|5| Ombak Bergemuruh Untukku
Aku melarikan diri sejak 10 menit yang lalu. Kini aku berada di belakang rumah. Pandanganku tertuju pada laut yang membentang luas. Sinar mentari memantul di permukaan air. Kilaunya menyejukkan mata.
Tanganku bergerak otomatis setiap kali ada cairang bening yang menitik. Aku duduk di atas batu besar sambil menjulurukan kaki ke dalam air. Pemandangan di sini terbilang indah. Batu-batu besar berjejer di tepi pantai. Walau namanya pantai, tapi jangan bayangkan ada hamparan pasir putih memesona. Kerikil hitam justru bertebaran di mana-mana ketika pasang surut.
Di saat-saat sedih seperti ini, aku tidak pernah ingin sendirian. Kesepian membuat pikiranku semakin tidak keruan. Kuputuskan untuk menghubungi Bang Faras. Syukurlah tadi aku sempat mengambil ponsel sebelum kabur dari rumah.
"Halo, Bang?" sapaku begitu panggilan terhubung. "Lagi sibuk nggak?"
"Enggak. Kenapa?"
"Em, ke sini dong! Di pantai belakang rumahku."
"Tempat yang sering kita pakai buat mancing dulu?"
"Iya."
"Oke. Jangan macam-macam, ya! Aku sampai di situ dalam waktu sepuluh menit."
Panggilan berakhir. Aku tersenyum sambil memandangi layar ponsel. Di antara semua orang yang pernah kutemui, Bang Faras adalah salah satu yang kehadiranya sangat kusyukuri. Dia dewasa. Dapat diandalkan. Tidak pernah mengeluh ketika direkcoki oleh remaja seusiaku. Rasanya aku ingin punya kakak lelaki.
Sesuai janjinya, tak selang berapa lama, Bang Faras benar-benar datang. Pemuda itu menyerukan namaku cukup kencang. Aku menoleh. Ia berpijak pada batu besar yang lain. Kulambaikan tangan lemah. Memberi isyarat agar ia mendekat.
Aku memekik ketika ia melompat ke dalam air tanpa ragu. Separuh badannya basah. Mungkin ketinggian air mencapai dadanya. Bang Faras berenang menghampiri lokasiku. Ia mengulurkan tangan setelah berpegangan pada batu tempat dudukku. Aku menyambutnya dengan riang.
"Kenapa loncat? Abang jadi basah gitu," protesku.
"Repot kalau harus ke darat dulu terus turun ke batu ini. Lebih baik langsung nyebur ke laut," terangnya sambil merapikan rambut. Memang benar, dari satu batu ke batu yang lain jaraknya cukup jauh. Batu-batu tersebut menempel dengan tebing. Jika ingin menyeberang tanpa kena air, maka harus melewati daratan.
"Kenapa lagi? Kayaknya masalahmu nggak ada habisnya deh."
Aku tersenyum kecut. "Namanya juga hidup, Bang. Emang Abang nggak punya masalah?"
"Banyak. Salah satunya ditanya kapan wisuda, padahal aku masih semester empat."
"Emang kalau mau lulus harus semester berapa?" gumamku polos. Mohon dimaklumi. Aku masih SMP. Di lingkunganku orang yang sampai mengenyam bangku kuliah juga masih sedikit.
Bang Faras menepuk jidatnya. "Bodoh banget aku curhat sama bocah."
"Ish.. siapa yang bocah!" rajukku.
Bang Faras menepuk-nepuk kepalaku. "Kamu itu bocah. Umurmu masih belia, tapi masalahmu udah kayak sesepuh. Nggak habis-habis!"
"Heh!"
Bang Faras tertawa renyah. Tawa yang menular padaku. Penampilannya memang seram, tapi dia pemuda yang baik. Aku benar-benar mengaguminya. "Masih tentang Rafid?" tukasnya.
"Rafid benaran selingkuh. Aku lihat dia pulang sama pacar barunya kemarin. Mereka gandengan."
"Bagus kalau ketahuan lebih cepat. Kalian udah putus nih ceritanya?"
"Itu yang bikin aku tambah kesal. Masa aku nggak dihubungi sama sekali?"
"Itu tandanya kalian udah putus. Ngapain coba ngehubungi mantan?" tukas Bang Faras. Tersirat nada geli dalam suaranya.
"Bang ..." rengekku lagi.
Bang Faras tergelak sambil menepuk-nepuk bahuku. "Mending kamu sama Dani aja deh. Siapa tahu kalian bisa saling menyembuhkan."
"Ogah. Aku masih cinta sama Rafid. Dia itu pacar pertamaku, tahu?"
Bang Faras menangkup sebelah pipiku. Jantungku langsung melonjak tidak keruan. Perasaan apa ini? "Pacar pertama? Bukan cinta pertama?" godanya.
"Eh? Ma-maksudku, ya, sama aja!" Aku langsung menepis tangannya. Kurasakan hawa panas merambat ke seluruh wajahku.
Lagi-lagi Bang Faras tertawa. Renyah sekali. Aku tidak mampu menahan sudut-sudut bibirku untuk tidak tertarik lebar. "Ah, daripada galau mikirin mantan, mending kita naik perahu, yuk!"
Tanpa pikir panjang, aku langsung menyetujui ucapan Bang Faras. Hari itu, tidak peduli meski Mama mungkin mencariku, di bawah sinar mentari pagi, kami menghabiskan waktu bersama. Sesaat, kurasa ombak bergemuruh untukku.
To be continue ...
Yang udah baca, tolong tinggalkan jejak, oke? Gratis, lho. 😉
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top