|25| Terbukanya Tabir Rahasia (a)

Buton, Sulawesi Tenggara, pertengahan Januari 2019.

Aku sedang membantu mama membuat kue-kue tradisional. Masjid desa akan diperbaiki esok hari. Sudah jadi kebiasaan bagi masyarakat setempat untuk gotong-royong jika ada perbaikan fasilitas umum.

Bapak-bapak berkumpul di rumah Kepala Desa. Briefing demi kesuksesan agenda. Fauzan ikut bergabung. Entah apa yang dilakukan anak itu di sana.

"Ma, Ozan mau lanjut kuliah di mana?" tanyaku penasaran. Aku belum mendengar pembahasan perihal ini, padahal Fauzan sudah kelas tiga SMA.

"Disuruh kuliah di Malang, tapi dia tidak mau. Itu salah satu alasan yang bikin bapakmu marah."

"Dia maunya kuliah di mana?"

"Di Kendari. Banyak teman, katanya. Kalau kuliah di Malang, dia harus adaptasi lagi."

Aku mengangguk-angguk. Alasan Fauzan masuk akal. Memang hanya akan jadi masalah jika dia kuliah di Malang dengan tingkat kemalasan seperti itu. Bukan hal mudah beradaptasi dengan lingkungan yang benar-benar berbeda.

"Mau ambil jurusan apa?"

"Teknik Informatika."

Aku mendengus tipis. "Mana bisa lulus kalau kerjaannya cuma main?"

Mama mengembuskan napas, terdengar pasrah. "Tahu adikmu itu, Arisha. Terserah dia saja. Diarahkan bapakmu juga percuma."

"Kita doakan saja. Semoga dia lulus."

Mama meng-amin-kan. Beliau membuka tutup oven. Wangi kue bolu besar menguar. Aku mendadak lapar. "Ma, minta sepotong."

"Tunggu dulu, masih panas. Perhatikan itu adonan kuemu. Nanti tidak mengembang."

Aku mendesah kecewa. Mama geleng-geleng kepala. "Sha, kamu tahu kabar si Rafid sekarang?"

Aku tebatuk-batuk. "Kenapa tiba-tiba bahas dia?"

"Saya penasaran kenapa dia tidak pernah pulang kampung semenjak kuliah. Jadi, saya tanyakan sama mamanya pas kumpul ibu-ibu tadi siang. Tahu apa kata mamanya?"

"Apa?" tanyaku kepo. Jujur saja, meski perasaanku tak lagi tersisa untuknya, tetapi aku lumayan penasaran akan kehidupan cowok itu.

"Rafid kuliah sambil ikut pondok tahfidz."

"Apa?"

"Tahun pertama kuliah, penyakitnya yang dulu kambuh lagi. Dia bernadzar bakalan berubah kalau operasinya lancar. Luar biasa, sejauh ini kondisinya sehat-sehat saja. Sejak saat itu, kata mamanya, Rafid benaran berubah. Bukan main, tidak tanggung-tanggung, dia berjanji bakalan jadi hafiz."

Aku bersiul rendah. Ternyata suara yang pernah kudengar lewat video di instagram dulu memanglah Rafid. Pipiku berkedut-kedut. Rasanya ingin tertawa. Entahlah. Maksudku, jadi, jika operasinya tidak lancar, dia akan tetap jadi dirinya yang dulu?

Akan tetapi, aku turut bersyukur. Masya Allah, rencana Allah sungguh luar biasa. Datangnya hidayah siapa yang duga. "Hubungannya sama pulkam, Ma?"

"Ah, iya, masih ada lanjutannya itu tadi. Eh, ngomong-ngomong, kenapa senyummu lebar sekali?"

"Eh?"

Mama tergelak. Aku bungkam seketika. Jangan sampai ada yang menyinggung-nyinggung kisah lama di sini.

"Dia juga berjanji tidak akan pulkam sebelum tuntas 30 juz. Dengar-dengar, tahun depan dia bakalan lulus kuliah. Nah, sejalan dengan kelulusannya itu, dia juga bakalan wisuda tahfidz. Oi, luar biasa si Rafid. Dulu jadi preman sekolah, sekarang jadi idaman para calon mertua." Mama tertawa-tawa jenaka.

Aku menutupi wajah pakai tangan kiri. Sial, kenapa pipiku menghangat tiba-tiba?

"Tahu begitu, saya biarkan saja kalian pacaran dulu."

"Mama ..." rengekku. Mama semakin terbahak.

Malam itu, kami habiskan dengan penuh tawa. Bapak dan Fauzan bergabung tak lama kemudian. Fauzan merekcoki pekerjaan kami, sedangkan Bapak bertanya-tanya tentang kuliahku.

"Arisha, dicari Oma. Disuruh ke rumahnya. Tadi Paman yang kasih kabar." Fauzan menyela obrolan kami.

"Jangan panggil langsung nama kakakmu, Ozan. Kalian sudah besar. Latihan bicara yang sopan."

"Nanti saja kalau sudah kuliah." Fauzan menjawab diiringi tawa menyebalkan. Seharusnya berbicara sopan sudah dilatih sejak kecil, tetapi begitulah kebiasaan di desa kami. Unik.

Kupikir hidupku akan terus-menerus damai. Sayang, keesokan harianya, anganku runtuh seketika. Lebih parah, meski hatiku hancur lebur, selama berada di rumah, aku lebih banyak diam. Tak berani mengklarifikasi, atau pun menangis tersedu-sedu. Aku takut orang tuaku menginterogasi jika melihat mataku sembab. Jadilah sisa liburanku berjalan terpatah-patah. Aku menanggung luka sendirian.

*

Pagi itu, aku langsung berangkat ke rumah Oma, sedangkan Bapak, Mama, dan Fauzan menuju ke masjid. Beliau adalah nenek dari pihak Bapak. Oma tinggal bersama Paman, adik Bapak semata wayang. Cuma Oma satu-satunya yang masih hidup, sedangkan Opa meninggal ketika aku masih SD. Begitu pula Nenek-Kakek dari pihak Mama sudah lama berpulang.

Setelah berjalan kaki sekitar 15 menit, aku baru sampai di rumah Oma. Beliau sedang melamun di beranda rumah. Aku menapaki anak tangga agar naik ke atas rumah panggung. Lantai kayu itu rasanya berderit-derit setiap aku melangkah.

"Arisha?"

Aku bersimpuh di samping beliau. "Iya, Oma. Maaf, baru sempat main ke sini. Oma apa kabar?"

Oma mencium keningku. Sesuatu yang senantiasa beliau lakukan kepada cucu-cucunya. "Masih sehat, meski punggung sering sakit-sakitan. Biasalah penyakit orang tua."

Aku masih setia duduk di lantai, Oma bersantai di atas kursinya. "Oma sudah sarapan? Ini ada kue bolu yang dibuat Mama." Aku menyerahkan rantang kecil.

"Baik sekali mamamu. Terima kasih, Nak."

"Saya juga bantu buat, Oma," pamerku.

Oma terkekeh. "Kamu juga mau saya puji-puji?"

Aku ikut tertawa. Senang melihatnya bahagia seperti ini.

"Bagaimana kabarmu, Arisha?"

"Alhamdulillah, baik, Oma"

"Jaga diri baik-baik di kampung orang, Nak. Jangan banyak tingkah. Umurmu berapa sekarang?"

"Iya, Oma. Dua puluh tahun"

"Sudah dewasa rupanya. Sudah ada yang datang melamar?"

Aku tertawa pelan. "Masih kuliah, belum boleh menikah, Oma."

"Siapa yang bilang tidak boleh? Bapakmu?"

"Eh?" Aku menggaruk kepala. Mana berani aku membahas persoalan menikah dengan Bapak. Kalau pun diperlukan, biarlah itu terucap ketika sudah benar-benar ada yang datang melamar. Kenapa pula kesannya jadi serius begini?

Oma menunduk. Tatapannya tepat menusuk mataku. Beliau merangkum kedua pipiku. "Arisha, Oma sampaikan perihal ini karena kamu sudah dewasa. Tidak ada maksud buruk apa-apa. Perlu kamu tahu, bapakmu itu tidak berhak melarangmu menikah."

Aku tersentak. "Ma-maksud Oma?"

Pandangan Oma terlihat menerawang. Kedua tangannya menjauh dari pipiku. Beliau membenarkan posisi duduk. Aku menanti dalam diam.

"Waktu mereka pacaran, mamamu masih SMA, sedangkan bapakmu sudah kuliah. Meskipun begitu, bapakmu rajin pulang kampung. Hubungan mereka baik-baik saja. Pihak keluarga juga saling kenal. Sudah merestui hubungan mereka." Nenek menarik napas dalam-dalam. "Lulus SMA, mamamu berhenti sekolah. Tidak ada biaya untuk kuliah. Kadang bantu orang tuanya berkebun, kadang datang ke sini bantu Oma beres-beres rumah atau memasak. Oma suka sekali dengan perempuan macam mamamu."

Hening. Oma menarik napas berat, aku pun tak pelak mendengar takut-takut. Apa yang terjadi setelahnya?

"Waktu itu, ada proyek pembangunan desa dari Pemerintah Kabupaten. Di wilayah sini jembatan penghubung itulah hasilnya. Mungkin untuk mengurangi pengeluaran, orang-orang proyek itu minta izin tinggal di rumah-rumah penduduk. Tentu penduduk menerima dengan tangan terbuka. Semua ini demi kebaikan bersama. Kebetulan ada kamar bapakmu yang kosong di sini. Karena itu, dua orang menginap di rumah ini. Itu sudah lama sekali, Arisha. Oma sudah lupa cerita lengkapnya.

"Intinya, seperti biasa, mamamu tetap datang berkunjung. Semakin hari, semakin rajin saja. Oma juga tidak ada pikiran macam-macam karena sudah begitu kebiasaannya. Sampai orang-orang proyek itu pergi dari kampung, tiba-tiba mamamu minta dinikahi secepatnya. Mamamu dalam kondisi hamil, bapakmu akan tanggung jawab setelah kamu lahir. Pihak keluarga marah dengan kelakuan mereka, tetapi mau bagaimana lagi, sudah kejadian. Mamamu diasingkan di kampung lain selama masa kehamilan. Sembari menunggu kamu lahir, bapakmu melanjutkan kuliah."

Oma menatapku, aku menahan napas. Menggeleng kencang. Tidak, tidak mungkin. Mataku berkaca-kaca. "Oma jangan bercanda. Maksud Oma, Mama dan Bapak berzina?"

Oma menangkup pipiku lagi. "Bukan begitu, Arisha. Asal kamu tahu, bapakmu itu laki-laki paling tabah yang pernah Oma temui. Jangan pernah sekali pun kamu ragukan cintanya bapakmu terhadap mamamu. Setelah mereka menikah, bapakmu belum punya pekerjaan karena baru lulus kuliah, mereka memutuskan tinggal di rumah ini untuk sementara.

"Seingat Oma, waktu itu rumah lagi sepi. Opa dan pamanmu pergi memancing, sedangkan Oma lagi sakit, hanya tidur di kamar. Mereka mungkin tidak berpikir akan ada yang mendengarkan semuanya. Bisik-bisik mereka terdengar sampai di kamar. Oma pikir ada hal penting, makanya rela bangun. Mamamu, Arisha, dia selingkuh. Bapakmu sama sekali tidak bersalah. Salah satu dari orang-orang proyek yang menginap di sini, itulah selingkuhannya."

Napasku tercekat. Bahuku terkulai. Aku menepis tangan Oma. "Ti-tidak, tidak mungkin! Ja-jangan bercanda! Aku ... anak haram?"

Oma turun dari kursi, lantas memelukku erat. "Jangan ngomong begitu. Bagaimanapun kondisinya, kamu tetap cucu Oma nomor satu. Anak orang tuamu, kakaknya Ozan."

Aku menjerit tertahan. Ini gila! Bagaimana mungkin orang tuaku menutupi kebenaran selama ini? Tidakkah mereka memikirkan perasaanku?

Ya Tuhan, meski Oma bilang aku cucunya, waktuku terlewat bersama mereka sejak kecil, tetap tidak akan mengingkari kenyataan kalau aku ...

... anak haram.

"Ke-kenapa? Kalau Bapak sudah tahu faktanya, kenapa sampai sekarang mereka belum bercerai? Kenapa Bapak kelihatan sayang sama Mama? Itu artinya, meski Arisha bukan darah daging Bapak, mereka tetap pernah berzina. Itu alasan Bapak mau tanggung jawab. Iya, kan? Arisha benar, kan, Oma?"

Oma mengelus kepalaku. Air mataku berjatuhan. Sesak tak tertahankan. "Kamu salah, Arisha. Jangan bicara sembarangan. Itulah kenapa Oma bilang jangan pernah ragukan cinta bapakmu. Karena memang, dia sudah tahu sejak awal. Bapakmu tidak pernah melakukan hal sekeji itu. Dia hanya mencintai mamamu, makanya bersedia menikah."

Aku terisak-isak. Dadaku bergemuruh. Aku benci Mama detik itu juga. Kasihan sekali Bapak. Beliau harus bertanggung jawab atas apa yang bukan kesalahannya.

Hidungku tersumbat. Napasku tertahan. Aku tak sanggup berkata-kata. Keluarga yang kupikir harmonis, orang tua yang saling menyayangi, semuanya kini terasa bagaikan ilusi.

Aku merasa bersalah pada Bapak. Aku selalu berpikir buruk tentangnya. Nyatanya, Bapak adalah lelaki paling hebat yang pernah ada. Mamalah yang bersalah.

Aku sungguh anak yang tidak tahu diri. Bapak melukai perasaannya dengan merawatku. Hatinya pasti hancur mendengar perselingkuhan Mama. Bapak rela membesarkan anak yang bukan darah dagingnya. Bapak sudah berlaku baik, tetapi aku masih menuntut perhatian. Aku memang tidak tahu malu. Aku menjijikkan. Beginikah anak yang terlahir dari perzinahan?

Aku terpukul. Sungguh, siapa pun laki-laki selingkuhan Mama, aku tidak akan pernah mencarinya. Aku tidak peduli padanya. Sudah mati, atau masih hidup, aku benar-benar tak ingin tahu.

Aku ingin menemui Bapak, meminta maaf karena sudah terlahir ke dunia. Karena aku ada, Bapak terluka. Beliau tidak pantas diperlakukan seperti ini.

"Kamu sudah dewasa. Lihat, penampilanmu sangat berbeda dengan beberapa tahun silam. Tidak ada yang tahu masalah ini kecuali kita, serta orang tuamu. Oma hanya tidak ingin pernikahanmu kelak menjadi tidak sah di mata agama bila bapakmu menjadi walimu. Biarlah dosa ini ditanggung oleh kami, para orang tua. Kamu dan keturunanmu harus jadi lebih baik. Ya, meski Oma yakin, cepat atau lambat mereka akan memberitahumu perihal ini. Semoga tidak terlalu menyakitkan karena kamu tahu lebih awal, setidaknya, sebelum ada laki-laki yang datang melamarmu, Nak."

Mungkin benar, hidupku akan semakin menyedihkan bila fakta terbongkar tatkala sudah ada pemuda yang datang melamar, atau bahkan di saat hari pernikahan, tetapi Bapak tidak duduk di dekatku sebagai wali. Namun, Oma salah besar. Tidak ada seorang pun anak yang merasa lebih baik setelah tahu asal-usul buruk ia dilahirkan. Kapanpun, bagaimanapun keadaannya.

Perkataan Oma hari itu masih terus berusaha kuingkari. Mungkin beliau salah dengar, salah paham, atau apalah. Sayang, seberapa keras pun aku ingin lupa, kenyataan itu justru merasuk dalam-dalam.

Aku bergegas pulang setelah Oma menjelaskan semuanya. Mengurung diri di kamar hampir seharian. Panggilan Mama kuabaikan, Fauzan kubentak, barulah aku mau keluar ketika Bapak turun tangan.

"Kamu ini apa-apaan! Mamamu manggil-manggil dari tadi tidak dihiraukan. Kamu pikir siapa yang besarkan kamu selama ini, hah? Bapak kira kamu sudah dewasa, Arisha. Lihat penampilanmu sekarang, berubah total! Ternyata kelakuanmu belum berubah. Masih saja bikin susah mamamu!"

Aku menangis dengan sangat kencang. Menghiba di hadapan Bapak. Badanku bergetar, suaraku serak. Bukan, bukan karena dimarahi, melainkan hendak meminta maaf sudah terlahir ke dunia. "Maaf, Maaf, Pak. Ini salah Arisha. Bapak boleh marah. Silakan hukum Arisha."

Aku tahu Bapak sedikit heran melihat reaksiku. Biarlah. Asal hatiku terobati, agar rasa bersalahku lenyap, aku ingin terus memohon di hadapan beliau.

Mama menghampiriku, memeluk pundakku. Ingin kutepis. Aku merasa jijik terhadap diri sendiri, terlebih kepada wanita yang melahirkanku. Mama menjadikan Bapak kambing hitam atas perselingkuhannya.

"Sudah, Bang. Arisha mengaku salah. Jangan dimarahi."

Pertama kali dalam sejarah hidupku, Mama membelaku di depan Bapak. Anehnya, aku sama sekali tidak tersentuh. Rasa muak justru mengguncang hatiku. Jika tak ingat betapa besar cinta Bapak kepada Mama, sudah kutepis lengan wanita itu.

Aku berusaha lepas dari Mama secara halus. Kuraih lengan Bapak. "Maaf, maafkan Arisha. Silakan hukum sesuka Bapak."

Dari balik kabut mataku, kulihat Bapak memandangku aneh. Beliau melepaskan genggamanku, lantas menepuk pundakku tiga kali. "Sudah. Jangan diulangi lagi."

Sisa liburanku kuhabiskan dengan kemurungan. Lelucon Fauzan kuanggap angin lalu, perhatian Mama sebisa mungkin kuhindari. Acapkali melihat bagaimana orang tuaku bercengkerama, aku rasanya ingin menjerit. Memaki Mama.

Lihatlah, betapa besar cinta Bapak kepada Mama. Bagaimana mungkin ada wanita setega itu terhadap pasangannya?

Aku ... benci Mama. Aku tidak akan jadi seperti Mama.

To be continue ...

Jaga pergaulan, Dear.
Tidak ada akhir yang benar-benar melegakan bagi pasangan MBA. Di dunia terhina, di akhirat tersiksa.

Anak yang lahir terpaksa turut menanggung beban. Bila ia lelaki, tak berhak jadi ahli waris, pun tak halal menjadi wali bagi saudari/ibunya. Bila ia wanita, tak boleh diwalikan oleh sang ayah biologis. Nasab mereka tersambung ke ibu biologis.

Bagaimana bila ayah biologis dipaksakan jadi wali nikah perempuan? Pernikahan tidak sah, dengan atau tanpa pengetahuan si anak tentang asal-usulnya. Bukankah artinya, anak dan turunannya kemudian, terhitung berzina di mata agama? Begitulah pendapat jumhur ulama (bisa dicari sendiri dalilnya).

Kalau pun ketahuan, ayah tidak jadi wali nikah, maka tetap saja akan ada hati yang terluka, hatinya si anak.

Menyedihkan, bukan?

Merusak nasab, merendahkan martabat, dinanti siksa, imbalannya hanya dapat kenikmatan sesaat.

Naudzubillah.

Semoga kita terhindar dari perbuatan keji.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top