|20| Bicara Tentang Komitmen
Sudah hampir tiga bulan kujalani hidup di perantauan. Berusaha tetap kokoh di tengah padatnya kuliah. Tugas datang silih berganti. Laporan praktikum saling berkejaran. Ujian tengah semester sudah di depan mata.
Aku menjalani hari-hari yang cukup sibuk. Kuliah lima hari dalam seminggu. Tugas kugarap di sela-sela waktu luang. Ikut kajian setiap Rabu dan Jumat sore bila malas tak menyerang. Senin sore kupakai untuk mentoring bersama Kak Faira.
Banyak pengetahuan baru yang kuperoleh lewat mentoring. Aku nyaman menjalaninya sebab Kak Faira sosok yang keibuan. Aku sering curhat masalah pribadi kepadanya. Selain itu, dia adalah tempat curhat paling solutif.
Senyumku mengembang saat teringat masa lalu. Dahulu aku pernah punya sosok pemberi solusi. Bang Faras. Lelaki itu baru saja menikah dua bulan yang lalu. Aku turut bahagia atasnya. Berdasarkan kabar yang kuterima dari Mama, istrinya merupakan seorang perempuan bercadar. Cukup mengejutkan, bukan?
Jangan tanya bagaimana caranya mereka bertemu. Aku pun tak tahu. Komunikasi kami mulai renggang sejak aku kelas tiga SMA. Terjadi begitu saja tanpa sebab yang berarti. Mungkin karena kesibukan masing-masing.
Aku menarik napas panjang. Berpikir tentang masa lalu senantiasa menghadirkan sensasi tersendiri. Tak ingin berlarut-larut, kuputuskan untuk menghubungi Kak Faira. Tidak biasanya dia terlambat.
Setelah menunggu cukup lama, Kak Faira muncul dengan kondisi tak keruan. Keringat merembes di kulit wajahnya. Kerudungnya agak berantakan. Aku terheran-heran dibuatnya.
"Maaf, maaf banget, ya, Dek? Aku telat karena ban motorku bocor."
"Oh, nggak pa-pa, Kak," sahutku santai.
Ini pertama kalinya dia terlambat. Tidak mungkin kesal sebab kelakuanku dulu lebih parah. Aku sengaja berlama-lama tanpa alasan. Kak Faira tidak pernah menghardikku. Tutur katanya lembut ketika mengingatkanku akan pentingnya disiplin. Lama-kelamaan, aku jadi malu sendiri.
Usai mengatur napas, Kak Faira menghadap sempurna ke arahku. Seperti biasa, kami memilih taman fakultas sebagai lokasi pertemuan. "Gimana buku yang kupinjamkan, sudah dibaca?"
Aku menyengir. Buku yang dia pinjamkan membahas tentang pakaian syar'i bagi wanita muslimah. "Belum selesai, Kak."
"Nggak pa-pa. Lagian, kita pernah bahas topik itu, kan?"
"Pernah, Kak. Intinya, hijab bagi wanita muslimah adalah jilbab dan kerudung plus nggak tabarruj*. Dalilnya surah Al-Ahzab ayat 59, An-Nur ayat 31, dan Al-Ahzab ayat 33, bukan?"
"Masya Allah. Kamu ingat?"
"Iya dong, Kak. Diulang-ulangi mulu, sih," candaku.
"Em, gimana, ya? Kalau adikku belum mau pakai hijab syar'i*, masa aku diam aja?" sahut Kak Faira diiringi senyum simpul.
Aku menggaruk kepala. Tahu betul ke mana pembahasan ini akan bermuara. Dia pasti akan menggiringku pelan-pelan agar mau komitmen memakai jilbab dan kerudung saat keluar dari area khusus*, bukan hanya memakai kerudung, rok dan baju berlengan panjang — sebagaimana kebiasaanku. "Kenapa Kakak kukuh nyuruh aku pakai jilbab sama kerudung? Bukannya dakwah itu nggak boleh maksa?"
"Kalau menurutmu, kenapa, Dek?"
Aku sedikit mendesis. Salah satu hal yang agak mengesalkan saat mentoring adalah aksi lempar pertanyaan begini. Kak Faira jarang langsung memberiku jawaban. Selalu ada usaha darinya untuk membuatku berpikir sendiri. "Aku nanya, Kak."
"Hm, gitu? Adek masih ingat pembahasan kita sebelum-sebelumnya?"
Kalau dia sudah memanggilku begitu, tandanya aktivitas review akan segera dimulai. Kuanggukan kepala pasrah. "Tentang hakikat hidup seorang manusia, Kak. Kita adalah hamba Allah. Tugas kita beribadah kepada-Nya. Makna ibadah nggak terbatas pada salat dan puasa sebagaimana yang kupahami selama ini. Lebih luas, ibadah yaitu menjalankan seluruh perintah Allah dan menjauhi segala larangan-Nya."
Kak Faira mengangguk-angguk. "Teruskan, Dek."
"Artinya, seluruh aktivitas kita dapat dikatakan ibadah dan berpahala jika dilakukan dengan ikhlas demi menggapai rida Allah dan benar sesuai ajaran Rasulullah. Itulah kenapa mengkaji ilmu Islam sangat penting sebab nggak ada cara lain untuk tahu perkara benar dan salah kecuali belajar." Aku menarik napas pelan.
"Ada lagi?"
Aku berpikir sejenak, mengingat-ingat. "Ah, dalam menjalani hidup, Allah pun berikan seperangkat aturan bagi manusia lengkap dengan buku pedoman dan role model-nya. Alquran dan Rasullullah."
"Oke. Lalu kaitannya dengan hijab dan dakwah, Dek?"
"Em, hijab itu ya salah satu syariat Islam. Tata cara berpakaian bagi muslimah. Dakwah pun begitu. Perintah Allah untuk amar ma'ruf nahi munkar. Hukumnya sama-sama wajib."
Kak Faira tersenyum. Tatapannya sungguh teduh. "Misalnya nih, Dek, seandainya orang yang kamu sayangi belum mau melaksanakan perintah Allah, apa yang bakal kamu lakukan?"
Aku mengerjap pelan. Rasa-rasanya, aku sudah tahu akhir dari obrolan ini. "Aku ingatkan, Kak. Tapi, ya, kalau dia menolak dengan tegas, itu udah bukan urusanku lagi."
"Begitu pula sikapku terhadapmu."
Aku mendengkus tipis. "Jadi, aku harus menolak dulu baru Kakak mau berhenti?"
Kak Faira menatapku serius. "Kamu sayang orang tuamu nggak, Dek?"
Aku membeliak. "Iya, lah, Kak!"
"Gimana caramu membuktikan rasa sayang kepada orang tua?"
Aku mengusap tengkuk. Kenapa pembahasannya jadi agak melantur begini? "Sebisa mungkin membahagiakan mereka. Nurut apa kata beliau selagi dalam hal kebaikan."
"Nah, kalau kepada Allah dan Rasul-Nya, gimana, Dek?"
"Maksud Kakak?"
"Kamu cinta Allah dan Rasulullah?"
"Iya dong, Kak!"
"Kita mengaku cinta kepada Allah dan Rasulullah, tapi enggan menjalankan perintah-Nya. Coba, Dek, tanyakan pada hati kita, adakah cinta di dalamnya atau sekadar di lisan saja?"
Aku ... terpaku. Untuk setiap untaian kata yang diucapkan sedemikian rupa, tak kusangka akan mengubah hidupku. Tak ada penghakiman. Lembut dan halus. Kuingat hingga bertahun-tahun setelahnya.
Sayang, meski sudah kuputuskan untuk meniti jalan hijrah, aku belum berani bergabung di atas kereta dakwah. Terlalu banyak pertimbangan. Ribuan ketakutan menyergap. Dakwah menuntut banyak pengorbanan, sedang aku dalam kondisi serba kurang. Ilmu belum sekaliber para ulama. Hafalan tersendat-sendat. Amalan masih jauh dari sempurna.
Lebih dari semua itu, rasa khawatir selalu menghantui benak. Sudah tepatkah pilihanku? Pantaskah aku menjadi aktivis dakwah, sedang niat mungkin belum terarah?
Aku tidak akan pernah lupa alasan pertama kenapa memilih bergabung dalam organisasi keislaman. Semua karena dunia. Rasa penasaran akan seorang lelaki di masa lalu.
Sudahkah niatku tepat? Sudahkah hatiku murni? Adakah aku mengharapkan kasih sayang dari manusia atas hijrahku? Meski cinta kepada lawan jenis tak lagi menjadi prioritas, tak dapat kumungkiri, dalam waktu-waktu tertentu, adakalanya kenangan tentang si dia masih membayangi.
Ya, Rabb, atas semua kesalahan yang pernah kulakukan, aku memohon ampunan. Tunjukkan jalan terbaik. Jika memang Engkau rida atas perubahanku, maka istiqomakanlah. Murnikan hatiku jika masih tersisa noktah.
Aku ingat betul. Itulah doa yang senantiasa kupanjatkan nyaris di setiap kesempatan. Benar saja. Dua tahun berselang, Allah memberiku jawaban. Satu yang tidak kuduga, petunjuk itu hadir melalui perantara manusia paling menyebalkan yang pernah kukenal.
To be continue ...
Keterangan:
*Tabarruj: Segala perbuatan wanita yang menarik perhatian lelaki, baik diniatkan, ataupun tidak.
*Hijab syar'i: Kerudung, jilbab, tidak tabarruj
*Area khusus: Tempat wanita beraktivitas di dalamnya bersama para mahramnya, atau bersama-sama wanita muslimah lainnya. Misal, rumah dan kost (Lihat QS: An-Nur: 27)
Sumber: Yuk, Berhijab!, Felix Y. Siauw.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top