|7| Dari Sisi Dani
"Kok bisa?!"
Diantara sekian banyak kemungkinan, justru itu yang Arisha tanyakan? Aku menarik napas sesaat, lalu berdehem singkat. Selama ini, aku sering jadi pendengar. Menyimak seluruh curahan hati cewek itu. Sekarang giliran aku yang bercerita.
"Ceritanya agak panjang. Nggak pa-pa?"
"Aku punya banyak waktu kok!"
Senyumku mengembang meski kutahu ia tak dapat melihatnya. Sejauh ini kami belum pernah bertemu secara langsung. Biaya untuk mengirim MMS juga terlalu mahal. Namun, berdasarkan pengakuan Arisha, ia pernah melihatku dulu. Aku sendiri sudah melihatnya lewat foto yang diberikan Bang Faras. Tampaknya aku harus berterimakasih kepada pemuda itu karena telah mengenalkanku kepada cewek seperti Arisha.
*
Kalau tidak salah, sekitar pertengahan Agustus lalu, pertama kali Bang Faras memberikan kontak Arisha padaku. Itu terjadi ketika aku curhat tentang mantan pacarku. Aku mengeluhkan kisah cinta yang tragis. Bisa-bisanya aku diputuskan hanya karena kondisi ekonomi keluarga. Pertama kali pacaran dan langsung berakhir menyakitkan. Terus terang, momen itu meninggalkan trauma tersendiri buatku.
Bang Faras adalah orang yang dewasa. Mungkin karena menjadi yang paling tua di antara seluruh penghuni kost, dia sering dijadikan tempat curhat. Aku lupa bagaimana kronologi tepatnya, yang jelas aku meminta dikenalkan dengan seseorang dari Desa X karena kutahu cewek-cewek di sana terkenal cantik. Kebetulan Bang Faras berasal dari desa itu juga.
Aku mengirim SMS ke kontak yang diberikan Bang Faras. Arisha Luana. Begitulah dia memperkenalkan diri. Tidak banyak yang berkesan ketika kuhubungi pertama kali. Interaksi kami berjalan singkat dan berakhir sangat cepat. Aku melupakannya setelah itu.
Beberapa waktu lalu, mungkin sudah 6 minggu lebih, seluruh penghuni kost berkumpul. Ini memang agenda rutin kami setiap bulan di akhir pekan. Rumah kost ini diperuntukkan khusus cowok. Kami terkadang mengadakan futsal atau sekadar bepergian ke hutan untuk melihat air terjun.
Pagi itu agenda kami sedikit berbeda dari biasanya. Nonton bareng sambil makan rujak. Kami saling mengobrol di tengah-tengah aktivitas itu. Seperti perkumpulan cowok pada umumnya, rasanya kurang lengkap jika belum membahas topik tentang lawan jenis. Terlebih, penghuni kost didominasi oleh siswa SMA— yang notabene lagi masa-masanya membangun cinta monyet.
"Dani tertawa. Udah nggak galau lagi nih?" ejek salah satu temanku.
Kulemparkan bekas gigitan mangga ke arahnya. Sial. Dia berhasil menghindar. Kami teman sekelas. Barang tentu dia mengetahui kabar itu karena mantanku juga berada di kelas yang sama.
"Emang si Dani kenapa?" timpal yang lain.
"Patah hati soalnya ditinggal gitu aja."
"Jangan dengarin. Dasar tukang ngarang cerita." Aku mencibir kesal sekaligus malu. Sangat tidak elite jika semua orang tahu kesialanku.
"Sudah, sudah. Suara televisinya jadi nggak kedengaran gara-gara kalian." komentar Bang Hasan. Kami bungkam secara otomatis. Cowok itu kakak kelasku. Hanya setahun lebih tua, tapi punya wibawa yang mematikan. Sepertinya semua anak kost segan padanya.
Mendadak, suasana terasa canggung. Semua mata tertuju ke layar kaca. Tak ada lagi yang bersuara. Aku melirik ke sekelilingku. Kebetulan pandanganku berpapasan dengan manik mata milik Bang Faras. Aku mengerjap lambat. Kuharap ia paham kodeku.
Bang Faras berdehem. Aku menarik napas lega. "Ehm. Benar apa kata Hasan. Kalau filmnya sudah selesai, kalian boleh ngobrol lagi."
Kami semua mengangguk sepakat. Topik tentang hubungan romansa selalu menarik. Kurasa semua orang sudah tak sabar menunggu film berakhir. Kecuali aku, tentu saja. Tidak akan sudi menjadi bahan bully mereka.
"Apaan tuh? Masa jagoannya mati?" Terdengar protes begitu film selesai diputar. Saat itu kami sedang menonton film laga.
"Bad ending."
"Cuma film, biasa aja!" gumamku.
"Itu karena kamu nggak nonton dari awal. Sibuk meratapi patah hati!"
Aku mendelik. Teman sekelasku itu tertawa mengejek. Hampir saja kulemparkan piring jika tidak ingat ada banyak orang di sini.
"Ngomong-ngomong soal patah hati, kalian tahu nggak obat terbaik buat menyembuhkannya?"
"Jangan pacaran lagi," sahut Bang Hasan. Lagi-lagi berhasil membuat suasana tak enak. Aku menggaruk rambut. Ingin menyahut, tapi sungkan. Serba salah.
"Nggak setuju! Justru saat kita masih muda gini. Momen-momen romantis nggak boleh dilewatkan. Kalau udah dewasa pasti sibuk sama kerjaan. Betul, kan?" timpal sebuah suara. Itu milik teman seangkatan Bang Hasan.
Kurasa aku yang paling semangat mengangguk di antara semuanya. Tak ada seorang pun yang mendukung pernyataan Bang Hasan.
"Benar, San. Jangan terlalu serius jadi orang," timpal Bang Faras. Aku menahan senyum saat melihat Bang Hasan mengembuskan napas pelan. Terlihat pasrah. Tak ada pendukung memang menyusahkan.
"Cara paling ampuh menyembuhkan patah hati ya dengan nyari pengganti," celetuk yang lain.
"Sip!" Bang Faras mengacungkan jempol. "Ngomong-ngomong, aku ada rekomendasi buat Dani."
"Apaan, Bang?" Antusiasme justru datang dari yang lain kecuali Bang Hasan. Cowok itu hanya diam saja.
"Aku punya kenalan. Dia ini masih kelas tiga SMP. Nggak bisa move on dari mantannya. Siapa tahu kalian bisa saling membantu, gitu?" Bang Faras menatapku jenaka.
"Nggak minat sama adik kelas," sahutku jual mahal, padahal aslinya sedikit penasaran. Malu diketahui oleh teman-teman.
"Mana kontaknya, Bang? Biar aku aja kalau Dani nggak mau."
Bang Faras menggoyang-goyangkan jari telunjuk. "Aku yakin kamu nggak bakalan dapat meski pun minat. Dia ini cewek berkelas. Bapaknya kepala sekolah, dia cantik, dan pintar pula."
"Siapa sih, Bang? Lihat fotonya!"
"Arisha, tahu nggak?" Bang Faras memandang Arfan. Mereka berasal dari desa yang sama. Arfan setahun lebih tua dariku. Teman sekelas Bang Hasan.
"Arisha Luana?" tanya Arfan. Bang Faras mengangguk singkat. "Ya, nggak cocok, lah! Percaya deh, nggak bakalan mau dia sama Dani," sambungnya.
"Benar 'kan apa kataku?"
"Kalau ceweknya sekeren yang kalian ceritakan, aku yakin Dani nggak sanggup."
Suara-suara sumbang kian terdengar. Bang Hasan adalah satu-satunya yang memilih bungkam. Aku mengerutkan kening. Tidak terima. Kesannya sangat diremehkan. Memangnya sesuper apa cewek itu? "Mana sih fotonya? Awas aja kalau nggak cantik!" tukasku kesal. Merasa tertantang.
Bang Faras menyodorkan ponselnya. Aku meraihnya secepat kilat. Pandanganku terpaku. Senyumku mengembang tanpa sadar. Ternyata mereka tidak membual. Jika foto itu bukan editan, kurasa cewek bernama Arisha ini layak diperjuangkan. "Oke, lihat aja! Kalau aku berhasil, kalian wajib traktir, setuju?"
"Setuju!"
Dan, begitulah. Aku memulai pertemanan kami dengan niat memenuhi taruhan. Nyatanya, Arisha jauh lebih hebat dari yang mereka deskripsikan. Lama-lama, aku benar-benar jatuh hati.
*
"Jangan marah, ya? Meski pun awalnya tujuanku kurang baik, tapi sekarang aku benaran suka sama kamu," terangku cepat. Takut ia salah paham. "Aku sakit hati setiap kamu cerita tentang Rafid. Pengen kutonjok cowok itu. Tapi, karena menghargai perasaanmu, aku diam aja."
Kudengar helaan napas di seberang sana. Aku menanti dengan was-was. "Kamu benaran jadiin aku bahan taruhan?"
"Enggak! Ma-maksudku, itu dulu sebelum aku kenal kamu. Sha, maaf. Jangan marah, oke?"
Hening. Aku menahan napas. Selang beberapa detik, ada tawa ringan terdengar. Mataku membulat. "Kenapa?"
"Aku justru mau berterima kasih pada teman-temanmu. Berkat mereka, aku bisa move on sepenuhnya."
Jantungku berdebar. Takut-takut, aku menyahut, "Ini maksudnya apa, ya?"
"Aku mau jadi pacarmu!"
"E-eh? Serius?!"
"Iya, lah! Masa bohongan." Arisha mendengkus kesal.
Aku bersorak tertahan. "Makasih, Sha. Aku janji nggak bakalan ngeduain kamu."
"Ya, ya. Aku juga kalau gitu."
Aku bernapas lega. Beban di dadaku seolah terangkat. Benar apa kata Bang Faras, cara terampuh untuk menyembuhkan patah hati adalah dengan mencari pengganti.
Aku menemukan Arisha sebagai pengisi hatiku. Hadirnya memang dimulai oleh sesuatu yang keliru, tetapi aku bertekad untuk membuatnya senang selama bersamaku.
To be continue ...
Rilekskan pikiran. Mari nikmati momen-momen bunga bertaburan dari mereka. Haha.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top