Epilog
Hijrah.
Beberapa tahun silam aku pernah sangat membenci kata itu.
Didorong oleh rasa ingin tahu, kucoba menginjakkan kaki di sana.
Allah bukakan banyak keajaiban hingga mengetuk pintu hati.
Semakin kutelusuri, semakin besar rasa kagumku. Meski begitu, masih saja aku bebal, lantas berusaha menutup diri dari kebenaran.
Silih berganti ujian menghampiri. Kawan-kawan baru Allah hadirkan di hidupku. Melalui jalan yang tak pernah kuduga, aku takluk di hadapan hidayah-Nya.
Lembar berganti, halaman kosong siap kuisi, aku mengenal jalan yang baru.
Dakwah.
Di atas jalan ini, hari-hari lebih bermakna. Aku tahu ke mana kaki akan melangkah. Di mana mataku tertambat.
Ujian hidup semakin berat seiring kenyataan-kenyataan pahit yang terkuak. Keinginan untuk mundur kian mencuat.
Akan tetapi, Allah datangkan kawan yang berusaha menguatkan.
Kewajiban tetaplah kewajiban. Meski dunia berantakan, harus tertunaikan.
Jarum jam terus berputar, detik demi detik merangkak, siang dan malam bergantian memanjakan bumi.
Berangsur-angsur hati kembali tenteram. Laju mulai stabil, dan semangat terus meroket.
Ketika aku merasa segalanya perlahan membaik, kabar dari rumah kembali terdengar.
Tak lama, kutemukan lagi jalan baru.
Nikah.
Ibadah terlama, surga tujuannya. Ada nahkoda, ada penumpang.
Sejak awal, dialah yang kuharapkan menjadi nahkoda di atas bahtera ini.
Angan-angan berputar hanya padanya. Dia yang membuatku mengenal kereta hijrah, lalu kagum pada usahanya meniti jalan dakwah.
Dialah bait dari segala doa-doa. Muara rindu dan penantian. Tak luput meminta pada Allah agar disatukan di atas bahtera yang sama.
Dia nahkoda, dan aku satu-satunya penumpang.
Sempat angan diterbangkan, sebelum akhirnya terhempas hingga sedemikian.
Sebab, skenario Allah tak selalu sama dengan keinginan manusia. Sebuah nama telah tertulis di lauhul mahfudz. Sayang, itu bukanlah namanya.
Ada calon nahkoda lain yang diam-diam berjuang dengan caranya. Sosok cerdik yang tak berusaha sendirian.
*
Pintu kamarku diketuk. Aku bangkit. Kulepaskan bolpoin dalam genggaman. Terlalu grogi menunggu, kuputuskan untuk menuliskan segala resah.
Kayu persegi panjang itu bergerak. Aku melangkah hati-hati. Jantungku sangat berisik di dalam sana.
Pandanganku terkunci. Senyum itu masih sama, tatapan teduh yang pertama kali menghiasi masa remajaku.
"Assalamualaikum, Arisha."
Pintu tertutup. Mataku terasa basah. Kecupan lembut mendarat di dahi.
Hatiku makin ketar-ketir. Mataku bergerak ke sembarang arah. "Jangan natap gitu, Bang. Nggak takut hafalannya buyar?"
Tawa berderai. Renyah seperti bertahun-tahun yang lalu. Masih saja terdengar menyenangkan di telinga.
"Nggak mungkin, lah. Kan ada cap halalnya."
"Emang aku produk kemasan?!" tukasku sebal.
"MUI dong?"
Astaga. Kenapa jadi garing begini?
Aku menyengir sebagai bentuk penghargaan. Tubuhku di tarik, segera tenggelam dalam dekapan. Masih sehangat dulu, bahkan kini bertambah menentramkan. Tak ada lagi gelisah yang menghantui karena takut ketahuan.
Bibirku berkedut-kedut. Senyumku mengembang.
"Maaf pernah berkhianat. Kamu tahu, dulu, ataupun sekarang perasaanku nggak pernah berubah, Arishayang."
Tawa tak bisa dibendung. Oi, itu panggilan mesra semasa remaja. "Sayangnya, aku enggak gitu, Bang."
"Biarin, yang penting kamu udah jadi istriku. Gampang. Aku cuma perlu bikin kamu jatuh cinta. Lagi dan lagi, sampai kita tua bersama. Cuma kita. Denganmu, aku nggak butuh yang kedua, ketiga, atau keempat. Itu janji seorang laki-laki."
"Lebay."
Kami terbahak bersama. Ini lelucon paling aneh bagi pasangan pengantin baru.
Tsk. Dasar.
*
Hatiku memang tak seperti dulu lagi. Sudah sejak lama namamu tak bertahta di sana. Namun, dengan kesadaran penuh, akan kubangun ulang segala rasa. Spesial untukmu, wahai imamku.
Bersamamu, aku tak perlu khawatir tentang masa lalu. Berdua, aku dan kamu akan merekonstruksi hubungan ini.
Di luar sana, mungkin ada yang tak mendukung kebersamaan kita. Mencela skenario yang dituliskan takdir. Skeptis tentang bagaimana semesta berbaik hati menyatukan kita.
Akan tetapi, tak perlu ambil hati anggapan orang. Ini adalah hidup kita.
Aku yakin, takkan sulit mencintaimu sekali lagi, bahkan berkali-kali hingga maut menjadi pemisah. Sebab, kamu adalah kekasih pertama sekaligus terakhirku.
Di masa lalu, kita pernah berpisah karena pengkhianatan, lantas bersama kembali didorong oleh rasa kasihan. Tahun-tahun selanjutnya, kita berada di persimpangan.
Aku menemui banyak orang hingga akhirnya menjadikan hijrah sebagai pelarian.
Begitu pula kamu yang diterpa sakit hingga memilih hijrah sebagai batu loncatan.
Siapa sangka, jalan hijrahlah yang membawamu kembali padaku.
Di atas jalan ini, kita akan mengembara dengan semangat keimanan. Sampai nanti, ketika kaki kita sudah menapak di pelabuhan terakhir, surga.
-TAMAT-
NB. Karena cerita Parak revisi, maka Hampa juga revisi. Otomatis, TiOW juga ikutan revisi. Jadilah begini endingnya. 😉
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top