|18| Bicara Tentang Hijrah
Aku tidak memahami arti senyumannya. Berikutnya dia mengajakku nonton sebuah video di Youtube. Kuturuti tanpa banyak berkomentar. Tombol play ditekan, kupandangi layar ponsel lamat-lamat.
Look around yourselves (Lihatlah di sekitarmu)
Can't you see this wonder (Tidakkah kau lihat keajaiban ini)
Spreaded infront of you (Yang terpampang di hadapanmu)
The clouds floating by (Awan berarak)
The skies are clear and blue (Langit cerah dan biru)
Planets in the orbits (Planet di orbitnya)
The moon and the sun (Bulan dan matahari)
Such perfect harmony (Harmoni yang sungguh sempurna)
Aku menahan napas. Setiap lirik yang bergema, alunan nada yang menyapa indera pendengaranku, segalanya terasa begitu mengusik.
Let's start questioning ourselves (Mulailah bertanya pada diri sendiri)
Isn't this proof enough for us (Tidakkah bukti ini cukup bagi kita)
Or are we so blind (Ataukah kita begitu buta)
To push it all aside... (Hingga mengabaikan semuanya)
No..
Kucoba pejamkan mata sejenak. Memaknai lebih jauh. Perasaan asing menyusup dalam-dalam.
We just have to (Kita hanya perlu)
Open our eyes, our hearts, and minds (Buka mata, hati, dan pikiran kita)
If we just look bright we'll see the signs (Jika kita melihat dengan jelas, kan kita lihat pertanda)
We can't keep hiding from the truth (Kita tak bisa terus sembunyi dari kebenaran)
Let it take us by surprise (Biarkan semua itu mengejutkan kita)
Take us in the best way (Membawa kita dengan cara terbaik)
(Allah..)
Guide us every single day.. (Bimbinglah kami tiap waktu)
(Allah..)
Keep us close to You (Dekatkan kami pada-Mu)
Until the end of time.. (Hingga akhir waktu)
Tentang kebenaran yang tak terpatahkan. Realitas yang terpampang di depan mata. Usaha penolakan yang tertancap begitu kuat.
Look inside yourselves (Lihatlah di dalam dirimu)
Such a perfect order (Susunan yang begitu sempurna)
Hiding in yourselves (Tersembunyi dalam dirimu)
Running in your veins (Mengalir di pembuluh darahmu)
What about anger love and pain (Bagaimana dengan rasa marah, cinta, dan sakit)
And all the things you're feeling (Dan segala yang kau rasakan)
Can you touch them with your hand? (Bisakah kau sentuh semua itu dengan tanganmu?)
So are they really there? (Jadi apakah semua itu benar-benar ada?)
Aku menelan ludah susah payah. Semakin kudengarkan, semakin alunan lagu itu menyeretku. Terpaku. Dipaksa membuka mata lebar-lebar.
When a baby's born (Saat seorang bayi lahir)
So helpless and weak (Begitu lemah dan tak berdaya)
And you're watching him growing (Dan kau melihatnya tumbuh)
So why deny (Lalu kenapa menyangkal)
Whats in front of your eyes (Yang ada di depan matamu)
The biggest miracle of life (Keajaiban terbesar dari kehidupan)
(Allah..)
You created everything (Kau ciptakan segalanya)
We belong to You (Kami adalah milik-Mu)
Ya Rabb we raise our hands (Tuhan kami angkat tangan kami)
Forever we thank You (Kami bersyukur padamu)
Alhamdulillah..
(Maher Zain, Open Your Eyes)
Mataku terasa basah. Kuusap cepat-cepat sebelum Kak Faira menyadarinya. Pandangan kami bertemu, aku menunduk.
"Gimana perasaanmu setelah nonton video barusan, Dek?"
Aku menggeleng dengan bibir terkatup rapat. Entahlah. Ada perasaan asing yang tak mampu kuartikan secara tepat. Rasanya aku dihadapkan pada realitas tak terbantahkan. Ada resah menyeruak, tapi berusaha kuhentikan. Apa yang terjadi padaku?
"Nggak ngerasain apa-apa?" Kak Faira tersenyum lembut.
Kugigit bibirku kuat. Air mataku mendesak keluar. Kutundukkan kepala dalam-dalam. Seharusnya bukan begini. Aku hanya ingin tahu alasan Dani memilih berhijrah. Tak ada niat untuk mengikuti jejaknya.
Lantas keresahan ini ... apa artinya? Salahkah keputusanku menerima ajakan Adiba? Tepatkah pilihanku bergabung dalam organisasi ini?
"Dek?" Kak Faira mengusap bahuku.
Tangisanku semakin sulit dihentikan. Sesak memenuhi rongga dada. Beberapa menit yang lalu betapa lancar kujawab setiap pertanyaan yang terlontar dari lisan Kak Faira. Sekarang segalanya terasa salah. Malu sekaligus berdosa menyentak hatiku.
Serendah itu landasanku mempelajari ilmu-Nya, sementara Dia memberikan begitu banyak keajaiban?
Kak Faira menyodorkan sebuah tumbler padaku. "Mau minum?"
Kuterima pemberiannya dengan perasaan kacau. Sebisa mungkin kuhindari bertatapan dengannya. Takut ia mampu membaca apa yang tersirat lewat mata. "Makasih, Kak."
"Aku nggak tahu alasanmu menangis, tapi kurasa pesan dalam video tadi lumayan menohok. Kamu tahu, ada banyak yang meragukan tentang Keberadaan Pencipta. Di sisi lain, sebagian orang berusaha menjelaskan dengan teori-teori rumit. Bagiku, pembuktian akan Eksistensi Pencipta cukup sederhana. Seperti yang ada dalam lirik lagu barusan, kita cuma perlu membuka mata, hati, dan pikiran. Sayangnya, sebagian dari kita terlalu bebal untuk menerima kebenaran itu." Kak Faira menerima tumbler yang kukembalikan padanya.
Mungkin akulah salah satu dari sekian banyak orang bebal di muka bumi. Aku tahu maksudnya. Kebenaran itu tak terbantahkan. Tetapi, kenapa masih tersisa penolakan di hati?
Aku enggan mengambil jalan yang serupa dengan Dani. Terlalu besar rasa kecewaku karena pilihannya. Jika Dani tak bertemu kakak kelasnya dulu, mungkin hubungan kami masih berlanjut sampai detik ini. Lebih dari semua itu, aku menyimpan sejuta pertanyaan tentang keputusannya.
Hijrah dan dakwah. Apa yang istimewa dari keduanya? Bukankah merepotkan bila harus senantiasa tampil alim dan peduli kepada persoalan hidup banyak orang? Apa yang membuat Dani begitu yakin akan jalan hidupnya?
"Kamu kelihatan bingung, ada yang mau ditanyakan?"
Aku menarik napas sesaat, lantas mengangguk. Sebaiknya kutanyakan saja kepadanya. Bukankah Kak Faira seorang mentor? Kurasa dia mampu menjawab kerisauanku. "Apa alasan seseorang berhijrah?"
Kak Faira tersenyum singkat. "Sebelum jawab, aku nanya dulu, boleh?"
"Iya, Kak."
"Menurutmu, apa itu hijrah?"
"Huh? Em, berubah jadi lebih baik?" jawabku ragu.
"Standarnya apa?"
"Maksud Kakak?"
"Kalau hijrah didefenisikan sebagai perubahan menuju yang lebih baik, berarti ada tolak ukurnya dong? Acuan seseorang dikatakan mengalami perubahan itu tadi."
"Oh! Mungkin pakaiannya?"
"Pakaian yang seperti apa, Dek?" sahutnya sambil tersenyum jenaka.
"Itu, lho, Kak. Biasanya 'kan orang-orang dianggap sudah hijrah saat pakaiannya serba tertutup kayak Kakak. Kerudungnya lebar dilengkapi rok atau gamis."
"Anggapan dari mana itu, Dek?"
"Aku lihat di sosmed gitu, Kak."
"Oh, kalau gitu, kita samakan dulu presepsi tentang hijrah, gimana?"
"Emang menurut Kakak, apa itu hijrah?"
"Bentar. Jawabannya agak panjang." Kak Faira mengeluarkan ponselnya. Entah apa yang dia cari. Aku menunggu cukup lama. Sebuah ponsel disodorkan padaku. "Coba kamu baca sendiri biar nggak terkesan aku ngarang bebas. Ini aku ambil dari website Media Umat*."
Hijrah secara bahasa berarti berpindah dari suatu tempat ke tempat lain, dari suatu keadaan ke keadaan lain (Lisân al-Arab, V/250; Al-Qâmûs al-Muhith, I/637). Menurut Rawas Qalah Ji dalam Mujam Lughah al-Fuqahâ, secara tradisi, hijrah bermakna: keluar atau berpindah dari satu negeri ke negeri yang lain untuk menetap di situ.
Belakangan, kata hijrah di Tanah Air menjadi popular. Kata ini disematkan untuk perubahan pribadi dari kondisi kemaksiatan menuju kondisi islami. Pribadi Muslim yang ugal-ugalan, tidak peduli halal dan haram, menjadi individu yang dekat dengan Allah SWT. Dari bisnis yang berlumur riba menuju muamalah yang halal. Dari Muslimah yang belum menutup aurat menjadi sosok yang tak lepas dari jilbab. Masyarakat sering menamakan hal tersebut sebagai fenomena hijrah.
Dengan mengutip penjelasan sejumlah ulama, pengertian hijrah seperti di atas ada benarnya. Ibnu Hajar al-Asqalani di dalam kitab Fath al-Bâri bi Syarh Shahîh al-Bukhârî, juga al-Alqami yang dikutip di dalam Awn al-Mabûd, menjelaskan bahwa hijrah itu ada dua macam: zhâhirah (lahir) dan bâthinah (batin). Hijrah batin adalah meninggalkan apa saja yang diperintahkan oleh hawa nafsu yang selalu memerintahkan keburukan (nafsu al-ammârah bi as-sû) dan seruan setan.
Seorang Muslim yang bertobat kepada Allah SWT, bersungguh-sungguh menaati segala aturan-Nya dan meninggalkan kemaksiatan pribadi bisa disebut tengah melakukan hijrah. Hal ini sebagaimana penjelasan Nabi saw. saat beliau ditanya, "Wahai Rasulullah, siapakah orang yang berhijrah (muhâjir) itu?" Beliau menjawab:
مَنْ هَجَرَ مَا نَهَى اللَّهُ عَنْهُ
Dialah orang yang meninggalkan perkara yang telah Allah larang atas dirinya (HR Ahmad).
Hijrah batin ini, yakni meninggalkan kemaksiatan menuju ketaatan, adalah perkara yang wajib bagi setiap Muslim. Siapa saja yang mengharapkan rida Allah SWT sudah seharusnya meninggalkan kemungkaran menuju penghambaan kepada-Nya. Allah SWT berfirman:
وَسَارِعُوا إِلَى مَغْفِرَةٍ مِنْ رَبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا السَّمَاوَاتُ وَالْأَرْضُ أُعِدَّتْ لِلْمُتَّقِينَ
Bersegeralah kalian menuju ampunan Tuhan kalian dan surga seluas langit dan bumi yang disiapkan bagi orang-orang yang bertakwa (TQS Ali Imran [3]: 133).
Adapun hijrah zhâhirah (batin) yang diterangkan oleh Ibnu Hajar adalah lari menyelamatkan agama dari fitnah (al-firâr bi ad-dîn min al-fitan). Hal ini senada dengan penjelasan al-Jurjani dalam At-Tarifât. Menurut al-Jurjani, hijrah adalah meninggalkan negeri yang berada di tengah kaum kafir dan berpindah ke Dâr al-Islâm.
Ibnu Rajab al-Hanbali dalam Fath al-Bârî Syarhu Shahîh al-Bukhârî menjelaskan, asal dari hijrah adalah meninggalkan dan menjauhi keburukan untuk mencari, mencintai dan mendapatkan kebaikan. Hijrah secara mutlak dalam as-Sunnah ditransformasikan ke makna: meninggalkan negeri syirik (kufur) menuju Dâr al-Islâm. Jika demikian maka asal hijrah adalah meninggalkan apa saja yang telah Allah larang berupa kemaksiatan, termasuk di dalamnya meninggalkan negeri syirik, untuk tinggal di Dâr al-Islâm.
Darul Islam adalah suatu wilayah (negara) yang menerapkan syariah Islam secara total dalam segala aspek kehidupan dan keamanannya secara penuh berada di tangan kaum Muslim. Sebaliknya, darul kufur adalah wilayah (negara) yang tidak menerapkan syariah Islam dan keamanannya tidak di tangan kaum Muslim, sekalipun mayoritas penduduknya beragama Islam. Definisi hijrah semacam ini diambil dari fakta hijrah Nabi saw. sendiri dari Makkah (yang saat itu merupakan darul kufur) ke Madinah (yang kemudian menjadi Darul Islam).
Hijrah lahir inilah yang menjadi peristiwa besar dalam sejarah umat. Pada saat Nabi saw. dan para sahabat berhijrah ke Madinah, Islam dapat ditegakkan secara kâffah, bahkan menyebar ke seluruh penjuru dunia. Hukum-hukum Islam baru dapat dilaksanakan dengan paripurna setelah hijrah Nabi saw. dan kaum Muslim; mulai dari hukum ibadah, sosial, ekonomi hingga pemerintahan.
Begitulah penjelasan yang kudapatkan melalui salah satu website di internet. Aku membasahi tenggorokan yang terasa kering. Ini pengetahuan baru buatku. Kukembalikan ponsel itu kepada pemiliknya. "Udah, Kak."
Kak Faira menerima ponselnya. "Nah, kurang lebih kayak gitu makna hijrah yang kupahami. Gimana pendapatmu?"
"Aku ngikut aja, Kak. Secara spesifik yang kumaksud adalah hijrah meninggalkan kemaksiatan menuju ketaatan kepada Allah."
"Bicara tentang taat atau maksiat berarti tolak ukurnya alquran dan hadis, ya?" tukasnya. Kubalas anggukan pasrah sebab tidak punya kapasitas untuk membantah. "Oke. Em, apa pertanyaanmu tadi, Dek?"
"Alasan seseorang berhijrah?"
"Macam-macam, sih, Dek. Setiap orang punya motif hijrahnya masing-masing."
"Maksud Kakak?"
"Bisa jadi landasan seseorang berhijrah karena dunia. Misalnya, laki-laki atau perempuan pujaan hati sudah hijrah duluan, harta yang dituju, pencitraan di hadapan manusia, dan lain sebagainya."
Aku menelan ludah susah payah. "Gitu, ya, Kak?"
Kak Faira mengangguk. "Jika niatnya ikhlas, dalam artian orang itu sungguh-sungguh bertobat dan berusaha meninggalkan kemaksiatan, biasanya karena mereka sudah menemukan jati dirinya sebagai manusia."
Aku tidak terlalu paham apa maksudnya. Kupastikan sekali lagi agar kebingunganku terjawab. "Contohnya seperti Kakak?"
"Huh? Ah, enggak." Kak Faira mengibas-ngibaskan tangannya. "Aku mengambil makna hijrah percis seperti penjelasan di dalam artikel tadi. Masih banyak maksiat yang kulakukan. Sekarang kehidupanku juga belum diatur secara seluruhnya oleh syariat Islam. Mungkin lebih tepat bila disebut sedang berproses di atas jalan hijrah. Nah, untuk mencapai level hijrah sebagaimana yang dicontohkan oleh generasi Islam terdahulu, maka dibutuhkan aktivitas dakwah. Dengan begitu, kita bisa terbebas dari jeratan aturan-aturan yang berasal dari luar Islam. Hidup di bawah naungan Daulah Islamiyah."
Kepalaku mendadak pusing. Terlalu banyak informasi baru yang masuk. Aku tidak sanggup mencerna semuanya. "Aku bingung, Kak."
Kak Faira tersenyum menenangkan. "Nggak pa-pa. Bingung itu tandanya kamu mikir. Semoga ada kesempatan membahas perihal ini lebih dalam di pertemuan-pertemuan kita selanjutnya. Ah, kita mentoring lagi di jam dan hari yang sama?"
Aku mengangguk lelah. Ternyata ada begitu banyak hal yang tidak kuketahui tentang Islam. Aku salah besar karena pernah beranggapan kalau pelajaran selama sekolah sudah cukup. Nyatanya, ilmu Allah teramat luas, sedang aku mungkin terlalu angkuh untuk mempelajarinya.
To be continue ...
Footnote: *Buletin Kaffah_No. 055_26 Dzulhijjah 1439 H-7 September 2018 M, dapat diakses di https://mediaumat.news/memaknai-hijrah-rasulullah-saw/
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top