|19| Jejak Para Mantan
Aurelia Almashyra
Mana tugas bagianmu? Seharusnya dikirim dari tadi. Ini udah malam!
Aku berdecak sebal. Aurel benar-benar membuktikan ucapannya. Gadis itu menerorku sejak kemarin. Hampir setiap jam dia menghubungiku untuk menagih makalah. Lama-lama, kublokir juga nomornya. Sayang, aku butuh keberadaanya. Jadi, kubiarkan saja pesan darinya tanpa balasan.
Kubisukan notifikasi WhatsApp. Bisa-bisa pekerjaanku tidak beres karena pecah fokus. Aku sedang berusaha keras mengerjakan makalah agar hasilnya orisinal. Tidak terindikasi plagiasi. Ini adalah pekerjaan berat bagiku yang tidak terlalu suka membaca.
Pandanganku tertuju ke arah jam dinding berwarna hitam. Sudah hampir dua jam kuhabiskan waktu duduk di depan laptop. Ini sungguh menyebalkan.
Kuputuskan untuk membuka lini masa Instagram. Mencari sedikit hiburan di tengah padatnya tugas. Hal pertama yang kumasukkan di kolom pencarian adalah nama akun Dani. Aku mendesah berat. Kesal melihat postingannya yang tidak jauh dari hal-hal berbau islami.
Kucari hiburan lain. Tiba-tiba aku teringat Rafid. Lama tak kudengar kabar tentangnya. Setahun yang lalu dia melanjutkan kuliah di Makassar. Jariku bergerak cepat mengetikkan namanya di Instagram. Rafid Hidayatullah. Syukurlah dia tidak menggunakan nama-nama absurd untuk akunnya.
Senyumku mengembang saat menyadari nama lelaki itu cukup religius. Sedikit bertolak belakang dengan kepribadiannya bila ditinjau dari masa lalu. Kucoba telusuri feed-nya dan sebisa mungkin menahan diri agar tidak menekan simbol love. Jangan sampai aku ketahuan stalking mantan.
Lain Dani, lain lagi Rafid. Pemuda ini tidak terlalu banyak mengekspos diri di Instagram. Rata-rata postingannya adalah foto pemandangan dengan caption singkat. Perhatianku berhenti pada satu-satunya video yang ada di sana.
Aku mengernyitkan dahi. Sebuah video sederhana yang menggabungkan cuplikan pemandangan alam diiringi suara murottal. Caption-nya tidak kalah singkat: satu-satunya cara menjaga hafalan adalah rajin muraja'ah. Pengisi suaranya terasa familiar. Aku mengerjap. Tidak mungkin si Rafid, bukan?
Aku tersentak saat ponselku tiba-tiba berdering nyaring. Ada panggilan masuk dari Aurel. Aku berdecak kesal. Anak ini benar-benar terlalu rajin.
"Arisha, mana tugasmu?"
Aku mendelik mendengar suara cemprengnya. "Sabar. Ini lagi nyari referensi. Kamu mau tugas kita hasil plagiasi?"
"Kenapa lama sekali?"
"Ya, namanya juga baca jurnal. Kamu pikir seenak baca novel?"
"Aku jarang baca novel," sahut Aurel datar.
"Ih! Tahu deh! Tenang aja, bakalan aku kirim kalau udah selesai, kok!"
"Kapan?"
"Nanti."
"Nanti itu kapan?"
"Kamu ini ngejar apa, sih? Tenggat waktunya masih lama, lho."
"Nggak baik numpuk-numpuk tugas, Arisha."
Aku menepuk jidatku. "Iya, iya. Aku kirim malam ini."
"Jam berapa?"
"Maksimal jam dua belas, puas?"
"Oke." Sambungan diputus begitu saja. Aku keki setengah mati. Contoh sempurna dari manusia menyebalkan adalah Aurelia Almashyra.
Kuhempaskan ponsel ke atas ranjang. Sebaiknya aku kembali fokus mengerjakan tugas sebelum Aurel menghantui mimpiku. Malam itu aku terpaksa merampungkan sisa makalah. Jejak dunia maya para mantan terlupakan untuk sementara.
*
Keesokan harinya aku berangkat kuliah ogah-ogahan. Matahari bersinar sangat terik di atas kepala. Aurel membuatku begadang semalaman. Rasanya melelahkan.
Sesampainya di kelas, aku segera mencari posisi strategis untuk tidur. Betapa sialnya aku karena tersisa satu bangku di belakang Aurel. Tidak menemukan pilihan lain, kuputuskan duduk di belakang gadis itu.
Pandangan kami bertemu. Aurel menatapku dengan sorot hampa miliknya. "Apa lihat-lihat?" tanyaku ketus.
"Kelopak bawah matamu hitam banget," komentar Aurel santai.
Aku mendelik. "Ini gara-gara kamu, tahu?"
"Apa salahku?"
God! Ingin kucakar wajah tanpa ekspresinya itu. "Tahu, ah. Jangan ajak aku bicara," tukasku sambil menelungkupkan kepala di atas meja. Kami baru saling mengenal, tapi dia sudah bertindak semena-mena terhadapku. Mau protes juga percuma. Aurel terlalu keras kepala. Lagi pula, sudah terlambat untuk ganti partner kelompok.
Salah satu perbedaan mencolok antara sekolah dan kampus adalah respon pengajar terhadap yang diajar. Semasa sekolah tidur di kelas adalah pelanggaran. Di kampus aturannya lebih fleksibel. Ya, setidaknya sampai detik ini belum kutemukan dosen yang melarang mahasiswa tidur saat pelajaran berlangsung.
Aku tidak tahu apa saja yang dibahas selama proses pembelajaran. Begitu tersadar, dosen sudah memberikan instruksi penutup. Oi, sepertinya aku keterlaluan kali ini!
"Tugasnya dikirim lewat email maksimal tiga hari dari sekarang. Saya tidak menerima keterlambatan dengan alasan apa pun. Ah, kecuali sakit yang disertai surat keterangan dari dokter."
Apa? Aku panik seketika. Kutolehkan kepala ke kiri dan ke kanan. Semua pandangan terfokus ke depan. Kuusap wajahku kasar. Bagaimana ini?
"Sekian pelajaran hari ini. Terima kasih atas partisipasi Anda. Saya harap tidak ada lagi yang tidur di kelas pada pertemuan-pertemuan selanjutnya. Jika Anda mengantuk, sebaiknya cuci muka. Bila perlu tidak usah masuk sekalian."
Tengkukku meremang. Bola mataku bergerak acak. Kurasa hampir semua kepala menoleh padaku. Sial sekali aku hari ini.
"Baik, Pak!"
Dosen muda itu langsung pergi usai mengucap salam. Seluruh mahasiswa berlomba ke luar. Kami masih ada kuliah di ruangan lain. Aku buru-buru bangkit. Kucegat salah seorang di antara mereka. "Eh, tadi tugasnya apa, ya?"
Laki-laki itu berhenti sejenak. Memandangku geli. "Tanya teman kelompokmu."
"Oh, tugasnya kelompokkan lagi?"
Dia mengangguk. Aku berusaha mengikuti langkahnya. "Siapa teman kelompokku?"
"Mana kutahu?" tukasnya sambil mengangkat alis. Dia menggeleng, lantas berlalu dari hadapanku. Aku menganga tak percaya. Sok ganteng sekali laki-laki itu. Gantengan juga mantanku! Eh?
"Lain kali jangan tidur di dalam kelas."
"Hah?!" Aku menyahut sewot. Siapa lagi itu yang sok mengaturku? Ketika kubalikkan badan, sebuah buku hampir mengenai mukaku. "Aurelia Almashyra!" pekikku sebal.
"Kamu udah bisa mengeja namaku?"
Aku melotot padanya. Kutepis tangannya kasar. "Apaan, sih!"
"Ini buku catatanku tadi. Ada keterangan tugas juga di dalamnya. Kalau nggak mau, ya udah," sahut Aurel sambil mengelus pergelangan tangannya.
"Eh! Ngomong dong!" Aku langsung menarik buku itu darinya. "Makasih!"
Aurel langsung mendahuluiku tanpa menyahut. Kulihat dia masih mengelus-elus bekas tepisanku tadi. Apa tindakanku terlalu kasar? Aku jadi merasa bersalah. "Rel, tunggu!" tukasku seraya melangkah di sisinya. "Maaf, ya?"
Aurel masih bungkam. Apa dia marah? Aduh, aku harus bagaimana? Dia sudah begitu baik dengan meminjamkan catatan padaku. Seharusnya aku lebih menjaga sikap. "Rel, jawab dong!"
"Ayo cepat mumpung lift-nya belum penuh!" Aurel berlari kecil ke arah pintu lift. Kami berdesak-desakkan dengan pengguna lain. Lift berhenti di lantai empat. Aurel keluar duluan. Aku menyusul di belakangnya.
Langkah Aurel melambat. Dia menoleh ke arahku. "Kita satu kelompok lagi."
"Apa?"
"Tambahannya si Eza sama Azel."
Aku mendesah pelan. Risiko tidur di dalam kelas. "Yang mana tuh orangnya?"
"Itu, lho. Aleeza Gavrilla Fransiska sama Abercio Oriel Azel."
Aku mendengkus geli. "Orangnya, bukan nama lengkapnya, Rel."
"Laki-laki yang tadi kamu tanya-tanya itu si Azel. Satu-satunya perempuan yang nggak pakai kerudung di kelas kita itu si Eza."
"Hah? Serius? Kenapa dia nggak ngomong kalau kami sekelompok?"
"Dia belum kenal siapa Arisha. Kelompoknya dibagi berdasarkan nomor urut presensi."
Pantas saja! Nama kami semua berawal dari huruf A. "Kamu udah kenal semua orang di kelas?"
"Belum. Kebetulan aja mereka teman sekelasku waktu SD."
Aku mengangguk-angguk. Kami melanjutkan perjalanan. Sesampainya di kelas, kupilih bangku paling depan. Kejadian tadi membuatku sedikit jera. Aurel duduk di samping kananku. Dosen baru masuk 30 menit kemudian. Kuusahakan untuk menyimak dengan baik di kelas terakhir siang itu.
*
Kusipitkan mata untuk memperjelas pandangan. Bias sinar jingga sedikit menyilaukan. Aku terkejut saat menemukan orang yang kukenal berjalan tak jauh di depanku.
Kupercepat langkah. Rencananya sore ini aku akan ke masjid untuk mengikuti kajian. Kak Faira tak henti-hentinya mengingatkanku. Tidak enak bila harus kutolak.
"Aurel!" panggilku agak keras. Gadis itu berhenti. Dia berbalik padaku. "Kamu mau ke mana?"
"Masjid."
"Ngapain?" tanyaku lagi setelah berada percis di hadapannya. Kulihat dahi Aurel mengerut. Kuperjelas maksudku. "Salat Ashar udah selesai dari tadi. Bukannnya salat di musala jurusan lebih cepat? Nggak perlu lama-lama ngantri."
"Ikut kajian."
"Jangan bilang kajian yang diadakan LDK Al-Hikmah?" terkaku. Aurel mengangguk. "Kamu tahu dari mana informasinya?"
"Dapat pesan broadcast dari pengurusnya soalnya aku terdaftar sebagai anggota baru."
"Yang benar? Kita samaan dong!"
Aurel menatapku sekilas, lantas mengangguk. Kaku sekali gadis yang satu ini. "Adiba juga ikutan, lho."
"Oh," sahutnya singkat. Kuputuskan untuk menutup mulut rapat-rapat. Sepertinya cuma aku yang antusias dalam perbincangan ini.
Kami diam sepanjang perjalanan hingga duduk di barisan para jamaah. Kajian diadakan di serambi masjid. Beberapa perempuan berpakaian syar'i menyambut kami ramah. Acara belum dimulai sebab pemateri sedang dalam perjalanan.
Panitia putri berusaha membangun hubungan baik dengan peserta. Aku menguping diam-diam perbincangan salah seorang dari mereka dengan Aurel. Teman sekelasku itu menjawab seadanya setiap tanya yang tertuju padanya. Aku jadi salut karena lawan bicara Aurel tidak menyerah.
"Arisha?" Seseorang menepuk pundakku dari belakang. Aku berbalik. Adiba! "Assalamu'alaikum," sapanya sambil menjabat tanganku erat. Senyumku mengembang. Lupakan saja Aurel yang tidak asyik diajak bicara.
"Kamu baru selesai kuliah?" tanyaku seraya memberikan ruang di sisi kiri. Kebetulan belum ada yang mengisi.
"Enggak. Kuliahku selesai dari siang tadi. Barusan ngerjain tugas kelompok."
"Matkul apa?"
"Fisika Dasar."
Aku sontak teringat kejadian hari ini. Dosen menyindirku karena tertidur di kelas Fisika Dasar I. "Siapa yang ngajar?"
"Pak Revan, kalau di kelasmu?"
"Pak Revan juga. Agak galak dosennya, ya?"
"Ah, masa? Baik kok. Asik cara ngajarnya. Kenapa kamu mikir gitu?"
Aku meringis pelan. Penilaianku memang sangat subjektif. "Tadi aku kena sindiran, tahu?"
"Kok bisa?" Adiba memandangku penasaran.
Aku menyengir salah tingkah. "Ketiduran sepanjang pelajaran."
"Pantas aja!" komentarnya sambil terkikik. Aku memasang muka cemberut.
Ketika sedang asik-asiknya bercengkerama dengan Adiba, satu bisikan di sisi kananku mengacaukan semuanya. "Kamu itu nggak bisa bersikap pada tempatnya, ya? Di kelas diam aja karena ketiduran. Giliran di kajian malah berisik."
Aku mendelik kaget. Kasar sekali cara bicaranya. Sekali berkomentar pedasnya setara bon cabe level maksimal. Kutolehkan kepala ke arah Adiba dengan cepat. Gadis itu sudah fokus menatap slide pemateri. Syukurlah dia tidak mendengar kata-kata Aurel barusan.
"Omonganmu kasar banget, lho," gumamku di dekat telinga Aurel.
"Kajiannya udah mulai. Bisa diam bentar, nggak?" sahutnya pelan tanpa menoleh padaku.
Kugigit bibir kuat-kuat guna menahan amarah. Aku memang berasal dari daerah yang dihuni oleh penduduk berperangai kasar dan keras. Tetapi, seumur hidup baru kali ini kutemukan perempuan dengan lisan setajam itu.
To be continue ...
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top