melukai orang lain. Yang aku ceritakan adalah hidupku atau membahas hal-hal umum, bukan menjelekkan orang lain. Oh no, tadi mungkin aku terdengar sedikit menjelekkan mama karena bilang dia menjodohkanku.

Tapi itu fakta.

Bahkan salah satu alasan aku akhirnya duduk anteng dan siap didandani sebagai pengantin ini adalah karena ... mungkin aku juga sudah berubah, sudah menjadi orang yang kejam. Tujuanku salah satunya, untuk membuat Mama, sekali lagi, tidak boleh merasa dia mirip Tuhan. Hanya karena dia pernah gagal di masa lalu, bukan berarti dia boleh merasa sudah berpengalaman sehingga keputusannya sekarang menjadi benar. Apa jaminannya pengalaman gagal kita untuk menuju kemenangan hanya sekali? Ilmuwan itu bahkan gagal berkali-kali. Jadi, menurutku, Mama, merasa sudah di atas angin, hanya karena dia pernah gagal bersama Papa Aji, lalu berhasil dengan Papa Amar, sehingga aku pun akan berhasil dengan Hans.

Harapanku justru sangat buruk dengan pernikahan ini. Aku ingin ini tidak berhasil. Gagal. Bagaimana pun rupa gagalnya. Meskipun itu artinya aku juga akan menjadi yang terluka, aku sudah siap.

Alasan lain kenapa pernikahan akan berlangsung adalah seperti yang aku ceritakan kepada MUA cantik tadi, bahwa aku juga tidak melihat ada tanda-tanda lelaki mendatangiku lewat jalur yang aku buat. Daripada orang lain dan diriku sendiri masih terus bertanya-tanya atau mengira aku belum move on dari yang terakhir kali, ini bisa menjadi jembatan alternatif.

Kedua alasan tersebut tidak ada yang mulia, bukan?

Aku tahu, and I'm sorry for being this cruel.

Tapi yang aku pahami sejauh ini, belum ada kejahatan atau kekejaman dari yang aku lakukan dan terima melebihi apa yang dia lakukan. Yang Danar lakukan. Aku bahkan masih bisa mengingat bagaimana kata tiap katanya, suara napasnya ketika mengatakan semua itu, intonasi dan penekanan katanya.

Dia bahkan penjahat paling pengecut karena melakukannya via rekaman suara, tidak memberiku kesempatan untuk menjawabnya langsung.

'Hi, it's me. Aku tau ini bukan jenis chat atau VN atau kabar yang kamu tunggu-tunggu. Aku tau aku akan jadi orang paling jahat ke kamu padahal aku selama ini berusaha singkirin orang-orang jahat dari sekitar kamu, dan sekarang aku jadi mereka. Rey, kamu adalah hadiah terindah yang Tuhan kasih ke aku di dunia ini. Aku nggak mungkin bisa berharap bisa lupain apa yang kita lewatin. Indahnya masa SMA, plin-plannya nentuin identitas diri di zaman kuliah, sampai akhirnya kita udah jadi orang dewasa beneran. Adulting sucks ya, Rey? Cari duit, nentuin masa depan, semuanya suck. Ditambah aku juga yang pengecut atau mungkin emang perjalanan cuma sampai sini? Rey, aku sebenernya nggak mau kamu bangun cerita lagi nanti sama orang lain, tapi aku juga nggak bisa nemenin kamu lagi, jadi aku tetep doain kamu nemu cinta yang baru. Aku nggak akan minta kamu buat nggak benci aku, karena aku layak. Aku ingkari janji, I can't do this anymore. Aku nggak bisa terus-terusan merasa bersalah karena lupa nggak jawab chat kamu, nggak telepon kamu. This time difference is killing me. Sepele tapi dampaknya ke mana-mana. Yang kamu lakuin di sana, aku nggak bisa sepenuhnya paham, yang aku lakuin di sini, kamu juga kesusahan paham. Rey, aku juga ... aku nggak balik ke Indo. I'm sorry. Kamu juga nggak bisa ikut aku ke sini. Jadi aku nggak bisa lagi, Rey. Mama ngizinin aku stay di sini. We're sorry, I'm sorry, Rey. I wish you the best of luck. I love you.'

Lalu laki-laki baru yang sekarang sudah duduk di sebelahku ini berjabatan tangan dengan penghulu, mengikrarkan akad nikah. Laki-laki yang sama sekali tidak aku kenal. Laki-laki yang tidak pernah terlintas saat aku sedang merencanakan masa depanku, dulu. Laki-laki yang dipuja-puja Mama dan Papa Amar. Laki-laki yang entah apa motifnya hanya menerima pernikahan yang dilangsungkan di KUA dengan perempuan yang tak dia kenal juga. Laki-laki yang sekarang memasuki kamarku bahkan Danar belum pernah melakukannya. Laki-laki yang memakai kamar mandiku—padahal ini privacy, seperti kata-kata Mbak MUA tadi, kan? Laki-laki yang sekarang duduk di sebelahku, di pinggir kasurku, menatapku, dan mengatakan, "Apa yang kamu harepin dari pernikahan, Reva?"

Reva?

Who is Reva?

Oh, aku? Aku hampir lupa kalau nama lengkapku adalah Revandara Pramesti karena semua orang memanggilku Rey atau Rerey dan laki-laki ini mau menjadi berbeda karena dia juga satu-satunya laki-laki yang pernah duduk di kasur ini? Bahkan Papa Amar hanya duduk di sini kalau aku sakit. Bahkan Papa Aji, papa kandungku sendiri, belum pernah melihat langsung isi kamar anak gadisnya.

Jadi, kamu mau menjadi yang paling berbeda, Mas Hans?

Kalau begitu, kita mungkin dalam satu misi. Aku tersenyum dan menjawab, "Kegagalan."




---

seperti biasa, yang MAU baca duluan, nanti bisa ke KK yaaa. 'kaak, maap gabisa ikutin sampe KK', ya gaapaaaa, ikuti ke mana kamu senaang. di sini juga bisaa, tungguin ajaa, seminggu sekali biasanyaa kaaan. 

mam siang sama apaaa? muach.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top